ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 16 Agustus 2020

 

Dinamika Organisasi di Masa Pandemi: Manajemen Konflik dan Mindfulness sebagai Alternatif Solusi

 

Oleh

Endang Fourianalistyawati

Fakultas Psikologi Universitas YARSI

 

 

"Tes kecerdasan yang paling pertama adalah kemampuan untuk mempertahankan dua gagasan yang berlawanan di waktu yang bersamaan, dan masih bisa mempertahankan kemampuan untuk berfungsi"

 

Scott Fitzgerald.

 

Konflik di Masa Pandemi

Kondisi pandemi yang sudah berlangsung kurang lebih lima bulan belakangan membawa perubahan besar di seluruh aspek kehidupan. Perubahan ini tak ayal menimbulkan stres dan cemas terhadap berbagai ketidakpastian yang dialami. Ketegangan yang muncul dari proses penyesuaian dari kegiatan beraktivitas di rumah ini rentan menyebabkan konflik. Konflik dapat berawal dari interaksi antar anggota keluarga, seperti orang tua dan anak, hingga akhirnya tanpa disadari dapat melebar ke luar rumah, seperti ke lingkungan sekitar, rekan kerja dan atasan, serta dimanapun dan dengan siapapun individu berinteraksi. Dalam kaitannya dengan bekerja dari rumah, individu kadang tidak menyadari dampak bekerja dan beraktivitas dari rumah ini juga dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas. Pengamatan penulis selama masa pandemi ini, sebagian orang mengalami produktivitas yang meningkat pesat, namun pada sebagian lagi justru menyebabkan produktivitas menjadi menurun. Apabila dua pihak ini terlibat dalam suatu kerjasama di suatu kegiatan atau di tempat kerja, rentan menimbulkan konflik yang cukup signifikan.

 

Konflik pada dasarnya merupakan bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan organisasi. Konflik adalah ketidakcocokan yang dirasakan antara dua atau banyak pihak (Jehn, 1995). Konflik dapat menimbulkan rasa kurang puas dan juga menurunkan produktifitas dan kinerja pada pihak-pihak yang terlibat di organisasi. Meskipun konflik memiliki konotasi yang negatif, namun pada dasarnya konflik dapat menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi jika dilakukan pendekatan konstruktif. Organisasi yang mendorong munculnya konflik yang konstruktif akan mendapatkan banyak manfaat di kemudian hari (Tjosvold, 2008).

 

Manajemen Konflik

Manajemen konflik mengacu pada tindakan yang diambil orang untuk menangani konflik (Tjosvold dkk., 2014). Model dual concern yang berfokus pada kepedulian terhadap diri dibandingkan dengan kepedulian terhadap orang lain, mendorong munculnya lima gaya manajemen konflik (Folger dkk., 2001), yaitu:

1.    Kolaborasi, kondisi ini dapat diwujudkan melalui proses penyatuan ide-ide yang ditetapkan oleh banyak orang. Kolaborasi merupakan hasil penggabungan antara asertif dan kooperatif.

2.    Akomodatif, kondisi dimana salah satu pihak mengalah untuk menyelesaikan suatu konflik.

3.    Kompromi, terjadi apabila pihak-pihak yang sedang berkonflik bersedia untuk mengalah dan tidak mendapatkan atau bisa jadi mendapatkan sebagian saja dari apa yang diinginkan, untuk menjaga hubungan dan kepentingan bersama.

4.    Bersaing, pendekatan ini berfokus pada menang-kalah, terdapat salah satu pihak yang kalah. Model ini dapat terlaksana jika hasil akhir dijadikan sebagai target utama, tanpa memikirkan hubungan yang telah terjalin. Bersaing merupakan gabungan antara asertif dan tidak kooperatif. Konflik bersaing ini bertolak belakang dari akomodatif.

5.    Menghindari, kondisi dimana para pengambil keputusan menghindari pengambilan keputusan dan berusaha menunda konflik tanpa batas. Konflik menghindar ini merupakan penggabungan antara tidak asertif dan tidak kooperatif.

