ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 19 Oktober 2020

Seni Berwelas Diri dalam Menghadapi Kesulitan

Oleh

Garvin Goei

Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia

 

Karena kita tidak mungkin melarikan diri dari masalah, maka yang kita butuhkan bukanlah kemampuan untuk menghindari masalah, melainkan kemampuan untuk menyikapi masalah dengan tepat. Pertanyaannya, sikap apa yang perlu dikembangkan ketika kita sedang menghadapi kesulitan? Kita mengenal resiliensi, yakni daya lenting untuk bangkit kembali; atau bersyukur, yakni tindakan untuk menyadari hal-hal positif yang terjadi dalam hidup terlepas dari hal negatif yang juga turut melengkapi naik-turun kehidupan. Namun selain kedua itu, ada juga sebuah konsep yang dikenal dengan “welas diri” atau “self-compassion”. Welas diri dipopulerkan oleh Kristin Neff (2003), seorang associate professor dari University of Texas.

 

Neff (2003) mendefinisikan bahwa welas diri merupakan welas asih yang diarahkan pada diri sendiri. Berwelas diri merupakan sebuah niat maupun tindakan untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh diri. Welas diri ini penting karena kita terlahir dalam dunia yang penuh syarat; untuk merasa berharga, kita memerlukan validasi dari orang lain; untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain, kita harus melakukan sesuatu yang bisa membuat seseorang kagum. Jika kita bisa memenuhi syarat-syarat tersebut, maka itu baik sekali; namun kenyataannya kita tidak pernah bisa memenuhi persyaratan itu. Kita tidak selalu bisa mendapatkan validasi dari orang lain, kita tidak bisa selalu membuat orang lain kagum dengan kita, bahkan kita tidak bisa selalu mendapatkan hal yang memperkuat rasa kepercayaan diri kita. Hal ini memunculkan emosi yang negatif, terutama ketika kita sedang mengalami kegagalan. Alih-alih mendapatkan sesuatu yang berharga, kita justru mendapatkan sesuatu yang menjatuhkan. Jika kita tidak bisa menangani emosi negatif tersebut, maka kita akan terjatuh lebih dalam lagi.

 

Lalu, apa yang perlu kita lakukan ketika kita mengalami emosi negatif yang intens akibat sebuah kegagalan? Dunia yang bersyarat ini kemudian membuat kesan bahwa kegagalan ini membuat kita pantas untuk dihukum atau dinilai negatif. Sebagian orang berpikir bahwa dirinya perlu dihukum, atau patut dihukum dan dibiarkan menderita. Sayang sekali, sebab untuk menyayangi dan menghargai diri sendiri, kita tidak memerlukan validasi dari orang lain maupun validasi dari prestasi. Cara terbaik untuk menghargai, menyayangi, dan mencintai diri kita adalah dengan mengenal diri kita sebaik-baiknya dan menerima itu sebagai realitas.

 

Guna membantu kita untuk lebih mampu menerima realitas, maka dibutuhkanlah welas diri. Welas diri – sekali lagi – merupakan intensi dan tindakan untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh diri sendiri. Jika kita bisa merasa iba dengan orang lain dan berniat untuk meringankan kesulitan orang lain, mengapa tidak kita lakukan kepada diri sendiri juga? Berwelas diri sejatinya adalah hal yang tidak sulit untuk dilakukan, pun merupakan salah satu sikap dasar yang diperlukan oleh manusia dalam menghadapi pasang surut kehidupan. Tidak ada manusia yang tidak pernah menderita, maka welas diri adalah sikap yang perlu dikembangkan ketika manusia sedang mengalami kesulitan hidup.

 

Lalu, bagaimana caranya menerapkan welas diri? Ada tiga hal yang bisa kita lakukan, saya sarikan dari tiga aspek self-compassion yang dirumuskan oleh Neff (2003):

 

1.    Bersikap baik terhadap diri sendiri (self-kindness), yakni dengan cara tidak menghakimi diri sendiri. Biasanya saat menghadapi kesulitan, kita seringkali melakukan penghakiman kepada diri dengan pemikiran seperti:

a.    “Saya memang bodoh dan pantas mendapatkan hal ini!”,

b.    “Saya memang payah dan tidak berguna!”,

c.    “Saya adalah manusia pembawa sial!”,

Sikap ini sangat berdampak buruk bagi kesehatan mental kita. Oleh sebab itu, sikap menghakimi diri sendiri perlu diganti dengan sikap menghargai diri sendiri. Misalnya dengan pemikiran seperti:

d.    “Saya menerima diri apa adanya dan berharga dalam kondisi apapun.”

e.    “Saya mengizinkan diri saya melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahan itu.”

f.     “Saya memaafkan diri saya sendiri dan mengizinkan rasa damai muncul dalam hati saya.”

 

2.    Menyadari bahwa semua orang juga memiliki masalahnya masing-masing (common humanity). Kadangkala kita merasa bahwa diri kita adalah manusia yang paling sial dan menderita di dunia, namun kenyataannya tidak demikian. Setiap manusia pernah dan akan mengalami penderitaan, karena itulah siklus pasang-surut kehupan manusia. Dan yang paling penting lagi, setiap orang juga pernah melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan. Anda tidak sendirian di dunia ini. Jika semua orang juga pernah mengalami hal yang sama dengan anda, lalu mengapa anda menganggap rendah diri anda sendiri?

 

3.    Berkesadaran penuh sehingga tetap jernih dalam memandang permasalahan (mindfulness). Kabat-Zinn (2014) menyatakan bahwa berkesadaran penuh mampu memperkuat welas diri. Menjaga agar emosi tetap stabil merupakan langkah penting untuk menghadapi kesulitan. Jika anda memang sedang merasakan emosi negatif, maka akui dan terimalah. Jangan menyangkal kehadiran emosi negatif. Katakan kepada diri sendiri bahwa anda sedang merasa kecewa dan sadarilah bahwa rasa kecewa itu memang ada. Penolakan terhadap keadaan masa kini hanya menimbulkan rasa sakit yang lebih kuat. Daripada berfokus pada masa lalu dan tenggelam dalam penyesalan, lebih baik kita menerima hal yang sudah terjadi dan melangkah maju ke dalam masa kini. Berfokus pada saat ini, sadari berbagai momen masa kini, dan jaga agar emosi kita tetap seimbang. Masa lalu sudah lewat, dan masa depan masih belum pasti.

 

Mempraktikkan ketiga hal di atas memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Dengan tidak menghakimi diri sendiri, menyadari bahwa mengalami hal buruk itu wajar / manusiawi, dan mau berfokus pada masa kini merupakan seni untuk berwelas asih yang perlu dimiliki oleh setiap individu dalam menghadapi kehidupan. Dan, sebagai penutup, penulis mengutip sebuah ungkapan dari Dalai Lama, tokoh yang sudah menginspirasi Kristin Neff dalam memformulasikan welas diri / self-compassion ini:

 

“Jika Anda tidak mencintai diri sendiri, Anda tidak dapat mencintai orang lain. Anda tidak akan bisa mencintai orang lain. Jika Anda tidak memiliki welas asih untuk diri sendiri, maka Anda tidak dapat mengembangkan welas asih untuk orang lain.”

 

Referensi:

 

Kabat-Zinn, J. (2014). The challenge of a life’s time - and a lifetime. Mindfulness, 5(3), 334-340.

Neff, K. D. (2003b). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2, 85-102.

Neff, K. D. (2011). Self-compassion. New York: William Morrow