ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 21 November 2020
Dasein: Berada di Dunia Seutuhnya
Oleh
Sandra Handayani Sutanto
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Illustrasi kasus
Seorang bapak, A, berusia 81 tahun menolak untuk menggunakan alat bantu pendengaran di usia senjanya, sehingga menyulitkan berkomunikasi dengan keluarganya. Alasannya, alat bantu pendengaran berisik di telinga sehingga tidak nyaman dipakai. B, gadis berusia 19 tahun, yang aktif dan selalu terburu-buru dalam melakukan hampir semua kegiatan sehingga tidak menyadari warna langit di hari ini. Kadangkala B kehilangan orientasi hari, lupa hari apa yang sedang dijalani. C, pemuda berusia 28 tahun yang bersemangat dan berambisi dalam mengejar cita-citanya, sehingga mengalami kelelahan mental dan nyaris mengalami depresi. Illustrasi ini merupakan hal yang kita alami sehari-hari, dan akan membantu menjelaskan mengenai konsep Dasein..
Dasein
Salah satu tokoh eksistensialis Amerika, Rollo May mengutarakan mengenai konsep Dasein (bahasa Jerman) yang diterjemahkan sebagai berada di sana, dalam dunia, being in the world. May (dalam Feist, Feist, & Roberts, 2013) bahwa manusia akan mengalami 3 mode secara simultan saat berada di dunia yaitu :
1. Umwelt, dunia dari objek dan benda-benda yang ada di sekitar kita. Seringkali ini diartikan sebagai alam dan hukum alam, termasuk di dalamnya adalah dorongan biologis serta fenomena kelahiran-kematian
2. Mitwelt, hidup dalam dunia dengan orang lain, termasuk relasi kita dengan orang lain
3. Eigenwelt, relasi individu dengan dirinya, memiliki kesadaran sebagai manusia seutuhnya, memahami diri sembari berelasi dengan alam dan sesama.
Individu yang sehat diharapkan menjadi satu secara utuh dalam tiga mode yang disebutkan di atas, atau individu akan mengalami keterasingan dan isolasi dalam tiga area, yaitu keterpisahan dengan dunia, hubungan interpersonal yang kurang bermakna hingga perasaan asing dengan diri sendiri. Contoh yang dituliskan pada bagian ilustrasi menggambarkan ketiga contoh dari masing-masing mode Dasein. Bapak A yang menolak menggunakan alat bantu pendengaran menggambarkan isolasi dari mitwelt, keterhubungan dengan sesama karena menyulitkannya untuk berkomunikasi. Gadis B yang selalu terburu-buru menggambarkan isolasi dari dunia objek atau alam. Sedangkan pemuda C yang mengalami kelelahan mental memperlihatkan fenomena individu yang tidak terkoneksi dengan dirinya. Masih banyak contoh lain yang bisa diberikan dan mungkin menggambarkan realitas yang kita alami saat ini.
Bagaimana berada di dunia seutuhnya?
Menjadi satu dengan ketiga elemen ini perlu dicoba dan dilatih. Barron (2015) menyarankan beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan sensitifitas diri, yang dipercaya akan meningkatkan kesehatan dan kualitas hubungan dengan orang lain.
2. Buatlah rencana untuk berpartisipasi dalam dunia. Membuat rencana berjalan-jalan di sekeliling rumah, menikmati kilau bintang, merasakan harum bunga yang mekar, mengerjakan aktifitas dengan tangan seperti handcraft menjadi contoh-contoh yang bisa mulai dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Razak, Othman, & Nazir, (2016) menyatakan bahwa berjalan-jalan di taman dapat meningkatkan kesejahteraan. Fisher (2011) menambahkan bahwa orang yang terhubung dengan alam akan membantu keterkoneksiannya dengan orang lain.
3. Sesekali, lakukan pembicaraan tanpa alat komunikasi misalnya dengan bercakap-cakap langsung dengan orang tertentu.
4. Carilah cara untuk membuat hubungan pertemanan menjadi lebih berkualitas.
5. Kembangkan empati dengan mendengar, mengobservasi, mempelajari sesuatu dan menanyakan sesuatu. Hal ini akan membantu keterhubungan dengan orang lain. Saat relasi mengalami masalah maka akan berdampak terhadap kesehatan dan keutuhan dirinya (Fisher, 2011).
6. Ambil waktu untuk jeda, bernafas dan menyelami diri sendiri. Cobalah untuk bermurah hati dengan diri kita. Amodeo (2017) menyatakan bahwa keterhubungan dengan diri sendiri akan membawa dampak yang baik dalam hubungan dengan orang lain.
Sebagai penutup, manusia yang sehat akan hidup dalam Umwelt, Mitwelt dan Eigenwelt secara bersamaan, dengan cara beradaptasi dengan dunia natural atau alam, berelasi dengan orang lain dan memiliki kesadaran dengan segala pengalaman yang bermakna.
Life come from physical survival; but the good life comes from what we care about.
-Rollo May
Referensi:
Amodeo, J. (2014, Jul 27). Connecting with our authentic self. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/intimacy-path-toward-spirituality/201407/connecting-our-authentic-self
Barron, C. (2015, Sep 30). 8 ways to really connect with each other. Psychology Today. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-creativity-cure/201509/8-ways-really-connect-each-other
Feist, J., Feist, G.J., & Roberts, T. (2013). Theories of personality (8th ed.). New York: McGraw-Hill
Fisher, J. (2011). The four domains model: Connecting spirituality, health and well-being. Religions, 2(1), 17–28.
Razak, M. A. W. A., Othman, N., & Nazir, N. N. M. (2016). Connecting people with nature: Urban park and human well-being. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 222, 476–484.