 

Berdasarkan model dual concern, kolaborasi adalah satu-satunya manajemen konflik yang berfokus pada solusi menang-menang, dimana semua pihak merasa senang karena ide-ide mereka diterima. Meskipun terkadang kolaborasi tidak selalu sesuai untuk digunakan di semua keadaan, khususnya saat menghadapi pihak yang berlaku curang, secara umum kolaborasi dianggap sebagai pendekatan sangat konstruktif karena cenderung menghasilkan solusi yang optimal dan dapat membangun hubungan yang positif (Rahim, 2015; Tjosvold dkk., 2014).

 

Mindfulness sebagai alternatif manajemen konflik

Mindfulness merupakan kondisi kesadaran psikologis, atau suatu praktek kesadaran dengan memberikan perhatian apa adanya, tanpa menghakimi, pada saat sekarang (Kabat-Zinn, 2003). Beberapa hasil penelitian menyampaikan bahwa mindfulness dapat membantu terwujudnya sikap dan perilaku prososial (Good dkk., 2015). Mindfulness juga dapat melemahkan perilaku antisosial yang terkait dengan konflik, seperti agresi interpersonal dan pembalasan (Liang dkk., 2018; Long & Christian, 2015). Dalam kaitannya dengan tim kerja, mindfulness juga dapat mengurangi konflik yang terjadi dan dapat membangun manajemen konflik yang konstruktif di tempat kerja (Glomb dkk., 2011; Good dkk., 2015; Yu & Zellmer-Bruhn, 2018).

 

Individu yang menggunakan metakognisi mindful mampu melepaskan diri dan mengesampingkan pikiran dan emosinya dan menjadikannya hanya sebagai fenomena yang subjektif dari pikiran, dibandingkan sebagai fitur objektif dari kenyataan (Vago & Silbersweig, 2012). Selain itu, individu juga mampu melakukan decentering, atau mengubah posisi dari sebelumnya, sehingga dapat menjauhkan diri dari kecemasan dan kemudian berperan menjadi pengamat terhadap kondisi yang ada. Dengan menggunakan metakognisi mindful, individu jadi lebih mampu menguasai dan memilih dengan tepat pikiran, perasaan, dan perilaku yang diambil dalam situasi tertentu (Kudesia, 2019), termasuk di dalam mengatasi konflik di tempat kerja. Menurut model mindful coping dari Garland dkk. (2009), metakognisi mindful memfasilitasi suatu bentuk adaptif dari regulasi diri dengan cara penilaian ulang kognisi, dimana individu mengubah pandangan tentang suatu situasi dan makna yang dirasakannya, sebelum memunculkan reaksi emosional di dalamnya, sehingga menghasilkan respon yang adaptif (Gross, 1998).

 

Kay dan Skarlicki (2020) melakukan studi yang menunjukkan bagaimana mindfulness dapat membangun manajemen konflik yang konstruktif di tempat kerja, dengan cara meminimalisir kemungkinan gagal atau munculnya berbagai masalah dan meningkatkan keberhasilan dari kedua belah pihak. Lebih lanjut, Rush (2018) menyampaikan manfaat dari melakukan aktivitas mindfulness dalam membantu membantu manajemen konflik, yaitu dengan cara:

1.   Mengurangi fokus ke diri sendiri, sehingga memungkinkan terbuka nya dialog yang lebih kolaboratif.

2.   Memutus lingkaran dari pikiran-pikiran, perasaan, atau perilaku yang berkontribusi pada munculnya diskusi yang tidak produktif.

3.   Meningkatkan kesadaran emosi pada diri dan orang lain, sehingga memungkinkan untuk munculnya keterhubungan dan pemahaman.

4.   Memperkuat perhatian dan kesadaran yang tidak menghakimi, yang dapat mendorong penyelesaian masalah yang fleksibel dan inovatif.

