ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 19 Oktober 2020

Berwelas Diri Ketika Kesepian Melanda Perkuliahan

Oleh

Dicky Sugianto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

  

Masa perkuliahan merupakan masa yang dinanti sekaligus penuh tantangan bagi sebagian besar orang muda. Orang-orang muda yang berstatus mahasiswa ini mendapatkan independensi yang lebih besar dibandingkan ketika masih duduk di bangku sekolah menengah. Independensi ini dapat berupa tinggal sendiri jauh dari keluarga, sistem perkuliahan yang menuntut kemandirian dalam pengerjaan tugas dan manajemen diri, dan pola pertemanan yang sudah tidak selekat dulu. Hal ini dapat membuat mahasiswa merasa kesepian karena merasa tidak memiliki kawan (Bernardon, Babb, Hakim-Larson, & Gragg, 2011).

 

Kesepian merupakan perasaan yang tidak nyaman dan dapat mengganggu kehidupan mahasiswa. Kesepian menimbulkan perasaan tertekan yang dapat menurunkan performansi akademik mahasiswa, selain juga membuat mahasiswa rentan mengalami gangguan psikologis (Hawkley & Cacioppo, 2010; Stoliker & Lafreniere, 2015). Oleh karena itu, kesepian perlu untuk ditangani agar kualitas hidup mahasiswa tetap terjaga.

 

Berwelas Diri Ketika Kesepian

Berwelas diri merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan mahasiswa untuk menghadapi kesepian (Sugianto, Sutanto, & Suwartono, 2020). Welas diri dapat membantu mahasiswa mengelola perasaan kesepian, sehingga mahasiswa dapat menjalani kehidupan perkuliahannya tanpa terbeban perasaan tertekan. Welas diri juga dapat membantu mahasiswa untuk memiliki keterampilan sosial yang baik, seperti lebih memahami kondisi orang lain dan dapat menempatkan diri dalam kacamata orang lain (Neff & Pommier, 2013). Keterampilan sosial ini dapat membantu mahasiswa untuk membangun hubungan sosial sehingga perasaan kesepian dapat diatasi.

 

Mahasiswa dapat berlatih berwelas diri ketika mengalami kesepian dengan memeriksa apa yang dirasakan dan dipikirkan saat itu. Ketika mengalami kesepian, pemikiran yang menyalahkan diri mungkin muncul, seperti “Aku orang yang kikuk, pantas saja mereka tidak ingin berteman denganku” atau “Aku tidak pintar, sehingga aku tidak dapat mengikuti kelas dengan baik dan dijauhi oleh teman-temanku.” Mahasiswa dapat menyadari pikiran ini tanpa hanyut dalam pemikiran tersebut, misalnya dengan penuh pemahaman berkata pada diri, “Aku merasa sedih dan bersalah karena kurang berusaha di kelas, serta takut mengecewakan temanku dan dijauhi. Hal ini membuatku kesepian dan makin sedih dan bersalah saat ini.” Ketika melakukan ini, penting bagi mahasiswa untuk melihat konteks situasinya secara lebih luas, misalnya apa yang membuat dirinya kurang berusaha di kelas (“Aku telalu lelah aktif berorganisasi” atau “Aku kewalahan mempelajari materi yang sulit ini”).

 

Latihan melihat situasi dari berbagai perspektif dapat membantu mahasiswa untuk melihat permasalahan yang membuatnya merasa kesepian dan terasing menjadi lebih jernih. Uniknya, hal ini dapat membantu mahasiswa untuk tidak merasa terasing dalam masalahnya hingga makin kesepian. Seorang mahasiswa mungkin berpikir, “Kelas itu sulit ya, mungkin teman-teman merasakan hal yang sama” atau “Jauh dari keluarga itu membuat tertekan, mungkin teman-teman lain yang tinggal di kost merasa begitu ya”, yang memunculkan perasaan interkoneksi dengan mahasiswa lain.

 

Pemahaman akan kondisi kesepian yang dialami serta kesadaran akan interkoneksi ini perlu dibarengi dengan sikap yang hangat dan penuh dukungan terhadap diri. Mahasiswa dapat berlatih bersikap terhadap diri yang lebih suportif, misalnya, “Kesepian ini menekan ya memang, apa yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri?” atau “Kelas ini sulit ya, tapi aku ingin coba belajar lebih sungguh lagi. Apa ya yang bisa kulakukan sekarang?” Sikap penuh dukungan terhadap diri ini dapat membantu mahasiswa menghadapi kesepiannya secara lebih adaptif, misalnya dengan bersilaturahmi.

           

Penutup

Di tengah isolasi yang lazim dirasakan oleh mahasiswa, berwelas diri dapat memberikan kelegaan. Dibandingkan dingin dan keras pada diri, mahasiswa dapat bersikap lebih hangat dengan berwelas diri. Jika tidak terbawa arus pemikiran yang membuat terasing, mahasiswa dapat melihat situasinya dengan lebih terang sehingga dapat membangun hubungan dan dukungan sosial yang dibutuhkan.

 

Referensi:

Bernardon, S., Babb, K. A., Hakim-Larson, J., & Gragg, M. (2011). Loneliness, attachment, and the perception and use of social support in university students. Canadian Journal of Behavioral Science, 43(1), 40-51. doi: 10.1037/a0021199.

Hawkley, L. C., & Cacioppo, J. T. (2010). Loneliness matters: A theoretical and empirical review of consequences and mechanisms. Annals of Behavioral Medicine, 40(2), 218-227. doi: 10.1007/s12160-010-9210-8.

Neff, K. D., & Pommier, E. (2013). The relationship between self-compassion and other-focused concern among college undergraduates, community adults, and practicing meditators. Self and Identity12(2), 160-176.

Stoliker, B. E., & Lafreniere, K. D. (2015). The influence of perceived stress, loneliness, and learning burnout on university students' educational experience. College Student Journal49(1), 146-160.

Sugianto, D., Sutanto, S. H., & Suwartono, C. (2020). Self-compassion as a way to embrace loneliness in university students. PSIKODIMENSIA, 19(1), 126-131. doi: 10.24167/psidim.v19i1.2643