ISSN 2477-1686

 

Vol. 6 No. 19 Oktober 2020

 

Meningkatkan Kepekaan Orang Tua Terhadap Mental Disorder Pada Remaja

 Oleh

Diana Novitasari

 Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya

 

Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang berlangsung antara usia 10 -19 tahun. Masa remaja terdiri dari remaja awal (10-14 tahun, masa remaja pertengahan (14-17 tahun) dan masa remaja akhir (17-19 tahun. Orang tua sering tidak mengetahui atau memahami perubahan yang terjadi sehingga tidak menyadari bahwa mereka telah tumbuh menjadi seorang remaja, bukan lagi anak yang selalu dibantu. Orang tua menjadi bingung menghadapi labilitas emosi dan perilaku remaja sehingga akan terjadi konflik diantara keduanya (Nasriati, 2011). Wirdhana (dalam Tegawati, 2016) mengatakan dari data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), bahwa jumlah remaja di Indonesia adalah sekitar 35,8% dari total penduduk Indonesia yaitu 237.641.326 jiwa (BPS, 2010). Tambahan pula, menurut data statistik 2010 dari BPS (Badan Pusat Statistik), Bappenas, dan UNFPA sebagian dari penduduk di Indonesia sejumlah 63 juta jiwa usia remaja rentan berperilaku tidak sehat Wirdhana (dalam Tegawati, 2016). Pemahaman mengenai karakter usia perlu dimiliki orangtua ketika anak memasuki usia tersebut. Saat fase remaja anak mengalami berbagai perubahan secara biologis, psikologis dan sosial, Hurlock & Santrock (dalam Tegawati, 2016). Porter (dalam Tegawati, 2016) mengemukakan bahwa permasalahan terbesar pada remaja meliputi permasalahan hubungan dengan orangtua dan teman sebaya, harga diri yang rendah, takut akan perubahan identitas diri, prestasi rendah, tidak menguasai strategi belajar, dan motivasi mencapai tujuan menurun.

Orangtua seringkali tidak memahami perubahan yang terjadi pada anak-anak mereka dan masih memperlakukan anak seperti masa sebelumnya, Porter & Santrock (dalam Tegawati, 2016). Barber, Nekol, Ball, Joanna, Lisa & Steinberg (dalam Tegawati, 2016) mengunkapkan bahwa permasalahan remaja yang tidak ditangani akan berkembang menjadi perilaku bermasalah Rice, Dolgin & Santrock (dalam Tegawati, 2016). Ketika perilaku-perilaku tersebut mulai muncul dan diselingi dengan konflik yang terjadi, tidak menutup kemungkinan remaja akan mengalami gangguan mental atau mental disorder. Mental disorder merupakan bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/ terhadap stimuli eksternal dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan pada struktur kejiwaan (Mubasyaroh, 2013). Kusumawati (dalam Nasriati, 2011) mengungkapkan ada beberapa gangguan mental atau mental disorder pada remaja, yaitu: 1) Gangguan Cemas: Cemas adalah perasaan gelisah yang dihubungkan dengan antisipasi terhadap bahaya, 2) Gangguan Mood: Depresi pada anak- anak dan remaja berkisar antara 1-5 %. Seorang remaja mempunyai kecenderungan untuk mengalami depresi. 3) Gangguan Psikotik; Gangguan psikotik adalah suatu kondisi terdapatnya gangguan yang berat dalam kemampuan menilai realitas. 4) Gangguan Penyalahgunaan Zat: Gangguan ini banyak terjadi diperkirakan 32 % remaja menderita gangguan penyalahgunaan zat Kusumawati (dalam Nasriati, 2011).

