ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 13 Juli 2020

 

Fenomena Prank dan Perilaku Schadenfreude di Era Digital.

Benarkah Menghibur?

 

Oleh

Dewi Syukriah & Rr. Dini Diah Nurhadianti

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I

 

Setelah beberapa waktu lalu media sosial diramaikan dengan fenomena challenge, maka saat ini muncul sebuah fenomena yang semakin hari semakin diminati oleh para remaja dan kaum milenial, yaitu prank. Prank sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang berarti gurauan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata prank dapat diartikan sebagai gurauan, menipu atau olok-olok. Prank dilakukan mulai dari gurauan yang ringan sampai dengan candaan yang bersifat berat bahkan menyinggung masalah agama dan norma. Maraknya tayangan prank yang muncul di televisi dan media sosial akhir-akhir ini, tentu saja ide awalnya untuk menghibur penonton. Namun sayangnya, beberapa tayangan prank justru bukan menghibur tetapi terkesan sengaja “mengerjai” orang lain atau si korban.

Jika dilihat dari tayangan di televisi maupun media sosial, prank selalu melibatkan satu pihak yang menjadi korban dan pihak lain yang tertawa senang akan peristiwa tidak menyenangkan yang dialami oleh korban tersebut. Kegiatan “mengerjai” tersebut sudah dipersiapkan sedemikian rupa dan semata-mata dilakukan untuk mencari kesenangan atas peristiwa sial yang menimpa orang lain. Meskipun banyak menuai pro dan kontra terkait munculnya tontonan tersebut, namun konten-konten prank seperti itu seolah menjadi tontonan yang laris manis. Bahkan bermunculan youtuber-youtuber yang tidak mau kehilangan kesempatan, mereka berlomba-lomba membuat dan mengunggah video prank untuk mendapatkan banyak viewers, likes, subscribers dan comments.

Sebuah tayangan prank yang viral belakangan ini justru berakhir dengan tertangkapnya sang youtuber, hingga harus berurusan dengan pihak kepolisian. Jika dilihat dari kasus prank seperti itu, apakah tayangan prank dapat dikatakan sebagai sebuah hiburan?

Respon bahagia dan tertawa senang sering kita temui ketika melihat adegan lawak namun mengandung unsur kekerasan atau kemalangan satu tokoh di dalamnya. Entah ketika si pelawak jatuh dari kursi atau terhantam bagian tubuh pelawak lain, sehingga kejadian unik tersebut menggambarkan kondisi pelawak dalam keadaan tak berdaya. Bagi beberapa penonton, kejadian tersebut lucu, dapat menghibur dan menjadi sebuah kenikmatan tiada tara. Perasaan-perasaan seperti ini bisa bertambah ketika kita merasa lebih superior dari pihak yang kita tertawakan. Demikian pula di dalam sebuah konten prank. Posisi korban prank yang kaget, tak bisa berbuat apa-apa, panik bahkan mungkin menangis bisa menjadi salah satu hiburan yang sangat menyenangkan untuk orang lain. 

Saat kita tertawa dan merasa bahagia ketika melihat penderitaan ataupun kesialan yang menimpa orang lain, dikenal dengan istilah schadenfreude. Schadenfreude berasal dari Bahasa Jerman yang tersusun dari kata ‘schaden’ yang berarti kecelakaan dan ‘freude’ yang berarti kebahagiaan. Schadenfreude dapat diartikan sebagai pengalaman kesenangan, kegembiraan, atau kepuasan diri saat menyaksikan masalah, kegagalan, atau penghinaan orang lain (Wikipedia).

