ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 14 Juli 2020

Marital Rape: What We Have to Know About It?

 

Oleh

Diana Novita Sari dan Jane Luvena Pietra

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

   

Dari segi terminologi marital rape berasal dari bahasa Inggris. Marital yakni sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, sedangkan rape berarti perkosaan. Samsudin (2010) mengatakan bahwa marital rape adalah pemerkosaan yang terjadi antara suami istri dalam hubungan perkawinan. Adapun maksud dari pemerkosaan itu sendiri adalah pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Sedangkan pengertiannya secara umum yang dipahami oleh berbagai kalangan tentang marital rape adalah istri yang mendapat tindak kekerasan seksual oleh suami dalam perkawinan atau rumah tangga. Tindak kekerasan ini meliputi semua aktivitas seksual yang meliputi pemaksaan, tanpa persetujuan dan tanpa pertimbangan akan kondisi yang dialami istri. Sehingga dapat dikatakan marital Rape adalah hubungan seksual antara pasangan suami istri yang menggunakan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak dikehendaki pasangannya masing-masing.

Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny mengatakan, bahwa memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual adalah bentuk pemerkosaan terhadap istri atau marital rape. Marital rape dikategorikan juga ke dalam kekerasan seksual. Menurutnya, marital rape juga tergolong ke dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). "Jadi KDRT itu dia memaksa istrinya untuk melakukan sesuatu tapi dia tidak mau. Itu bentuk pemerkosaan atau kekerasan seksual pada perempuan ekstrem yang dapat berakhir kepada kematian," ujar Adriana (Lova, 2019)

Pelaporan kasus marital Rape mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Di tahun 2018 tercatat sebanyak 195 kasus marital rape (Komnas Perempuan, 2019). Tetapi pada CATAHU 2020 kasus marital rape mengalami penurunan menjadi 100 kasus. Mayoritas kasus perkosaan dalam perkawinan dilaporkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta P2TP2A (sebanyak 138 kasus), selebihnya dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya. Meningkatnya pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan ini mengindikasikan implementasi UU Penghapusan KDRT (UU P-KDRT) masih memiliki sejumlah persoalan, terutama pada bagian pencegahan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dan penanganan KDRT sendiri. Meski UU P-KDRT telah 16 tahun diberlakukan, namun hanya 3% dari kasus KDRT yang dilaporkan ke lembaga layanan yang sampai ke pengadilan.

Marital rape memiliki dampak untuk korban. Meskipun marital rape dapat terjadi juga pada laki-laki, namun perempuan lebih cenderung menjadi korban karena adanya relasi kuasa dalam sebuah hubungan. Bagi perempuan (istri), marital rape dapat berdampak negatif terhadap perkawinan sehingga membutuhkan keberanian untuk mengungkapkannya. Biasanya istri yang dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, sebenarnya tidak menginginkan hal itu, tetapi dikarenakan pasangan mereka memaksa bahkan mengancam, mau tidak mau istri melakukan hubungan seksual dan akhirnya akan memberikan dampak yang negatif bagi korban.

Adapun dampak yang ditimbulkan menurut Samsudin (2010) adalah pertama, akan menimbulkan lecet pada vagina atau luka fisik lainnya, dan apabila hubungan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama yang diakibatkan suami dalam pengaruh minuman keras atau obat-obatan. juga suami yang melakukan kekerasan fisik saat senggama. Perlakuan kasar suami dalam hubungan seks yang dipaksakan saat istri sedang hamil dan kondisinya dalam keadaan kelelahan dan capai atau ketiduran akan berakibat sulitnya proses persalinan, bayi lahir prematur, dan bahkan keguguran. Istri yang cedera fisik akibat marital rape biasannya tidak mau berobat kedokter atau bidan karena malu. Jika pergi ke dokter penyebab utama dari penyakitnya tidak dijelaskan karena tidak ingin kehidupan pribadi dalam keluargannya diketahui orang lain.

Menurut Sari dan Sularto (2019), mengatakan bahwa kasus marital rape ini harus ada pemberatan hukuman pidana karena dalam budaya Indonesia yang patriarki ini menepatkan suami sebagai kepala rumah tangga yang seharusnya melindungi. Adanya pemberatan penjatuhan pidana ini bertujuan membuka masyarakat bahwa marital rape termasuk kejahatan dan perbuatan tersebut salah di lakukan. Apalagi karena budaya patriarki ini membuat perempuan yang sudah menikah menjadi ketergantungan terhadap suami maka rentan marital rape tersebut dilakukan secara berulang-ulang hal ini yang penulis tekankan perlunya adanya pemberatan. Berdasarkan dampak-dampak yang sudah terpapar di atas.

Berkaitan dengan budaya patriarki tersebut juga dapat menggiring opini masyarakat bahwa istri harus melayani suami dan itu adalah sebagai tugas istri. Oleh karena itu marital rape dianggap sebagai hal yang wajar. Hal ini seharusnya tidak boleh untuk dibiarkan, karena pasti hal itu akan berdampak buruk bagi korban. Selain itu masyarakat juga harus sadar bahwa marital rape termasuk tindak kekerasan sehingga tidak boleh untuk dibiarkan.

 

Referensi:

Samsudin, T. (2010). Marital rape sebagai pelangaran hak asasi manusia. Jurnal Al-Ulum, 10(2), 339-354.

Lova, C., (8 Juli, 2019). Komnas Perempuan: Memaksa Istri Berhubungan Badan Termasuk Pemerkosaan. Kompas. Ditemukan kembali dari: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/08/19464621/komnas-perempuan-memaksa-istri-berhubungan-badan-termasuk-pemerkosaan?page=all

Komnas Perempuan. (2019). Catatan Tahunan Komnas Perempuan. Diakses melalui https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-catatan-tahunan-catahu-komnas-perempuan-2019%20

Sari, A., A., & Sularto, R., B. (2019). Kebijakan formulasi kekerasan seksual terhadap istri (marital rape) berbasis keadilan gender di Indonesia. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(1), 117-127.