ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 20 Oktober 2020

 

Menelusuri Budaya Organisasi yang Berlandaskan

Budaya Lokal

       

Oleh

Nahya Qisthi Buchari, Ni Made Swasti Wulanyani

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

 

 

  Pendahuluan

Budaya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Organisasi dengan budaya yang baik akan memiliki banyak manfaat yang dapat mendukung organisasi itu sendiri. Budaya perusahaan atau organisasi sangat berperan penting dalam menciptakan kelancaran dalam segala aspek yang berjalan di organisasi. Budaya organisasi merupakan fondasi yang berisi nilai-nilai dominan yang di sebarluaskan dalam organisasi, filosofi kerja karyawan dan menjadi panduan bagi kebijakan organisasi dalam mengelola karyawan dan konsumen (Samon, 2018). Dalam suatu perusahaan atau organisasi yang memiliki budaya organisasi yang kuat dan positif, budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap perilaku dan efektivitas kinerja perusahaan yang mendukung tujuan-tujuan perusahaan. Sebaliknya, budaya organisasi yang lemah atau negatif akan menghambat atau bertentangan dengan tujuan-tujuan perusahaan. Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya organisasi mendukung strategi organisasi.

 

Budaya yang dijalankan oleh perusahaan atau organisasi umumnya dikembangkan berdasarkan pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh perusahaan tersebut selagi mereka belajar untuk menyelesaikan problem-problem, menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal, dan berintegrasi dengan lingkungan internal (Schein, 1985). Beberapa budaya organisasi yang berlandaskan nilai lokal adalah Tri Hita Karana (THK) dan Budaya Jawa. Putera & Supartha (2014) menjelaskan bahwa membentuk sikap budaya THK tidaklah mudah bagi suatu kegiatan kearifan ekologi yang memerlukan suatu keadaan yang seimbang dan harmoni antara kegiatan dan lingkungan. Keadaan ini memerlukan kedamaian dan kesejahteraan yang merupakan dasar keseimbangan dan keharmonisan yang diinginkan dengan memadukan semua komponen dan unsur-unsur budaya yang dimiliki. Memadukan semua komponen dan unsur-unsur tidaklah mudah, perlu suatu wadah/tempat untuk mengikat semua itu menjadi satu tujuan dan pemikiran yang sama disinilah peran suatu organisasi untuk mengikat dan mengarahkan masyarakat untuk mencapai semua itu. Organisasi terbentuk karena manusia menyadari bahwa untuk dapat berhubungan dengan orang lain serta untuk memenuhi manusia untuk pergaulan (Winardi, 2007). Organisasi mempunyai sikap dan perilaku yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang dianut oleh sumber daya manusia. Sikap dan perilaku dalam suatu organisasi mencerminkan budaya organisasi. Menurut Sutrisno (2010) budaya organisasi didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumtions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati, dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya. Dari hal tersebut maka studi literatur ini akan menjelaskan mengenai gambaran budaya organisasi yang dipengaruhi budaya lokal.

 

Pembahasan

Tri Hita Karana (THK) merupakan unsur-unsur kebudayaan di Bali yang bersifat universal dan dinamis (Windia & Dewi, 2006 dalam Adi & Indrawati, 2019). THK dapat di definisikan sebagai tiga penyebab kebahagian (Windia & Dewi, 2006 dalam Adi & Indrawati, 2019). Adapun tiga komponen THK yang dapat di aplikasikan pada perusahaan yaitu, parahyangan menekankan bahwa kesejahteraan tercapai bila terealisasi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan penciptanya, pawongan yang merupakan hubungan yang harmonis antar sesame manusia, palemahan yang merupakan dimensi yang berhubungan manusia dengan aspek fisik dari lingkungan di sekitar kita atau perusahaan tersebut (Surpha, Wiana, dan Ashrama, Damayanthi, 2011 dalam Adi & Indrawati, 2019).

 

Mujiati (2017) menjelaskan budaya tri Hita Karana yang digunakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat (S. Robbins & Judge, 2009) yang menyatakan kinerja dibentuk oleh budaya organisasi. Penelitian ini juga mendukung pendapat (Kotter & Heskett, 1992) mengatakan budaya yang kuat sering dikatakan membantu kinerja bisnis karena menciptakan suatu tingkatan yang luar biasa dalam diri karyawan. Begitu pula penelitian ini juga mendukung pendapat Hofstede (2001 dalam Surya, 2017) bahwa budaya yang kuat dan khas sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu organisasi. Organisasi yang sukses mempunyai budaya kuat sekaligus khas, termasuk mitos yang memperkuat sub budaya organisasi. Budaya Tri Hita Karana juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yang mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama (Kreitner & Kinicki, 2001). Temuan ini mendukung kajian empiris terdahulu yang dilakukan oleh Ojo (2010); Koesmono (2011); Nongo & Ikyanyon (2012).