Leach, Spears, Branscombe dan Doosje (2003) mengatakan bahwa schadenfreude bisa menjadi ancaman berbahaya bagi hubungan sosial. Berbeda dengan perasaan "kesombongan" yang lebih sah dalam kekalahan aktif dari orang lain melalui kompetisi langsung. Namun, schadenfreude hanya diaktifkan ketika ada pihak ketiga atau keadaan yang menyebabkan ketidakberuntungan bagi orang lain. Senada dengan Brambilla dan Riva (2017) yang menjelaskan bahwa schadenfreude adalah kegembiraan yang ditimbulkan dari menurunnya perbandingan sosial dan melibatkan kepuasan pada individu lain, khususnya dalam konteks persaingan. Ketika orang lain mengalami kemunduran, individu mungkin mengalami berbagai emosi. Individu dapat berempati dan memiliki perasaan kasih sayang terhadap orang lain atau mungkin merasakan schadenfreude yaitu kesenangan atas kemalangan orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Smith, Powell, Combs dan Schurtz (2009) menjelaskan terdapat tiga situasi di mana seseorang melakukan schadenfreude. Pertama, schadenfreude berbasis agresi, yaitu ketika kegembiraan mengamati penderitaan orang lain yang dapat meningkatkan atau memvalidasi status kelompok mereka sendiri. Ini ada kaitannya dengan kelompok yang saling bersaing. Kedua, schadenfreude berbasis rivalitas, yaitu lebih bersifat individualistis dan terkait dengan kompetisi antar pribadi. Ini muncul dari keinginan manusia untuk menonjol dibanding orang lain. Kemalangan orang lain memunculkan kesenangan karena membuat mereka lebih baik, apalagi jika kemalangan tersebut terjadi pada orang yang tak kita sukai. Ketiga, schadenfreude berbasis keadilan, yaitu memandang bahwa perilaku yang dianggap tak bermoral atau buruk, maka pantas dihukum. Kesenangan ini terjadi ketika orang yang dianggap jahat maka patut untuk menerima balasan. Schadenfreude tipe ini membuat orang merasa keadilan telah dipulihkan.

Jika dilihat dari kategori schadenfreude, fenomena prank masuk pada kategori schadenfreude berbasis rivalitas. Ketika para youtuber melihat konten prank orang lain - dalam hal ini pesaingnya – yang lebih banyak mendapat subcribers, likes, viewers dan comments dari para pengikutnya, maka mereka berusaha membuat skenario konten prank yang lebih seru, ekstrim dan menantang yang semuanya dirancang dengan tujuan untuk mendapat lebih banyak subscribers, likes, viewers ataupun comments dari orang lain. Meskipun tren anak muda zaman sekarang cenderung ingin meraih popularitas dengan cara instan melalui cara apapun, namun tidak seharusnya melakukan tindakan yang mengabaikan perasaan orang lain, melanggar norma agama, sosial dan masyarakat. Bagaimanapun juga perilaku schadenfreude yang berlebihan adalah satu indikasi dari kelainan emosi atau psikologis yang dilakukan oleh para pelaku prank. Bagi pihak korban, akan merasa tidak nyaman, marah, kaget, tidak berdaya dan berbagai emosi lainnya karena mendapatkan perlakuan yang tidak diduga sebelumnya.

Sebagai mahluk sosial, manusia telah dibekali hati nurani untuk bisa merasakan, berempati dan menggunakan nalar dalam berperilaku serta mampu membuat penilaian dari perspektif pikir yang luas, tidak hanya dari satu sisi tapi dari berbagai sisi. Selain itu penting menggunakan hati nurani serta memikirkan konsekuensi dari setiap tindakan kita dengan mempertimbangkan juga unsur perikemanusiaan.

 

Referensi:

Brambilla, M., & Riva, P. (2017). Selfimage and schadenfreude: Pleasure at others' misfortune enhances satisfaction of basic human needs. European Journal of Social Psychology, 47(4), 399-411.

Leach, C. W., Spears, R., Branscombe, N. R., & Doosje, B. (2003). Malicious pleasure: Schadenfreude at the suffering of another group. Journal of personality and social psychology, 84(5), 932.

Smith, R. H., Powell, C. A., Combs, D. J. Y., & Schurtz, D. R. (2009). Exploring the when and why of schadenfreude. Social and Personality Psychology Compass, 3(4), 530–546.

Wikipedia