ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 21 November 2020
Gagal Move On sebagai Masalah Millenial
yang Berdampak Pada Kesehatan Mental
Oleh
Agatha Regina
Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia
Generasi Y lebih umum disebut dengan generasi Millenial yang lahir tahun 1977 hingga tahun 1995 (R.D.Asti). Kemudian generasi Z atau post millenial merupakan generasi yang lahir tahun 1996 hingga tahun 2010. Kita perlu mengetahui salah satu permasalahan yang seringkali dialami oleh generasi millenial yaitu gagal move on. Gagal move on biasanya identik dengan patah hati atau putus cinta. Sebenarnya, gagal move on tidak selalu membahas tentang cinta. Gagal move on bisa dari hal apapun seperti menonton drama korea karena alur cerita yang seringkali membuat baper (bawa perasaan), lalu bisa juga gagal move on dari liburan karena belum siap kembali beraktivitas padat. Pada intinya, gagal move on berasal dari ingatan dan kebiasaan karena otaklah yang menampung segala memori manusia. Misalnya, saat otak kita setiap detik merekam momen-momen bersama dia. Hal-hal itu membuat kita merasa senang sehingga memicu keluarnya hormon endorfin. Makanya tidak bisa dipungkiri bahwa saat bertemu dengan pacar, rasa senang yang timbul karena hormon endorfin itulah yang membuat kita tidak bisa berhenti senyum. Paul Reber, Profesor Psikologi Universitas Northwestern dalam scientificamerican.com juga membahas mengenai space otak manusia yang bisa menyimpan 2,5 petabytes data yang setara dengan 2.500.000 gigabyte.
Apakah kalian pernah mengalami suatu kondisi dimana saat hari-hari akhir libur, rasanya ingin libur lagi seperti tidak siap untuk kembali ke sekolah atau kampus, mengerjakan tugas, ujian, dan sebagainya? Kondisi alamiah ini dinamakan post holiday syndrome atau post holiday blues, yaitu kondisi emosional yang dirasakan setelah menikmati liburan. Kemudian terdapat kondisi yang lebih parah lagi dinamakan post holiday depression, yaitu ketika rasa sedih tersebut semakin meningkat hingga memenuhi kriteria depresi. Hal ini tidak boleh dianggap remeh karena pada dasarnya resilience atau pertahanan jiwa setiap orang berbeda-beda.
Terjadinya post holiday syndrome itu dikarenakan adanya withdrawal symptom, yaitu kondisi ketika otak kita masih belum menerima kehilangannya hal-hal yang menyenangkan selama liburan atau kegiatan yang membuat seseorang merasa happy. Kemudian bagaimana cara meredakan kondisi ini? Tipsnya yaitu istirahat yang cukup, bertukar pikiran bersama teman, quality time bersama keluarga dan mencari hiburan seperti mendengarkan musik. Maka seiring waktu kita akan terbiasa lagi dengan rutinitas yang biasa dijalani. Take your time. Terjadinya transisi sedikit demi sedikit tidak menjadi masalah, bukan berarti kita kehilangan momen bahagia tersebut. We can keep it, kita tetap bisa menyimpan dipikiran kita.
Tadi kita sudah membahas mengenai tips move on dari liburan, kemudian bagaimana dengan kondisi dimana gagal move on dari mantan? Mari kita bahas. Faktanya patah hati dapat menurunkan performa seseorang dan lebih parahnya dapat menumbuhkan tingkat depresi. Seperti yang kita ketahui banyak sekali orang yang sedang patah hati sampai nekat bunuh diri atau menghalalkan segala cara demi mantannya kembali menerima dan membalas cintanya. Maka hal ini perlu ditanamkan dalam pikiran bahwa cinta bukan satu-satunya masa depan yang harus kita raih. Putus cinta bukan berarti masa depan kita berakhir. Jika kita terlalu menuntut cinta dari seseorang yang tidak mencinta kita apakah hal ini malah terlihat egois? Biarkan dia memilih pilihannya sendiri dan kita dapat menjalani hidup kita sendiri juga. Istirahatlah dari hal-hal toxic yang mengganggu pikiranmu, bangkitlah kembali dan lanjutkan aktivitasmu yang pernah tertunda.