 

Berikut ini adalah kiat praktis untuk menerapkan keterampilan mindfulness dalam menghadapi konflik (Rush, 2018), adalah dengan cara:

1.   Menetapkan target atau tujuan. Menetapkan target dapat dilakukan dengan memastikan topik yang ingin didiskusikan dan dipelajari, serta juga dengan cara menentukan hasil yang ingin dicapai. Dengan menetapkan target lebih awal maka proses diskusi dapat diarahkan untuk selalu fokus dan tidak melebar ke berbagai topik lainnya.  

2.   Tetap hadir sepenuhnya dalam situasi tersebut. Hadir sepenuhnya dapat membantu menjauhkan diri dari asumsi yang ada di pikiran. Hadir di sini maksudnya adalah individu fokus pada setiap perkataan yang disampaikan oleh pihak lain dan mendengar aktif. Selain itu, pertanyaan terbuka juga diperlukan untuk lebih memahami perspektif dan pengalaman orang lain. Pertanyaan terbuka bisa diawali dengan kata mengapa dan bagaimana.  

3.   Tetap menyadari reaksi mental yang muncul dan efek dari reaksi tersebut terhadap tubuh dan pikiran. Selama proses menyadari pikiran dan perasaan yang menekan atau menghakimi, individu perlu melakukan proses ini tanpa bereaksi, hanya mengamati apa adanya pikiran dan perasaan yang muncul. Selanjutnya individu perlu melanjutkan dengan memeriksa kesesuaian pikiran dan perasaan yang muncul tersebut dengan fakta yang sebenarnya terjadi.  

4.   Ambil satu tarikan nafas panjang sebelum memberi tanggapan. Jeda singkat melalui satu tarikan nafas panjang ini menjadi pembeda antara kemampuan menanggapi dengan bijak atau sekedar reaksi spontan tanpa pertimbangan matang.

5.   Gunakan pernyataan reflektif. Strategi ini merupakan strategi yang tepat untuk tetap hadir sepenuhnya. Hal ini memungkinkan individu untuk berkonsentrasi penuh pada apa yang dikatakan orang lain, daripada memikirkan balasan dan pembelaan terhadap lawan bicara.  Dengan menggunakan pernyataan reflektif, individu menunjukkan ketertertarikan sepenuhnya pada apa yang sebenarnya disampaikan orang lain dan hal ini membuat mereka lebih nyaman untuk menanggapi ulang.

6.   Memahami bahwa diskusi yang berlangsung tidak hanya tentang satu pihak saja. Tujuan utamanya adalah agar kedua belah pihak didengar dan menganggap diskusi yang sedang berlangsung tersebut bermanfaat. Dengan demikian, menjadi penting untuk secara aktif mengambil perspektif orang lain dan menumbuhkan empati, bahkan jika individu pada dasarnya tidak setuju dengan posisi dan apa yang disampaikan oleh orang lain tersebut. Ini membuat eskalasi konflik menjadi jauh lebih kecil kemungkinan untuk terjadi.

7.   Memahami situasi sesudahnya. Individu perlu memeriksa apa yang dirasakan setelah melakukan diskusi. Selain itu individu perlu memeriksa ulang apakah terjadi pemahaman dari kedua belah pihak, serta apakah masih diperlukan pembahasan tindak lanjut di sesi berikutnya atau semua agenda permasalahan sudah selesai dan telah mencapai kesepakatan. Dengan menindaklanjuti menggunakan berbagai pertanyaan ini, individu menjadi terlatih untuk menyadari dan mengambil keputusan dengan tepat di masa yang akan datang.  

 

 

Penutup

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam hidup, karena manusia adalah makhluk yang unik dan selalu berinteraksi satu sama lain. Mindfulness membantu untuk memberi jeda agar individu berhenti sejenak, kemudian mengamati reaksi-reaksi otomatis yang muncul terhadap situasi yang sedang terjadi, untuk kemudian merespon dengan ekologis. Dengan melatih diri menerapkan kiat-kiat mindfulness dalam berkomunikasi dan mengatasi konflik, dapat membantu tercapainya resolusi konflik dan kolaborasi yang dapat mendorong produktivitas.

