SSN 2477-1686
Vol.6 No. 10 Mei 2020
Rekayasa Perilaku Makan untuk Hadapi Ancaman Krisis Pangan Pasca Pandemi: Tugas Bersama Berikutnya!
Oleh
Subhan El Hafiz
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Saat ini mungkin sebagian masyarakat sudah mulai bisa beradaptasi dengan situasi “new normal”, dimana sebagian besar aktifitas harus dilakukan di dalam rumah dan terjadi perubahan perilaku sosial di luar rumah. Hal ini terlihat dari orang-orang yang sudah mulai kembali produktif dengan pekerjaannya. Namun demikian, masalah pandemi global ini nampaknya masih akan menyisakan dampak sosial yang lebih besar setelahnya, diantaranya masalah ekonomi dan krisis pangan. Tulisan kali ini akan membahas poin kedua, yaitu krisis pangan, karena hal ini memiliki dampak besar pada kelangsungan hidup, kesehatan, kesejahteraan, dan ekonomi.
Organisasi pangan duniah (FAO, 7 April 2020) sudah mengingatkan akan munculnya krisis pangan dunia dalam beberapa bulan ke depan, terutama ketika stock bahan makanan yang tersimpan dalam gudang-gudang sudah mulai menipis sedangkan produksi dan distribusi terhambat akibat pembatasan sosial di hampir seluruh dunia. Pada saat itu, negara-negara yang biasa menjadi eksportir beras akan menahan ekspor untuk memastikan kebutuhan dalam negerinya aman. Pun, jika bisa melakukan ekspor maka masalah distribusi akan menghambat karena jalur perdagangan dan pintu keluar-masuk barang antar negara belum sepenuhnya terbuka.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Hampir setiap tahun Indonesia masih mengimpor beras dan daging untuk mengamankan stock dalam negeri (Detik Finance, 28 Mei 2014). Apa yang terjadi ketika harga beras di pasar dunia melambung dan negara-negara kaya, namun miskin sumber daya alam, seperti Singapura, lebih mampu membeli pasokan tersebut? Kalaupun ada pasokan, apakah akan tiba tepat waktu? akibat jalur distribusi belum lagi efektif. Oleh karena itu, jika tidak ada intervensi perilaku makan dari sekarang, maka dalam beberapa bulan ke depan Indonesia akan mengalami dampak susulan dari Covid-19, yaitu kerawanan pangan.
Indonesia sebenarnya punya potensi SDA untuk menjaga ketahanan pangan, namun masalahnya saat ini sebagian besar masyarakat masih bergantung pada satu bahan makanan pokok, yaitu beras. Akibatnya ketergantungan akan menyebabkan stock tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi yang bisa mengatasi potensi masalah tersebut. Selain berbagai tawaran solusi lain, diversifikasi sumber makanan merupakan solusi yang lebih cocok untuk semua kalangan, termasuk anak-anak, dalam jangka Panjang (Kementrian Pertanian RI, diakses April 2020). Dengan demikian, masyarakat Indonesia harus mulai kembali membiasakan makan makanan lokal selain beras, seperti: jagung, singkong, ubi, dsb. Oleh karena itu, tulisan ini secara khusus akan menjelaskan aspek psikologis dalam merencanakan perubahan perilaku makan tersebut.
Teori Psikologi untuk Mengubah perilaku makan
Sekitar 10 tahun yang lalu, Rothman, Sheeran, dan Wood (2009) menjelaskan perubahan perilaku makan dapat dibagi menjadi dua, yaitu inisiasi (awal) dan maintenance (mempertahankan). Masing-masing tahapan, dapat dilakukan dengan rekayasa yang bersifat sadar melalui proses refleksi atau dilakukan secara tak sadar (otomatis). Rothman dkk. (2009) kemudian membuat matrix (2x2) untuk memudahkan orang memahami proses perubahan perilaku makan (lihat tabel).
Adapun, terkait dengan target terdekat untuk menghadapi kerawanan pangan paska Covid-19, maka tulisan ini akan fokus pada tahap inisiasi. Adapun tahap “mempertahankan” akan disesuaikan oleh masing-masing orang dan kebijakan nasional pada saat Covid 19 ini benar-benar berakhir, apakah akan dipertahankan atau kembali perilaku sebelumnya. Kembali pada teori, berdasarkan tabel, perubahan perilaku makan harus dimulai dengan tahap inisiasi dimana hal ini dapat dilakukan dengan dua acara, yaitu reflektif dan otomatis.
Untuk pendekatan reflektif, maka sasaran dari intervensi diantaranya: perubahan sikap, perubahan norma sosial, efikasi diri dan intensi atau dorongan terhadap perilaku makan. Sasaran ini dapat dilakukan secara beragam sesuai dengan tujuan perubahan perilaku makan, misalnya merubah sikap yang lebih positif terhadap sarapan singkong rebus daripada nasi bubur atau sikap yang lebih positif terhadap makan malam dengan jagung bakar daripada nasi goreng. Adapun intervensi yang bisa dilakukan diantaranya, melakukan persuasi terhadap orang-orang sekitar untuk untuk mengubah menu makan dari yang harus beras menjadi lebih variatif, misalnya menjelaskan kesetaraan nilai gizi dari beras dan singkong.
|
|
Perubahan perilaku |
|
|
|
Inisiasi |
Mempertahankan |
Kontrol tindakan |
Reflektif |
Aspek kunci: sikap, norma sosial, self-efficacy, intensi/ dorongan.