Dalam fenomena atau contoh kasus, (Lumbantobing, 2016) penulis menemukan kasus dengan judul “Pengakuan Remaja 13 Tahun yang Ketagihan Viagra”. Remaja yang berasal dari Lancastershire, Inggris, itu mengonsumsi Viagra sehingga ketagihan dan akhirnya bisa menenggak hingga 6 pil dalam semalam ketika sedang berpesata seks bersama dengan temannya. Orangtua tidak mengetahui perilaku anaknya dan menyangka putra mereka sedang bermain video di rumah teman, padahal, remaja itu sudah mencuri beberapa ratus poundsterling dari orangtuanya untuk membeli obat itu. Dalam kasus tersebut yang membuat remaja tersebut melakukan hal itu adalah karena ia merasa penasaran dan terpengaruh oleh teman-temannya. Setelah mengaku kepada orang tuanya karena ia merasa khawatir terhadap dampak dari obat tersebut, kemudiam remaja tersebut pada saat itu kemudian menjalani terapi. Gangguan yang terdapat dalam kasus atau fenomena tersebut masuk ke dalam jenis gangguan penyalahgunaan zat.                       

Dalam hal ini orangtua perlu mengetahui tentang apa yang terjadi pada anaknya, orangtua pun harus peka terhadap perilaku dari anak yang mungkin menimbulkan kevurigaan dan jika perilaku anak ada yang terlihat aneh atau seperti memiliki gangguan. Orang tua harus mengetahui keadaan remaja atau anak-anak karena jika anak atau remaja menderita gangguan mental, orang tua dapat membawa mereka untuk mendapatkan pertolongan, contohnya datang ke seoarang psikolog untuk mendapatkan terapi. Hunsley, J. & Lee, C. M. (dalam Introduction To Clinical Psychology, 2010) mengungkapkan bahwa dalam psikoterapi  biasanya melibatkan klien individu yang bekerja dengan seorang profesional kesehatan mental untuk mengatasi dan mengidentifikasi masalah mereka. Dalam psikoterapi yang terdapat di chapter 13 mengatakan bahwa klien dalam psikoterapi adalah orang tua, kemudian anak atau remaja menjadi pasien. Orang tua yang  baiknya berperan membawa anaknya untuk datang ke psikolog karena tidak mungkin anak atau remaja memiliki inisiatif sendiri untuk meminta dibawa ke psikolog untuk mendapatkan layanan psikologis karena anak dan remaja tidak memiliki sumber daya untuk mencari, menghadirkan, dan membayar layanan psikologis secara mandiri. Kecuali layanan tersebut disediakan dalam sekolah atau orang tua memfasilitasi kehadiran dengan mencari rujukan, mengatur transportasi, dan membayar layanan, tidak mungkin anak-anak dan remaja akan menerima layanan psikologis rawat jalan. Orang tua umumnya berfungsi sebagai gatekeeper untuk layanan psikologis bagi anak-anak mereka, yang dimaksud menjadi gatekeeper adalah menjadi faktor protektif dalam mendesain intervensi psikologis untuk anak atau remaja.

 

Referensi:

 

Hunsley, J. & Lee, C. M. (2010). Introduction to clinical psychology. John Wiley & Sons, Inc.

 

Lumbantobing, A. (2016). Pengakuan remaja 13 tahun yang ketagihan Viagra (Artikel). Diakses pada tanggal 9 Otiber 2018 dari https://m.liputan6.com/global/read/2577258/pengakuan-remaja-13-tahun-yang-ketagihan-viagra

 

Mubasyaroh. (2013). Pengenalan sejak dini penderita mental disorder. Jurnal Bimbingan Konseleling Islam, 4 (1). Diakses pada tanggal 13 Oktober 2018 dari http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/konseling/article/download/1073/985

 

Nasriati, R. (2011). Kesehatan mental remaja. Jurnal Florence, 11 (4). Diakses pada tanggal 9 Oktober 2018  dari http://eprints.umpo.ac.id/1533/

 

Tegawati, L. M. (2016).  Pelatihan “orang tua sadar “ untuk meningkatkan psychological well-being padaorang tua yang memiliki anak usia remaja. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, 5 (2). Diakses pada tanggal 9 Oktober 2018 dari https://media.neliti.com/media/publications/237515-pelatihan-orangtua-sadar-untuk-meningkat-18626088.pdf