 

Budaya Jawa adalah segala sistem dan nilai yang meliputi sistem pengetahuan, kepercayaan, moral, seni, hukum, adat, bahasa, organisasi, kemasyarakatan, mata pencaharian, peralatan teknologi, dan kebiasaan serta kemampuan yang hidup di Pulau Jawa dan masyarakat Jawa (Wahdati, 2004 dalam Maulida, 2013). Penelitian yang dilakukan Maulida (2013) menemukan bahwa budaya organisasi yang menerapkan nilai-nilai budaya Jawa berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Budaya organisasi selain berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan juga berfungsi sebagai identitas sebuah organisasi, membantu memelihara stabilitas dan integritas dan juga dapat membentuk perilaku individu yang ada di dalamnya. Terintegrasinya budaya lokal dalam budaya organisasi akan memperkuat kinerja karyawan. Adanya kesamaan latar belakang budaya di antara para karyawan tentu saja akan memperkuat ikatan antara para karyawan. Keterikatan individu karyawan dengan organisasi dibentuk oleh keterikatan emosional dan faktor rasional yang berhubungan dengan pengalaman kerja dan lingkungan kerja (Maulida, 2013).

 

Pada budaya Jawa terdapat pandangan hidup Sinkretisme dan Tantularisme. Sinkretisme adalah wawasan hidup yang menyatukan dua pandangan berbeda. Dalam khasanah budaya Jawa, biasanya sinkretis Hindhu-Jawa, Islam-Jawa, dan Budha-Jawa telah terasa dan banyak mewarnai budi pekerti Jawa. Hal ini diperkuat dengan adanya semangat “Tantularisme” yaitu wawasan yang memandang berbeda-beda tapi tetap satu juga. Tantularisme ini yang memupuk jiwa kerukunan antar manusia, sedangkan pengalaman mistik, merupakan cermin kehidupan batin yang berusaha mendekatkan diri melalui proses hidup sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan hidup), memayu hayuning bawana (menjaga, melestarikan, menyejahterakan dunia), dan manunggaling kawula gusti (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan) (Endraswara, 2003 dalam Maulida, 2013).

 

Di dalam budaya Jawa terdapat pula beberapa ungkapan simbolis seperti ‘mangan ra mangan kumpul’ yang berarti makan tidak makan tetap bersama-sama, yang menggambarkan betapa kuat rasa senasib sepenanggungan akan dirasakan dan dilaksanakan bersama asalkan mereka tetap bersama-sama. Selain itu ada juga ungkapan ‘jer basuki mawa bea’ yang berarti setiap kesejahteraan yang diinginkan tentu harus mengeluarkan biaya. Biaya yang dimaksud di sini dapat berupa uang, tenaga, pengobatan perasaan atau waktu. Setiap tindakan untuk berhasil tentu dibutuhkan waktu, tenaga pikiran dan biaya atau uang. Akan tetapi lain halnya jika tindakan itu untuk menolong. Dalam hal menolong orang Jawa sangat ikhlas sehingga munculah ungkapan ‘tetulung kok dikertoaji’ atau yang berarti pertolongan itu jangan dinilai kembali dengan uang (Herusatoto, 2008 dalam Maulida, 2013).

 

Hasil-hasil penelitiannya menyimpulkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap kepemimpinan. Kesesuaian penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan ini menunjukkan bahwa dalam situasi apapun dan dimanapun konteks keterjadiannya, budaya organisasi merupakan elemen universal yang akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam sebuah organisasi dalam menjalankan tugas dan beraktivitas. Temuan ini mendukung pendapat Robbins dan Judge (2009) yang menyatakan hasil spesifik dari budaya yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan, kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa yang diyakini organisasi.

 

Keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen organisasional. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil kecendrungan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Temuan ini juga memperkuat teori yang dicetuskan oleh Schein (2004) yang menyatakan pada dasarnya budaya organisasi mewakili norma-norma, perilaku yang diikuti oleh anggota organisasi. Budaya berperan penting dalam mendorong terciptanya effektifitas organisasi, secara spesifik budaya berperan dalam menciptakan jati diri, ikatan emosional, komitmen dan landasan berprilaku. Budaya kuat akan menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa dalam diri karyawan, motivasi yang tinggi inilah menumbuhkan komitmen dan loyalitas yang tinggi pada organisasi.