Intervensi yang mungkin: - Persuasi, pengaruh sosial, meningkatkan efikasi diri. - Self-monitoring dan kontrol diri - Ekploitasi konteks perubahan perilaku - Merekayasa dorongan |
Aspek kunci: rasa puas terhadap perubahan perilaku
Intervensi yang mungkin: - Pembandingan sementara - Menunjukkan hasil - Mindfulness terhadap perubahan perilaku - Mengubah ekpektasi |
Otomatis |
Aspek kunci: sikap tersirat, petunjuk perilaku
Intervensi yang mungkin: - Evaluasi situasi - Latihan asosiasi/ kaitan - Latihan menghindar dan mendekat - Mengontrol isyarat makanan - Isyarat Kesehatan - Rekayasa dorongan |
Aspek kunci: kebiasaan
Intervensi yang mungkin: - Pengulangan dan konsistensi - Mengganti kebiasaan: o Mengganti isyarat kontrol diri pada makanan tidak sehat o Mengganti isyarat (cues) pada makana tidak sehat |
Sumber: Rothman dkk. (2009)
Namun demikian, pendekatan reflektif mungkin memiliki tantangan lebih besar karena membutuhkan kesadaran individu untuk mengubah perilaku makan (Rothman dkk., 2009). Padahal sebagian besar perilaku makan bersifat tak sadar, yaitu dilakukan tanpa harus banyak menganalisa pilihan makanan yang tersedia. Oleh karena itu, pendekatan reflektif juga perlu dibarengi dengan pendekatan otomatis agar memperoleh hasil maksimal.
Pendekatan otomatis bertujuan mengubah sikap tersirat dan petunjuk perilaku terhadap makanan. Intervensi perilaku makan yang dapat dilakukan untuk mengubah sasaran tersebut, misalnya intervensi untuk mengubah sikap individu saat melihat ubi rebus di pagi hari. Menggunakan contoh tersebut, jika sebelumnya ketika melihat ubi rebus dipagi hari dan merasa sebagai makanan pelengkap maka rekayasa dilakukan agar ubi rebus dipersepsi sebagai sarapan utama. Untuk itu, diantara intervensi yang bisa dilakukan adalah dengan mengontrol isyarat makan, seperti meletakkan ubi rebus pada piring makan, di meja makan, pada waktu sarapan dan terus dilakukan berulang-ulang.
Saran Praktis
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hal-hal yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk mencegah kerawanan pangan di masa depan adalah dengan melakukan intervensi perilaku makan sehingga sumbernya terdiversifikasi. Salah satunya, secara reflektif dengan mulai menyebarkan pentingnya makanan selain beras untuk menjaga ketersediaan pangan nasional melalui berbagai media (sasaran: norma sosial). Juga bisa dilakukan dengan mengajak semua orang mengontrol makanannya khususnya terhadap beras.
Pendekatan reflektif di atas perlu dilengkapi dengan pendekatan otomatis. Sebagai contoh, latihan asosiasi dengan cara memposting foto atau video atau foto makan (pagi, siang, atau malam) dengan menu non-beras. Selain itu juga dapat dilakukan dengan isyarat makan yaitu dengan menyebarkan informasi bahwa kebutuhan nutrisi dengan satuan jagung, misalnya mengkampanyekan bahwa untuk pekerja kantoran kebutuhan karbohidratnya sehari sekitar 6 bongkol jagung, atau sejenisnya. Cara lain yang bisa dilakukan adalah pendekatan evaluatif, yaitu dirumah tidak lagi membeli beras dalam beberapa hari agar terdapat proses evaluasi pada anggota keluarga untuk menerima selain beras. Tentunya ada banyak cara lain yang bisa dilakukan sesuai teori yang sudah dijelaskan. Tujuannya, dengan saling berbagi cara yang efektif dengan orang-orang sekitar akan menghasilkan cara yang paling sesuai untuk keluarga masing-masing dan daerah masing-masing. Pada akhirnya, jika rekayasa ini berhasil, Indonesia akan mampu segera bangkit setelah pandemi Covid-19 mereda. Semoga.
Referensi:
Detik Finance (28 Mei 2014). 3 Alasan Indonesia Selalu Impor Pangan Tiap Tahun. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2594044/3-alasan-indonesia-selalu-impor-pangan-tiap-tahun
Food and Agriculture Organization of the UN (FAO). (7 April 2020). Coronavirus disease 2019 (COVID-19) - Addressing the impacts of COVID-19 in food crises. http://www.fao.org/emergencies/appeals/detail/en/c/1270012/
Kementrian Pertanian RI (diakses April 2020). Diversifikasi Pangan, Beras Bukan Satu-satunya Sumber Karbohidrat. https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=2438
Rothman, A. J., Sheeran, P., & Wood, W. (2009). Reflective and automatic processes in the initiation and maintenance of dietary change. Annals of Behavioral Medicine, 38(suppl_1), s4-s17.