ISSN 2477-1686

 Vol. 6 No. 21 November 2020

Kurang Awas Karena Bias

 

Oleh

Gita Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis,

Universitas Pembangunan Jaya

 

“Ah Covid-19 itu kan seperti flu biasa,” mungkin begitu kata orang-orang yang kita temui dalam keseharian, Mungkin ada rekan kerja kita yang berpikir, “Ah, saya toh berinteraksi dengan si A, si B dan si C, semua reaktif saat rapid test tetapi toh saya sendiri ya baik-baik. Kalau begitu, tidak perlu cemas-cemas amat menghadapi Covid-19.”

 

Apakah waras jika kita mengambil kesimpulan yang digeneralisir secara luas hanya dengan berdasarkan pengalaman 3 orang saja? Jika Covid-19 benar laksana flu biasa, lantas mengapa seluruh dunia sampai dipaksa berhenti? Tidak masuk akal bukan? Tetapi mari kita merenung, berapa banyak orang seperti ini kita temui dalam hidup? Ya cukup banyak orang seperti ini. Kita temui mereka di kantor sampai ke lingkungan sekitar. Jangan-jangan, diam-diam, diri kita sendiri pun seperti ini.

 

Dasar dari semua ini adalah cognitive biases atau kesalahan berpikir. Bias-bias kognitif ini kental terungkap apabila kita berada dalam situasi dimana komponen emosionalnya tinggi. Misalnya tiba-tiba membaca memo bahwa salah satu kawan yang kita kenal menunjukkan hasil mengagetkan. Karena kita cemas, kita pun sibuk menenang-nenangkan hati, akibatnya rawan bias (Garcia-Alamino, 2020). Inilah yang membuat kita gagal mengidentifikasi situasi krisis dengan presisi (Marshall, 2020). Ketika bukti dengan gamblang dan jernih menunjukkan bahwa kita berada dalam situasi mengancam nyawa, sebagian dari kita lebih memilih mengabaikannya.

 

Salah satu bias adalah optimism bias. Optimism bias adalah keyakinan yang dianut oleh mayoritas masyarakat bahwa kemungkinan diri mereka untuk mengalami peristiwa buruk lebih rendah dibandingkan orang-orang lain, juga kemungkinan diri mereka untuk mengalami peristiwa baik lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang lain (Druica., Musso & Ianole-Calin, 2020).

 

Orang dengan bias optimisme ini justru cenderung tidak melakukan perubahan perilaku dibanding mereka yang pencemas (Fragkaki et al, 2020). Maka alih-alih berhati-hati, makah si virus Covid-19 diyakini sama saja seperti flu biasa. Tak hanya itu, mereka yakin bahwa imunitas mereka lebih baik dibandingkan oleh orang lain. Bahkan kemungkinan orang lain seperti si A, B dan C reaktif lebih besar dibandingkan hal yang sama terjadi pada diri mereka. Luar biasa bukan?

 

Sialnya, optimis berlebihan ini bisanya pun bergandengan tangan pula dengan confirmation bias. Orang dengan confirmation bias selektif memilih informasi yang selaras dengan keyakinan mereka (Grohol, 2020). Jika disodorkan informasi bahwa jumlah kematian akibat Covid-19 jauh lebih tinggi dibandingkan flu biasa, maka hal tersebut diabaikan karena tidak selaras dengan apa yang mereka yakini. Mereka lebih fokus pada informasi yang menyama-nyamakan Covid-19 dengan flu, misalnya minum vitamin C yang banyak diyakini ampuh. Padahal boleh-boleh saja obatnya sama-sama minum vitamin, tetapi Covid-19 ya tetap saja virus yang berbeda dengan virus flu – tidak bisa disamakan.

 

Kemudian ini membuahkan sikap: ah semua pasti baik-baik saja kok. Kesimpulan ini barangkali kurang masuk akal karena pada kenyataannya kita memang hidup di era dimana ekstra hati-hati adalah wajib.

 

Karena merasa serba optimis, maka perilaku waspada pun kendor. Masker tidak menutup sempurna, terlupa cuci tangan dan rileks bercakap dan tertawa saat makan siang bersama rekan kerja di tempat serba tertutup tanpa ventilasi. Saat membaca media massa, yang dipilih hanyalah berita-berita serba riang gembira, misalnya orang yang segar bugar padahal habis menerima hasil reaktif. Bahkan lebih ekstrim, sama sekali tidak baca berita.

