ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 20 Oktober 2020
Tradisi Pernikahan Dini dalam Sosial Budaya Psikologi
Oleh
Triantini Saraswati Hamoes
Program Studi Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa
Universitas Persada Indonesia YAI
Terbentuknya Sosial Budaya Psikologi Melalui Proses Belajar Individu
Dalam hidup bermasyarakat, segala pikiran dan pandangan manusia saling berhubungan dengan konteks sosial budaya yang akhirnya terbentuk menjadi sebuah kebiasaan yang berubah-ubah seiring perkembangan zaman. Pada dasarnya, segala bentuk kebiasaan dalam hal sosial dan budaya selalu bermula dari interaksi sosial yang terjadi karena adanya sudut pandang para individu dalam suatu kelompok sosial. Hubungan timbal balik tersebut kemudian membentuk suatu sistem sosial budaya.
Kistanto (2008), menjelaskan bahwa dinamika dan pekembangan sistem sosial budaya sangat berhubungan dengan kondisi kewilayahan sosial budaya, kependudukan, organisasi dan lembaga sosial masyarakat serta pemikiran manusia didalam masyarakat. Suatu sistem sosial budaya dasarnya diawali oleh kemampuan manusia untuk berpikir dan mengatur dirinya sehingga memliki kapasitas untuk mengontrol lingkungan, sampai akhirnya lingkungan tersebut juga dapat membentuk manusia yang ada di dalamnya.
Albert Bandura dengan teori belajar sosialnya (social learning theory), menjelaskan bahwa perilaku manusia berada dalam konteks timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Menurut Bandura, kemampuan manusia untuk membentuk suatu lingkungan membuat mereka bisa merepresentasikan kejadian, menganalisis pengalaman sadarnya, berkomunikasi dengan orang lain yang dipisahkan oleh jarak dan waktu, merencanakan, menciptakan, membayangkan dan melakukan tindakan yang penuh pertimbangan (Hergenhahn & Olson, 2017). Teori belajar sosial tersebut pada dasarnya sudah ada dalam diri manusia sejak kecil. Pasalnya, seorang manusia sudah membentuk kebiasaan untuk berinteraksi dan belajar dengan lingkungannya dimulai dari lingkungan keluarga lalu berkembang ke lingkungan masyarakat. Demikian manusia akan membentuk dan dibentuk dengan tradisi dan kebiasaan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakat melalui proses berpikir dan berkembangnya.
Sistem Sosial, Sistem Budaya dan Sistem Kepribadian Tingkah Laku
Parsons (dalam Kistanto, 2008) menjelaskan bahwa organisme tingkah laku dan sistem kepribadian merupakan pendorong bagi sistem sosial dan sistem budaya, sementara sistem budaya mengendalikan sistem sosial, sistem kepribadian dan organisme tingkah laku karena dalam hierarki tindakan, sistem budaya merupakan sistem pengendali tertinggi dalam tindakan sosial (social action).
Seorang anak yang dibentuk didalam lingkungan keluarga dan pendidikan yang memiliki budaya agamis, akan menciptakan karakter diri yang mengedepankan nilai agama dan kemudian olehnya dapat dibentuk suatu sistem sosial budaya yang sama pula didalam masyarakat luas dengan para individu yang memiliki pola pikir sejalan. Kasus tersebut terbentuk karena sistem budaya keluarga dan pendidikan yang didapatkan telah mengendalikan sistem sosial dan sistem kepribadian individu.
Namun jika dilihat dari contoh kasus lain, sistem sosial budaya psikologi tidak selalu berada dalam jalur yang sama (tidak adanya perubahan). Salah satunya terdapat perubahan suatu tradisi Idul Fitri pada masa pandemic. Pada dasarnya, hari raya Idul Fitri di Indonesia memiliki berbagai tradisi yang tidak berubah dari tahun ke tahun, misalnya mudik, halal bi halal / sungkem dan takbiran keliling. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aunillah (2020), Idul Fitri yang berada di masa pandemic membawa perubahan besar pada tradisi yang sudah ada, salah satunya; halal bi halal virtual. Kasus tersebut terbentuk karena perubahan sistem budaya akhirnya mempengaruhi perubahan sistem sosial dan sistem kepribadian masyarakat.
Faktor dan Bentuk Perubahan Sosial Budaya Psikologi
Adapun berbagai faktor perubahan sosial budaya yang tentunya juga berhubungan dengan psikologis manusia, di antaranya; pola pikir masyarakat, terjadinya konflik atau revolusi dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain (Baharuddin, 2015). Kemudian dari faktor-faktor tersebut terjadilah berbagai bentuk perubahan menurut Soerjono Soekanto (dalam Yuristia, 2017), yaitu: perubahan lama dan perubahan cepat, perubahan kecil dan perubahan besar, dan perubahan yang direncanakan dan perubahan yang tidak direncanakan.