 

Budaya organisasi berdasarkan budaya lokal juga diterapkan pada daerah Sulawesi Selatan yang terletak di semenanjung Selatan Pulau Sulawesi. Terdiri atas empat etnis, yakni etnis Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja (Suriamihardja, 2008 dalam Yusuf, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2011) terdapat beberapa nilai kearifan lokal yang melekat pada masing-masing etnis, di antaranya yang dikemukakan oleh Salle dkk (dalam Yusuf, 2011) adalah nilai-nilai kearifan lokal budaya Makassar yang melekat melalui kepemimpinan Karaeng Galesong yang dikenal sebagai “siri” yakni berupa harga diri atau kehormatan (honor) yang timbul dari akal pikiran yang baik dari seorang pemimpin (Rahim, 1992; Said, 2004 dalam Yusuf, 2011). Dalam keseharian, siri memiliki dua makna, sebagai harga diri atau kehormatan secara pribadi dan harga diri secara umum. Dalam sudut pandang pribadi, harga diri berkaitan dengan status diri yang dibawa sejak lahir (turunan bangsawan), yang akan membentuk status mereka di mata masyarakat umum. Tidak hanya “siri”, nilai kekerabatan juga disinyalir sebagai salah satu nilai-nilai budaya lokal yang melekat pada masyarakat Bugis-Makassar (Said, 2004 dalam Yusuf, 2011). Kekerabatan yang oleh Ouchi (1987) disebut sebagai “collectivism” juga menjadi salah satu ikon budaya Bugis-Makassar, Mandar dan Toraja. Selain model komunikasi “sipakatau” (saling menghargai), “sipakainga” (saling mengingatkan) dan “a’bulo sibattang” atau kesetiakawanan (Said, 2004 dalam Yusuf, 2011). Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat atau anggota organisasi tempat kebudayaan tersebut berlaku. Budaya sangat berpengaruh terhadap manusia yang bekerja dalam suatu organisasi. Berdasarkan hal tersebut, perilaku seseorang dalam organisasi tidak terlepas dari pengaruh budaya lokal dimana mereka berada.

 

Kesimpulan

Budaya lokal memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi, komitmen organisasi, kepemimpinan dan juga berperan sebagai perekat sosial (social glue) yang mengingkat semua anggota organisasi bersama-sama. Budaya yang kuat dan khas dapat membantu kinerja bisnis karena menciptakan suatu tingkatan yang luar biasa dalam diri karyawan dan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu organisasi. Organisasi yang sukses mempunyai budaya kuat sekaligus khas, termasuk mitos yang memperkuat sub-budaya organisasi. Dalam situasi apapun dan dimanapun konteks keterjadiannya, budaya organisasi merupakan elemen universal yang akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam sebuah organisasi dalam menjalankan tugas dan beraktivitas.

 

Hasil spesifik dari budaya yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan, kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa yang diyakini organisasi. Keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen organisasional. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil kecendrungan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Pada dasarnya budaya organisasi mewakili norma-norma, perilaku yang diikuti oleh anggota organisasi. Budaya berperan penting dalam mendorong terciptanya effektifitas organisasi, secara spesifik budaya berperan dalam menciptakan jati diri, ikatan emosional, komitmen dan landasan berprilaku. Budaya kuat akan menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa dalam diri karyawan, motivasi yang tinggi inilah menumbuhkan komitmen dan loyalitas yang tinggi pada organisasi.

 

Budaya sangat berpengaruh terhadap manusia yang bekerja dalam suatu organisasi. Berdasarkan hal tersebut, perilaku seseorang dalam organisasi tidak terlepas dari pengaruh budaya lokal dimana mereka berada. Tuntutan sosial dalam kultur Jawa untuk selalu mempertahankan keselarasan, memelihara harmoni demi tercapai kesatuan mistis antara abdi dan tuan, telah membangun sikap hidup dan prinsip hidup yangkhas. Untuk selanjutnya kekhasan ini menjadi menonjol ketika dilihat oleh orang luar. Ciri menonjol antara lain adalah besarnya ikatan kekeluargaan dalam masyarakat Jawa dan budaya Jawa (Rachdian, 2012 dalam Maulida, 2013). Sedangkan, THK dapat di definisikan sebagai tiga penyebab kebahagian yang terdiri dari tiga komponen THK yang di aplikasikan pada perusahaan yaitu, parahyangan yang berarti menekankan bahwa kesejahteraan tercapai bila terealisasi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan penciptanya, pawongan yang merupakan hubungan yang harmonis antar sesame manusia, palemahan yang merupakan dimensi yang berhubungan manusia dengan aspek fisik dari lingkungan di sekitar kita atau perusahaan tersebut (Surpha, Wiana, dan Ashrama, Damayanthi, 2011 dalam Adi & Indrawati, 2019). Selain Budaya Jawa dan Bali, Sulawesi Selatan juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal budaya Makassar yang melekat melalui kepemimpinan Karaeng Galesong yang dikenal sebagai “siri” yakni berupa harga diri atau kehormatan (honor) yang timbul dari akal pikiran yang baik dari seorang pemimpin. Selain “siri”, nilai kekerabatan juga disinyalir sebagai salah satu nilai-nilai budaya lokal yang melekat pada masyarakat Bugis-Makassar.

