ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 20 Oktober 2020

Rahasia Berumur Panjang

 

Oleh

Sandra Handayani Sutanto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

 

Panjang umurnya..panjang umurnya..

Panjang umurnya serta mulia..        

Serta mulia..serta mulia..

 

Ini adalah lagu yang sangat familiar dan dinyanyikan hampir dalam setiap perayaan ulang tahun. Lagu ini berisi doa dan harapan agar orang yang berulang tahun memiliki umur yang panjang dan memiliki kehidupan yang mulia di sisa hidupnya. Tapi apa yang sebenarnya membuat seseorang memiliki umur panjang? Makanan yang bergizi? Cukup berolahraga? Menghidari rokok dan alkohol?

 

Penelitian Susan Pinker

Susan Pinker, penulis buku The Village Effect, menjelaskan mengenai prediktor umur panjang pada sebuah TED talk. Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa rata-rata orang di Sardinia, Italia yang memiliki usia di atas 100 tahun memiliki dua hal yang menjadi prediktor umur panjang yaitu integrasi sosial dan hubungan yang dekat. Apa yang dimaksud dengan integrasi sosial? Pinker (2017) menjelaskan bahwa integrasi sosial adalah interaksi dengan orang-orang yang di sekeliling, termasuk menyapa orang lain, mengobrol menjadi salah satu faktor prediktor terpenting untuk panjang umur. Secara singkat, integrasi sosial bisa terjadi bila ada interaksi antara satu orang dengan orang lainnya.

 

Penelitian mengenai integrasi sosial

Sebuah studi klasik yang dilakukan oleh Moen, Dempster-McClain, & Williams Jr, (1989) menyatakan bahwa integrasi sosial yang dilakukan oleh wanita dengan berbagai peran yang dilakukannya akan memprediksi umur panjang. Para wanita yang terlibat dalam penelitian ini juga aktif terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. Dalam penelitian tersebut Moen dkk juga mendefinisikan bahwa integrasi memerlukan dua unsur yaitu keterlibatan sosial dan keterhubungan sosial seperti yang dilakukan oleh para partisipan dalam studi tersebut.  Studi lebih lanjut oleh Yoon & Lee (2010) membuktikan bahwa keterhubungan sosial menjadi prediktor kesejahteraan individu, terutama afek positif yang dirasakan seperti perasaan antusias dan rasa bangga. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa integrasi sosial—yang ditunjukkan dalam interaksi—menghasilkan perasaan positif.

 

Penelitian yang dilakukan oleh Diener & Chan (2011) menyatakan bahwa afek positif yang dirasakan individu memprediksi umur panjang dan kesehatan yang lebih baik daripada afek negatif. Tidak hanya itu, kepuasan hidup yang dirasakan, harapan yang dimiliki, optimisme dan selera humor yang baik akan mengurangi resiko kematian dan memprediksi umur panjang. Jadi, bisa dilihat dan sudah terbukti bahwa keterhubungan sosial akan memprediksi umur panjang, keterhubungan sosial/interaksi sosial juga berperan meningkatkan afek positif, dan afek positif yang dihasilkan memprediksi umur panjang.

 

Interaksi sosial

Pertanyaan berikutnya adalah interaksi seperti apa yang harus kita lakukan dalam kehidupan kita agar memiliki peluang berumur panjang? Apakah harus bertemu langsung? Atau bisa melalui aplikasi dan media sosial? Pertanyaan ini juga ditanyakan Pinker dalam TedTalk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Grieve, Indian, Witteveen, Tolan, & Marrington (2013) melaporkan bahwa Facebook menyediakan kesempatan bagi penggunanya untuk tetap terhubung secara sosial dalam konteks daring. Hasil penelitian ini ternyata relevan dalam konteks pandemi seperti yang kita jalani sekarang, sehingga interaksi secara daring mungkin adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini (Hall, 2020), misalnya dengan melakukan virtual chat atau melakukan permainan bersama secara virtual. Tapi apakah interaksi luring tidak dimungkinkan? Bagaimana jika keinginan bertemu dengan teman secara langsung begitu menggebu-gebu? Interaksi luring mungkin memerlukan beberapa hal yang harus disiapkan misalnya menggunakan masker, menjaga jarak saat berinteraksi, dan memastikan protokol kesehatan sudah dilaksanakan. Sebagai kesimpulan, interaksi sosial tetap bisa dilakukan hanya harus disesuaikan dengan konteks. Pada kondisi non pandemi, interaksi luring menjadi sesuatu yang ideal, namun dalam konteks pandemi bijaklah dalam memilih metode yang akan digunakan.

 

“If we don’t interact regularly with people face-to-face, the odds are we won’t live as long, remember information as well, or be as happy as we could have been.”

 -Susan Pinker

 

Referensi:

Diener, E., & Chan, M. Y. (2011). Happy people live longer: Subjective well‐being contributes to health and longevity. Applied Psychology: Health and Well‐Being, 3(1), 1–43.

Grieve, R., Indian, M., Witteveen, K., Tolan, G. A., & Marrington, J. (2013). Face-to-face or Facebook: Can social connectedness be derived online? Computers in Human Behavior, 29(3), 604–609.

Hall, E.D. (2020, June 30). Navigating social interaction in a world with Covid-19. Psychology Today. Retrieved from : https://www.psychologytoday.com/us/blog/conscious-communication/202006/navigating-social-interaction-in-world-covid-19

Moen, P., Dempster-McClain, D., & Williams Jr, R. M. (1989). Social integration and longevity: An event history analysis of women’s roles and resilience. American Sociological Review, 635–647.

Pinker, S. (2017, Sep 4). The secret of living longer may be your social life. TED. Diunduh dari https://www.ted.com/talks/susan_pinker_the_secret_to_living_longer_may_be_your_social_life/discussion?referrer=playlist-might_you_live_a_great_deal_lo#t-7467

Yoon, E., & Lee, R. M. (2010). Importance of social connectedness as a moderator in Korean immigrants’ subjective well-being. Asian American Journal of Psychology, 1(2), 93.