ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 11 Juni 2020

Peran Fathering dalam Pembentukan Intimacy Wanita Dewasa Awal

 

Oleh

Sisy Tamara Hadisawa, & Rr. Dini Diah Nurhadianti

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I

 

 

Dalam teori Psikososial Erikson, masa dewasa awal berada pada tahap keenam yaitu intimacy versus isolation, di mana masa ini merupakan proses penemuan diri sendiri dan peleburan diri sendiri di dalam diri orang lain. Senada dengan pendapat Santrock (2012) yang mengatakan bahwa intimacy merupakan proses menemukan diri sendiri sekaligus meleburkan diri sendiri di dalam diri individu lain yang membutuhkan komitmen didalamnya.

 

Ketidakmampuan individu dalam mengembangkan relasi yang bermakna dengan individu lain dapat melukai kepribadian individu. Individu yang kepribadiannya terluka menggiringnya untuk tidak mau mengakui, mengabaikan, atau menyerang individu-individu lain yang dianggap menimbulkan frustasi. Individu tersebut akan mundur dalam pencarian diri untuk menemukan di mana letak kesalahannya. Introspeksi ini kadangkala mengarah pada depresi yang menyakitkan dan berujung isolasi. Oleh karena itu, jika seseorang gagal dalam mengembangkan relasi yang intim di masa dewasa awal, maka individu akan mengalami isolasi.

 

Adanya keterbukaan diri dan mau berbagi pikiran-pikiran personal pada orang lain merupakan tanda-tanda keintiman. Cox (dalam Agusdwitanti, Tambunan & Retnaningsih, 2015) mengatakan bahwa intimacy dapat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kecemasan akan identitas diri, ketakutan akan terungkapnya kelemahan, membawa kekesalan atau dendam masa lalu ke masa kini, konflik masa kecil yang tidak terselesaikan, dan ketakutan akan mengungkapkan perasaan yang tidak nyaman bagi dirinya. Pengalaman masa lalu yang terbentuk dari pola asuh yang terbentuk oleh ayah terhadap anak perempuannya akan berdampak pada kemampuan wanita dewasa awal dalam menjalin intimacy dengan laki-laki.

 

Wanita dewasa awal dalam pemilihan pasangan akan memilih pasangan yang memiliki kesamaan dan keakraban menyerupai ayahnya, karena ayah merupakan pertemuan pertama anak perempuan dengan laki-laki dalam hidupnya. Keterlibatan ayah dalam pola asuh akan menjadi modal bagi wanita dewasa awal untuk berinteraksi secara positif dengan laki-laki dalam hidupnya. Sedangkan tanpa keterlibatan ayah dalam pola asuh, wanita dewasa awal akan merasa sulit untuk membangun interaksi secara positif dengan laki-laki, bahkan memiliki pandangan pesimis terhadap laki-laki tersebut. Jika interaksi yang terbangun antara ayah dengan anak perempuannya positif, maka wanita dewasa awal akan lebih mudah untuk membangun intimacy, begitu pun sebaliknya.

 

Fathering atau peran ayah seperti yang diungkapkan oleh Andayani dan Koentjoro (2004) lebih merujuk pada peranannya dalam parenting. Hal ini dikarenakan fathering merupakan bagian dari parenting. Idealnya ayah dan ibu mengambil peranan yang saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga dan perkawinannya, termasuk didalamnya berperan sebagai model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalin kehidupannya. Effendy (dalam Mardiyah, 2017) mengemukakan peran ayah dalam keluarga berkedudukan sebagai kepala rumah tangga, sebagai suami dari istri, ayah dari anak-anak, juga berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Oleh sebab itu, peran seorang ayah dalam keluarga bukan hanya sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah, mendidik, melindungi istri dan anaknya, tetapi yang penting perannya sebagai model dan contoh dalam pembentukan intimacy pada anak-anaknya, terutama pada anak perempuan.

 

Budaya Patriarki di Indonesia masih sangat kuat, yaitu sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi. Bahkan dalam keluarga, laki-laki memiliki otoritas terhadap perempuan, anak dan harta benda yang dimiliki. Oleh karena laki-laki memiliki otoritas tertinggi dalam keluarga, maka laki-laki berkewajiban dalam mencari nafkah sedangkan perempuan berkewajiban dalam mengasuh anak. Kebudayaan yang berlangsung secara turun-temurun ini membentuk stigma dalam masyarakat bahwa tugas laki-laki hanyalah sebagai pencari nafkah semata, dan tidak berkewajiban untuk turun tangan dalam membantu perempuan mengasuh anak. Padahal sebenarnya ayah juga memiliki kewajiban untuk terlibat dalam mengasuh anak, guna membentuk hubungan yang positif dengan anaknya. Model konseptual keterlibatan ayah yang dikembangkan oleh Lamb, Pleck, Charnov, dan Levine (dalam Palkovitz & Hull, 2018) mengemukakan tiga komponen keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yaitu accessibility (ketersediaan) adalah ketersediaan waktu ayah untuk anak, engagement (keterlibatan) adalah keterlibatan ayah dalam berinteraksi langsung dengan anak, dan responsibility (tanggung jawab) adalah tanggung jawab ayah dalam mengelola kehidupan anak.

 

Dalam sebuah studi yang dilakukan Pernama dan Partasari (2015) yang mencoba mencari tahu seberapa jauh keterlibatan ayah dengan pembentukan intimacy pada wanita dewasa muda justru mengungkap bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dengan intimacy. Hal ini disebabkan karena banyak wanita muda yang mempersepsikan ayahnya “cukup terlibat” dalam kehidupannya. Pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh stigma masyarakat tentang peran ayah sebagai pencari nafkah dan tidak berkewajiban dalam pengasuhan anak. Sehingga ketika ayah sudah mencukupi semua kebutuhan materi anak, maka dirasakan sudah cukup keterlibatan ayah pada dirinya. Padahal dalam pengasuhan yang dibutuhkan anak bukan semata-mata kebutuhan materi, tetapi juga kebutuhan psikologis seperti kedekatan dan interaksi personal, bertukar pikiran dalam berbagai hal, kehadiran ayah saat anak membutuhkan, serta yang terpenting adalah ayah sebagai role model karena ayah merupakan laki-laki pertama yang ditemui dalam hidupnya.

 

Referensi:

 

Agusdwitanti, H., Tambunan, S. M., & Retnaningsih. (2015). Kelekatan dan Intimasi pada Dewasa Awal. Jurnal Psikologi, 8(1), 28-24.

Andayani, B. & Koentjoro. (2004). Peran Ayah Menuju Coparenting. Sepanjang: CV. Citra Media.

Mardiyah, I. (2017). Peran Ayah dalam Menanamkan Sikap Self Acceptance dalam Rangka Mencegah Perilaku Homoseksual pada Anak. Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak, 3(1), 55-67. Doi: 10.24260/raheema.v3i1.560

Palkovitz, R. & Hull, J. (2018). Toward a Resource Theory of Fathering. Journal of Family Theory & Review. DOI:10.1111/jftr.12239

Pernama, K. S. & Partasari, W. D. (2015). Hubungan antara Keterlibatan Ayah dan Intimacy pada Perempuan Dewasa Muda. Psikovidya, 19(1): 22-32. Doi: 10.37303/psikovidya.v19i1.58

Santrock, J. W. (2012). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup) Edisi Ketigabelas Jilid 2, Jakarta: Penerbit Erlangga.