 

Referensi:

 

Adi, P. R. P., & Indrawati, K. R. (2019). Perbedaan Keterikatan Kerja berdasarkan Generasi Kerja Karyawan pada Perusahaan Berkonsep THK ditinjau dari Etos Kerja. Jurnal Psikologi Udayana, 6(1), 46–57. Diunduh dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/47148 tanggal 10 Maret 2020.

Koesmono, H. T. (2011). Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepemimpinan terhadap Kinerja Melalui Variabel Mediasi Komitmen Organisasional Karyawan Perusahaan Swasta di Surabaya Timur. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 2(2), 155–171.

Kotter, J. P., & Heskett, J. L. (1992). Corporate culture and performance. In Business Review (Vol. 2). Jakarta: PT Prehanlindo Simon & Schruster Pte Ltd.

Kreitner, R., & Kinicki, A. (2001). Organizational Behavior. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc.

Maulida, I. K. (2013). Pengaruh Budaya Organisasi Yang Menerapkan Nilai Jawa Terhadap Kinerja Karyawan Dengan Employee Engagement Sebagai Variabel Moderating (Studi terhadap Karyawan di PT. BP Kedaulatan Rakyat Yogyakarta). Diunduh dari http://repository.usd.ac.id/31941/2/142214186_full.pdf tanggal 10 Maret 2020.

Nongo, E. S., & Ikyanyon, D. N. (2012). The Influence of Corporate Culture on Employee Commitment to the Organization. International Journal of Business and Management, 7(22). Diunduh dari https://doi.org/10.5539/ijbm.v7n22p21tanggal 10 Maret 2020.

Ojo, O. (2010). Organisational Culture and Corporate Performance: Empirical Evidence from Nigeria. Journal of Business Systems, Governance and Ethics, 5(2). Diunduh dari https://doi.org/10.15209/jbsge.v5i2.180 tanggal 10 Maret 2020.

Ouchi, W. (1987). Teori Z, Bagaimana Amerika menghadapi Jepang dalam Dunia Bisnis. Jakarta: Andamera Pustaka.

Putera, I. D. G. W., & Supartha, W. G. (2014). Penerapan Konsep Tri Hita Karana dalam Hubungannya dengan Budaya Organisasi di Rektorat UNUD. E-Jurnal Manajemen, 3(7). Diunduh dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/Manajemen/article/view/8279 tanggal 10 Maret 2020.

Robbins, S., & Judge, T. A. (2009). Perilaku Organisasi Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat.

Robbins, S. P. (2002). Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Samon, A. Y. A. (2018). Peran Mediasi Gaya Kepemimpinan Pada Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kecerdasan Emosional Pemimpin Terhadap Kinerja Karyawan Studi Kasus Pada Karyawan Tetap dari Semua Unit/Bagian PT TELKOM WITEL NTT (Kupang). Diunduh dari https://repository.usd.ac.id/31941/2/142214186_full.pdf tanggal 10 Maret 2020.

Schein, E. H. (1985). Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Surya, I. B. K., Dewi, A. A. S. K., Utama, I. W. M., Sriathi, A. A. A., & Mujiati, N. W. (2017). Budaya Tri Hita Karana, Komitmen Organisasional, dan Kepemimpinan Asta Dasa Paramiteng Prabhu Pengaruhnya Terhadap Kinerja Organisasi. Prosiding Seminar Nasional AIMI, 294–304. Diunduh dari https://repository.unja.ac.id/3829/37/294_304_aimi.pdf tanggal 10 Maret 2020.

Sutrisno, E. (2010). Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana.

Winardi. (2007). Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: Kharisma Putra Utama Offset.

Yusuf, R. M. (2011). Keteraturan Perilaku Kerja Karyawan dan Pengaruhnya Terhadap Budaya Organisasi Di Pemerintah Daerah Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Airlangga, 21(2). Diunduh dari https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20473/jeba.V21I22011.4294 tanggal 22 Mei 2020.