Namun jika dikatakan sebagai perubahan, maka pro dan kontra bukanlah suatu hal yang bisa dilupakan. Sebagai makhluk yang memiliki pola dan cara pandang yang berbeda, maka perubahan sosial dan budaya tidak serta merta dapat terjadi begitu saja. Menurut Soekanto (dalam Syapsan, Basri, & Ilyas, 2010) terdapat berbagai faktor penghambat perubahan sosial budaya, antara lain:
1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat
3. Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif
4. Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat
5. Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan menimbulkan perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat
6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat
7. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis
8. Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah
Perspektif Pernikahan Dini Dalam Sosial Budaya Psikologi
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa suatu perubahan dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan antara sistem sosial, sistem budaya dan sistem psikologis individu. Saat ini terdapat berbagai bentuk perubahan sosial budaya yang mengundang pro dan kontra dalam masyarakat, antara lain adalah tradisi pernikahan dini.
Pernikahan dapat dipahami sebagai sebuah komitmen antar pria dan wanita yang diakui secara sosial dan hukum. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1 dinyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Namun yang terjadi pada akhir-akhir ini, pernikahan dengan usia dibawah 19 tahun (dibawah umur) seringkali terjadi di Indonesia, terbukti setiap tahunnya sebanyak 1,5 juta anak perempuan telah menikah dalam usia dini, yang berarti angka tersebut setara dengan gadis yang menikah setiap dua detiknya (Muntamah, Latifiani, & Arifin, 2019). Jika dilihat berdasarkan Undang-Undangnya, tradisi pernikahan dini dianggap sebagai tradisi yang melanggar HAM, setidaknya hak tumbuh kembang, hak pendidikan, hak atas sumber penghidupan, hak sosial-politik dan hak bebas dari kekerasan.
Selain itu, jika dibagi berdasarkan wilayah, data yang diambil dari UNICEF tahun 2019 menunjukkan bahwa Pulau Jawa menduduki angka terbanyak dalam kasus pernikahan dini.
Sumber: Katadata, 2020
Perbedaan angka pada bagian-bagian wilayah tersebut membuktikan bahwa pergeseran sosial budaya jelas dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat, konflik dan pengaruh kebudayaan lain. Munawara, Yasak, & Dewi (2015) menjelaskan bahwa kebanyakan anak perempuan diperintahkan untuk segera menikah oleh orang tuanya, adapun alasan yang melatarbelakangi adalah mematuhi hukum adat-istiadat yang ada sejak jaman nenek moyang dan anjuran dalam agama. Selain itu, alasan ekonomi juga menjadi latar belakang orang tua untuk segera menikahkan anak perempuannya, sehingga pendidikan untuk anak perempuan tidak dianggap penting. Kemudian Envhius d Burn (dalam Angraini, dkk., 2019) mengatakan bahwa wanita dengan usia 18 tahun yang tinggal di pedesaan akan beresiko dua kali untuk menikah di usia dini dibandingkan dengan wanita usia 18 tahun yang tinggal di perkotaan. Selanjutnnya, anak perempuan yang tidak bersekolah akan beresiko tiga kali untuk menikah di usia dini dibandingkan dengan anak perempuan yang tidak menyelesaikan pendidikan sampai dengan pendidikan menengah.
Jika dilihat dari faktor penyebab kasus pernikahan dini, dampak yang terjadi sepenuhnya akan dibebankan oleh anak perempuan yang menikah pada usia dini. Sebab ketika pernikahan dini tersebut terjadi, seorang anak akan kehilangan berbagai tahap-tahap perkembangan dan haknya yang seharusnya masih bisa ia dapat pada usianya dan kondisi-kondisi sulit yang belum sewajarnya ia hadapi. Seperti misalnya, hak pendidikan, potensi kekerasan dalam rumah tangga, dan kecenderungan perceraian karena ketidakmatangan emosi, kesehatan reproduksi dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan yang dinyatakan Shufiyah (2008), walaupun beberapa pendapat menyatakan bahwa menikah adalah upaya untuk menghindari seks bebas, namun dilihat dari kondisi saat ini, mayoritas para remaja belum terbiasa dengan penyelesaian berbagai tanggung jawab sehingga pernikahan dini tidak bisa diajukan sebagai solusi.