 

Waraskah perilaku seperti ini? Tidak. Apakah berarti kita tidak boleh optimis? Bukan begitu. Optimisme itu boleh-boleh saja tetapi yang perlu kita sadari adalah bahwa kita punya bias-bias tersebut.

 

Oleh karena itu, kita perlu membiasakan berpikir, “Hmmm, tunggu. Masuk akalkah saja jika berpikir: Covid-19 itu kan seperti flu biasa?” Jika kita berpikir, “Ah, ternyata orang-orang yang terdeteksi reaktif ternyata OK semua kok,” maka secara sengaja kita berhenti dulu lalu membatin, “Hmmmm, apa benar semua orang seperti itu ya? Coba kita perluas referensi dulu ah.”

 

Kewaspadaan akan bias ini bisa kita lakukan jika kita sengaja melambankan pikiran kita, jangan berpikir cepat-cepat. Dengan mengambil waktu cukup, keyakinan kita jadi bisa kita renungkan. Berhenti sejenak, berrefleksi lalu secara aktif mencari sumber referensi beragam, dengan demikian bias bisa menguap. Sengajakan cari informasi tentang apa saja perbedaan Covid-19 dengan flu biasa. Upayakan untuk memahami lebih mendalam misalnya soal faktor komorbiditas, keberagaman individual, aspek situasional dan lain sebagainya.

 

Dengan kata lain: otak itu mbok ya dipakai.

 

Berikut ini anjuran yang dirangkum oleh Buana (2020). Rekomendasi ini bisa kita gunakan agar bisa pakai otak efektif dengan mengatasi bias kognitif, yaitu tidak membuat keputusan terburu-buru. Kemampuan kita mendeteksi kesalahan memburuk jika kita memutuskan di bawah tekanan dalam waktu singkat. Dalam situasi ini seperti saat ini, penting untuk mendengarkan pendapat yang berbeda dan mempertimbangkan sudut pandang tersebut dibandingkan sebatas berpegang erat-erat pada apa yang kita yakini.

 

Jika kita masih harus fokus pada satu hal yang belum tuntas, jangan buat keputusan dulu. Buat keputusan pada waktu produktif, saat sudah segar bugar cukup istirahat.Berpikirlah pakai data dan fakta.

 

Yang terakhir adalah hati-hati saat hati sedang berbahagia, karena ketika pandangan kita serba berbunga-bunga, kita luput menelisik hal-hal negatif.

 

Jangan menipu diri. Kita ada dalam situasi krisis, Terimalah kenyataan bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Mari awas dengan sadar bias.

 

Covid-19 adalah virus serba baru, jadi jangan lugu apalagi dungu. Optimis, boleh. Bodoh, jangan. Konyol, apalagi.

 

Referensi:

 

Buana, D.R. (2020). Analisis perillaku masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi virus Corona (Covid-19) dan kiat menjaga kesejahteraan jiwa. Salam: Jurnal Sosial dan Budaya 7 (3). 217-226.

 

Druica, E.; Musso, F. & Ianole-Calin, R. (2020). Optimism bias during the Covid-19 pandemic: Empirical evidence from Romania and Italy. Games, 11(39) doi:10.3390/g11030039

 

Fragkaki, I., Maciejewski, D. F., Weijman, E., Feltes, J., & Cima, M. (2020, September 18). Human Responses to Covid-19: The Role of Optimism Bias, Perceived Severity, and Anxiety. https://doi.org/10.31234/osf.io/w4k9m

 

Grohol, J.M. (2020, 10 Februari). The psychology of confirmation bias. https://psychcentral.com/blog/the-psychology-of-confirmation-bias/

 

Garcia-Alamino, J. (2020). Human biases and the SARS-CoV-2 pandemic. Intensive & Critical Care Nursing 58. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7144592/pdf/main.pdf

 

Marshall, M. (2020, 14 April). Why we find it difficult to recognize a crisis. BBC Future. https://www.bbc.com/future/article/20200409-why-we-find-it-difficult-to-recognise-a-crisis