 

 

Referensi:

 

Folger, J. P., Poole, M. S., & Stutman, R. K. (2001). Working through conflict: Strategies for relationships, groups, and organizations. New York, NY: Addision Wesley Longman.

Garland, E., Gaylord, S., & Park, J. (2009). The role of mindfulness in positive reappraisal. Explore, 5(1), 37–44. https://doi.org/10.1016/j.explore.2008.10.001.

Glomb, T. M., Duffy, M. K., Bono, J. E., & Yang, T. (2011). Mindfulness at work. In J.
Martocchio, H. Liao, & A. Joshi (Eds.). Research in personnel and human resource
management
(pp. 115–157). Bingley, UK: Emerald.

Good, D. J., Lyddy, C. J., Glomb, T. M., Bono, J. E., Brown, K. W., Duffy, M. K., ... Lazar, S. W. (2015). Contemplating mindfulness at work: An integrative review. Journal of Management, 42, 114–142. https://doi.org/10.1177/0149206315617003.

Gross, J. J. (1998). Antecedent- and response-focused emotion regulation: Divergent
consequences for experience, expression, and physiology. Journal of Personality and Social Psychology,74(1), 224–237.
https://doi.org/10.1037/00223514.74.1.224.

Jehn, K. A. (1995). A multimethod examination of the benefits and detriments of intragroup conflict. Administrative Science Quarterly, 40, 256–282. https://doi.org/10.2307/2393638.

Kabat-zinn, J. (2003). Mindfulness-Based Interventions in Context : Past , Present , and Future. (2002), 144–156. https://doi.org/10.1093/clipsy/bpg016

Kay, A. A., & Skarlicki, D. P. (2018). Cultivating a conflict-positive workplace: How mindfulness facilitates constructive conflict management. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 159, 8–20. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2020.02.005

Kudesia, R. S. (2019). Mindfulness as metacognitive process. Academy of Management
Review, 44
(2), 405–423.
https://doi.org/10.5465/amr.2015.0333.

Liang, L. H., Brown, D. J., Ferris, D. L., Hanig, S., Lian, H., & Keeping, L. M. (2018). The
dimensions and mechanisms of mindfulness in regulating aggressive behaviors.
Journal of Applied Psychology, 103(3), 281–299.
https://doi.org/10.1037/apl0000283\.

Long, E. C., & Christian, M. S. (2015). Mindfulness buffers retaliatory responses to injustice: A regulatory approach. Journal of Applied Psychology, 100, 1409–1422.
https://doi.org/10.1037/apl0000019.

Tjosvold, D. (2008). The conflict-positive organization: It depends upon us. Journal of
Organizational Behavior, 29
, 19–28.
https://doi.org/10.1002/job.473.

Tjosvold, D., Wong, A. S., & Chen, F. N. Y. (2014). Constructively managing conflicts in
organizations. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior,1, 545–568.
https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-031413-091306

Rahim, M. A. (2015). Managing conflict in organizations. New Brunswick, NJ: Transaction

Rush, T. (2018). Applying Mindfulness for Better Conflict Management. https://consultqd.clevelandclinic.org/applying-mindfulness-for-better-conflict-management/#:~:text=Mindfulness%20skills%20have%20been%20shown,that%20contribute%20to%20unproductive%20conversations.

Vago, D. R., & Silbersweig, D. A. (2012). Self-awareness, self-regulation, and self-transcendence (S-ART): A framework for understanding the neurobiological mechanisms of mindfulness. Frontiers in Human Neuroscience, 6, 296. https://doi.org/10.3389/fnhum.2012.00296.

Yu, L., & Zellmer-Bruhn, M. (2018). Introducing team mindfulness and considering its
safeguard role against conflict transformation and social undermining. Academy of
Management Journal, 61
(1), 324–347.
https://doi.org/10.5465/amj.2016.0094.