Kiwe (2017) dalam bukunya, membagi klasifikasi dampak yang bisa terjadi pada kasus pernikahan dini, antara lain dampak psikologis, dampak biologis, dampak ekonomi, dampak sosial-pendidikan dan dampak hukum. Dua pasangan yang memilih untuk menikah dalam usia dini, cenderung akan mengalami depresi dan sebagainya sebab secara tiba-tiba harus mengurus anak, berada dalam tekanan ekonomi dan potensi perceraian dini. Kemudian, secara biologis akan merugikan sel reproduksi wanita dan terjadinya kehamilan beresiko sebab seorang anak perempuan yang menjalani kehamilan dapat dengan mudah terancam anemia yang tentunya juga akan membahayakan kondisi janin. Selanjutnya, secara ekonomi akan terjadi peningkatan angka kemiskinan sebab kebanyakan pelaku pernikahan dini belum mempunyai pekerjaan yang pantas untuk kondisi keluarganya. Lalu, pernikahan dini juga akan berdampak pada putus sekolah dan terbatasnya kebebasan berekspresi yang dimana pada masanya, seorang anak berusia dibawah umur masih memiliki keinginan untuk mengeksplorasi dunianya. Selain itu, pernikahan dini juga bertentangan dengan Undang-Undang yang ada di Indonesia. Meskipun dapat dikatakan sah secara agama, pernikahan dini merupakan kasus yang bertentangan secara hukum.
Kesimpulan
Berdasarkan perspektifnya, pernikahan dini masih menjadi tradisi sosial budaya yang menghasilkan berbagai kontroversi jika dilihat dari faktor dan dampak yang terjadi. Bila ditarik kesimpulannya, tentu lebih banyak menghasilkan kerugian terlebih pada kedua pasangannya tersendiri. Bukan suatu hal mudah untuk melakukan perubahan pada tradisi ini, mengingat sistem sosial budaya merupakan kesatuan dari berbagai sudut pandang manusia, tradisi sosial, dan kebudayaan masyarakat yang sudah ada. Namun sebaiknya, kasus pernikahan dini dijadikan suatu hal yang perlu diperhatikan dengan seksama dari berbagai pihak yang terhubung langsung dengan budaya tersebut. Salah satu cara yang paling bijaksana adalah dengan melakukan edukasi pada masyarakat, karena suatu sistem sosial budaya tidak akan berubah dan berkembang tanpa adanya pengendalian dari interaksi manusia. Sebab menurut Kiwe (2017), masyarakat perlu memahami dampak negatif dari pernikahan dini yang hanya akan memupus semua impian para pelaku, terutama perempuan. Kesadaran yang sudah ada pada masyarakat perlu disebar luaskan sehingga cepat atau lambat budaya tersebut akan berubah melalui proses perubahan sosial budaya.
Referensi:
Angraini, W., Pratiwi, B. A., Febriawati, H., Yanuarti, R., Anita, B., & Oktarianita. (2019). Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pernikahan Usia Dini. JBK: Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 8(2), 183-191.
Aunillah, R. (2020). Determinisme Teknologi: Perayaan Idul Fitri Di Saat Pandemi. Sahafa: Journal of Islamic Comunication, 3(1), 1-12.
Baharuddin. (2015). Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial Dan Kebudayaan. Al-Hikmah: Jurnal Dakwah, 9(2), 180-205.
Hergenhahn, B., & Olson, M. (2008). Theories Of Learning (Teori Belajar) (7th ed.). (T. B. S., Trans.) Jakarta: Kencana.
Kistanto, N. H. (2008). Sistem Sosial-Budaya Di Indonesia. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 3(2), 1-16.
Kiwe, L. (2017). Mencegah Pernikahan Dini. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Munawara, Yasak, E. M., & Dewi, S. I. (2015). Budaya Pernikahan Dini Terhadap Kesetaraan Gender Masyarakat Madura. JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 4(3), 426-431.
Muntamah, A. L., Latifiani, D., & Arifin, R. (2019). Pernikahan Dini Di Indonesia: Faktor Dan Peran Pemerintah (Perspektif Penegakan Dan Perlindungan Hukum Bagi Anak). Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 2(1), 1-12.
Pusparisa, Y. (2020, September 11). Databoks. (M. A. Ridhoi, Editor) Retrieved from Katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/11/jutaan-anak-perempuan-indonesia-lakukan-pernikahan-dini#
Shufiyah, F. (2018). Pernikahan Dini Menurut Hadis Dan Dampaknya. Jurnal Living Hadis, 3(1), 47-70.
Syapsan, Basri, S., & Ilyas, E. (2010). Perubahan Sosial Masyarakat Pasca Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang Provinsi Riau. Jurnal Ekonomi, 18(2), 17-22.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (2019).
Yuristia, A. (2017). Keterkaitan Pendidikan, Perubahan Sosial Budaya, Modernisasi Dan Pembangunan. Ijtimaiyah: Jurnal Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, 1(1), 1-17.