ISSN 2477-1686

 

Vol.2. No.6, Maret 2016

Liputan Sesi BerbagI KPIN

MENYAMBUT MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: PENYUSUNAN ALAT UKUR PSIKOLOGI DENGAN AKAR INDONESIA

Ardiningtiyas Pitaloka

Sesi Berbagi ke-2 dari Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) telah diselenggarakan pada tanggal 19 Februari 2016 di Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Sesi dengan tema `seksi` ini berhasil menyedot para akademisi maupun praktisi psikologi di Bandung dan Jakarta. Total peserta sesi beserta tuan rumah kurang lebih 100 peserta, termasuk beberapa di antaranya yang pantang mundur datang di hari H meskipun pendaftaran telah ditutup. Untung saja masih tersedia ruang dengan penambahan kursi. Antusias ini merupakan sinyal positif bagi perkembangan psikologi di Indonesia. Semangat menghadiri sesi berbagi untuk menimba ilmu dan berdiskusi dengan pakar dan kolega psikologi tidak kalah dengan semangat para ABG menyerbu konser.

Pembicara sesi Christiany Suwartono, kandidat PhD dari Radboud University of Nijmegen, Belanda yang juga akademisi dari Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya, Jakarta. Bertindak sebagai moderator sesi Vinaya, akademisi Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila, Jakarta.

Sesi ini membahas empat isu yakni: era M.E.A, proses adaptasi, tantangan dan standarisasi. Era MEA, secara sederhana merupakan era pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa serta tenaga kerja terampil, serta arus bebas modal. Dalam melakukan proses adaptasi, Christiany memaparkan dua hal yang penting kita perhatikan: (1) Sedapat mungkin meminimalkan perbedaan budaya yang tidak relevan atau tidak memiliki kepentingan dengan tujuan utama pembuatan alat tes; (2) Pengetahuan akan adanya kemungkinan tumpang tindih di dalam konstruk yang diukur oleh tes atau instrumen pada populasi yang dituju.

Sementara untuk pengembangan dan adaptasi tes psikologi, hendaknya berpedoman pada dua hal terkait bahasa dan teknik. Gunakan bahasa yang sesuai untuk semua budaya yang termasuk dalam populasi dari target tes atau instrumen, baik untuk petunjuk pengerjaan soal maupun soal-soalnya. Untuk teknik tes, gunakan format dan prosedur yang sudah dikenal target tes. Contohnya, penggunaan simbol emoticon wajah senyum untuk pernyataan setuju dan tidak tersenyum untuk sebaliknya, perlu dipertimbangkan kembali. Apakah semua populasi di Indonesia, baik di perkotaan hingga pelosok daerah akrab dengan simbol ini.  

Tantangan

Christiany mengingatkan peserta sesi tentang beberapa tantangan dalam proses ini. Pertama adalah adanya resistensi terhadap tes psikologis itu sendiri. Sebagai `warga` psikologi, mungkin perlu mengingat kembali ketika masa praktikum mencari testee, terutama ketika untuk tes inteligensi, ada satu kekhawatiran dan resistensi calon testee karena merasa tidak nyaman terkait hasil: saya pintar atau….? Ataupun tes psikologi lain, yang memancing testee merasa tidak nyaman karena merasa tester akan memasuki ruang privasi yang mungkin ia sendiri belum tentu mengetahuinya. Resistensi ini tidak bisa kita abaikan dan perlu pendekatan tersendiri.

Selanjutnya adalah tantangan terkait perizinan yakni lisensi dari test publisher. Apakah untuk keperluan penelitian atau komersil. Perizinan lain yang harus diperhatikan adalah izin testee yakni informed consent. Pastikan bahwa semua data mendapatkan izin tertulis dari testee.

Tantangan  selanjutnya adalah penegakan diagnosis klinis dan  kerja sama antarprofesi: psikolog, psychometrician dan peneliti. Pembicara tidak lupa menggelitik peserta sesi tentang ego sektoral yang masih ada dan seharusnya tidak perlu menjadi kendala karena semua pihak saling membutuhkan. Terlebih untuk menyambut era MEA, sinergi antar pihak menjadi syarat mutlak untuk kemajuan alat ukur Psikologi dan ilmu Psikologi pada umumnya di Indonesia.

Standarisasi

Bagaimana dengan standarisasi atau membuat standarisasi? Menurut Christiany, kita perlu melihat terlebih dahulu, tujuannya: (1) perbandingan interindividu atau (2) perbandingan intraindividual. Standarisasi ini kita kenal juga dengan sebutan norma yang memiliki pengertian: penyebaran skor tes suatu kelompok standarisasi / kelompok normatif yang digunakan sebagai patokan untuk memaknai atau menginterpretasikan skor tes. Interpretasi ini dilakukan dengan menentukan kedudukan / posisi relatif suatu skor tes dalam penyebaran tersebut.

Tindak Lanjut

Menurut pembicara, masih minimnya publikasi riset Indonesia di jurnal internasional memiliki dua sisi mata koin. Sisi positif atau bisa kita katakan keuntungannya adalah minim pula pengetahuan orang luar tentang Indonesia yang sekaligus menjadi peluang kita sendiri untuk `memegang kendali`. Sisi negatifnya, minimnya pengetahuan orang luar Indonesia bisa membuat mereka menyederhanakan Indonesia menjadi Jawa dan Bali saja, karena sebagian besar publikasi hasil riset mengambil responden dari kota di dua pulau ini.

Peserta langsung menyambut informasi ini dalam sesi diskusi. Salah seorang peserta yang merupakan praktisi psikologi menyampaikan banyaknya data di biro psikologi yang belum diolah. Data ini merupakan peluang atau `harta karun` bagi perkembangan psikologi di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah institusi selain pendidikan boleh mengirimkan dan menerbitkan di publikasi ilmiah baik nasional maupun internasional. Menjawab pertanyaan ini, pembicara menyarankan untuk bersinergi dengan universitas sehingga memperkuat sisi ilmiahnya.

Pertanyaan lain yang tidak kalah menarik adalah terkait norma. Pembicara sempat menceritakan pengalaman pribadinya bertindak sebagai konsultan salah satu perusahaan dan peneliti untuk pembuatan norma di Indonesia, ternyata, norma berdasarkan pulau yang lebih representatif. Kemudian, peserta menanyakan kemungkinan membuat norma Indonesia di tengah keberagaman di Indonesia, apakah memungkinkan membuat norma berdasarkan etnis atau generasi yang lebih sesuai. Pembahasan ini pun berlangsung cukup seru. Terkait etnis, berdasarkan pengalaman pembicara, ia sempat menemui kesulitan di lapangan ketika menanyakan etnis partisipan karena sudah banyak yang bercampur sehingga partisipan pun bingung menjawabnya. Akan tetapi jika tujuan penelitian menghendaki hal itu, tetap mungkin untuk dilakukan. Akhirnya, pembicara mengatakan pembuatan norma ini harus kembali memperhatikan tujuan dari alat ukur itu sendiri.