Ketika seseorang putus cinta terdapat banyak hal yang membuat perasaan sedih terus-menerus muncul. Saya akan melampirkan hal-hal yang sering dialami oleh kaum millenial yang tersakiti yaitu:
a. Takut kehilangan rasa bahagia
Hal ini terjadi karena kita yang selalu merasa happy setiap kali bertemu dia. Akibatnya jika kita kehilangan dia, dunia serasa tidak seindah yang dulu. Jikalau kita takut dengan rasa kehilangan, baik itu kehilangan si dia maupun kehilangan diri kita sendiri, hal ini dikarenakan kita telah memasukkan seseorang ke dalam kehidupan kita sehingga dia menjadi bagian dari diri kita juga. Perlu kita ingat bahwa jangan hanya membuka hati, tetapi bukalah pikiranmu juga. Jangan sampai kebahagiaan kita hanya bergantung pada orang yang tidak bisa membuat kita bahagia atau yang hanya bisa menyakiti perasaan kita. Cara mengatasinya memanglah tidak mudah dan sangat membutuhkan waktu cukup lama dan membutuhkan adaptasi. Langkah pertama yang bisa kalian ambil adalah belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, lalu beradaptasi dengan keadaan seperti awal kalian belum mengenal dia. Perlahan, kalian akan terbiasa kembali untuk menjalani semuanya. Kemudian hindari sikap menyalahkan hal-hal yang pernah terjadi diantara kalian. Jika kalian masih sering menyalahkan, berarti kalian masih meninggalkan dendam dan akan semakin susah untuk melupakan.
b. Merasa harus beradaptasi lagi
Hal ini akan sangat dirasakan bagi seseorang yang memiliki tipe setia, karena baginya sulit beradaptasi dengan orang yang baru singgah dihatinya. Tipe seperti ini tidak bisa dipaksa untuk membuka hatinya secara instan.
Kemudian apa yang harus dilakukan agar bisa move on? Tips yang bisa dilakukan yaitu tentunya tidak mencari pelarian. Seringkali seseorang mencari pelarian agar merasa lebih nyaman dan tidak merasa kosong. Akan tetapi sikap ini sangat tidak disarankan, karena dengan melakukan hal itu, kalian bukan hanya menyakiti orang yang dijadikan sebagai pelarian, tetapi juga menyakiti diri kalian sendiri. Hal ini sama saja kalian telah membohongi diri kalian sendiri. kemudian tips selanjutnya memberikan waktu untuk diri sendiri meluapkan semua emosi yang membebani. Memaksa diri bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa bukanlah mekanisme pertahanan jiwa yang mature atau dewasa. Bisa jadi, itu tanda mekanisme pertahanan jiwa yang terganggu, dengan adanya penyangkalan atau denial, justru membuat seseorang semakin lama untuk move on. Semakin cepat kita menerima kesedihan, maka semakin cepat kita melangkah ke step berikutnya. Jangan lupa, berbahagialah! Jika kita sudah ditahap ini, berarti kita sudah siap membuka diri, menerima orang baru, dan menjalani aktivitas dalam lembaran yang baru. Jadikanlah masa lalu itu konflik dalam alur cerita dihidup kita agar konflik tersebut menjadi pelajaran dan guru terbaik untuk masa depan. Berpegang teguhlah dengan prinsip bahwa kebahagiaan itu datang dari diri sendiri, bukan dari orang lain. Tidak ada satupun orang yang benar-benar bahagia jika masih bergantung dengan orang lain.
Referensi :
Asti, R.D. (2019). Parenting 4.0: mendidik anak di era digital. Klaten: Caesar Publisher
Clahayes. (2020). Millennials mental problem. Loveable.