ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 09 Mei 2020
Mengapa Aku Menikahi Teroris
Oleh
Any Rufaedah
Division for Applied Social Psychology Research;
Universitas NU Jakarta
Motivasi Menikah dengan Mujahid
Pada volume 6 Buletin KPIN edisi Februari 2020 lalu, saya mengulas sedikit tentang sumber kebahagiaan para istri pendukung ekstremisme kekerasan, yaitu menikah dengan seorang mujahid. Pada artikel ini saya ingin berbagi lebih banyak mengenai alasan para perempuan itu menikahi teroris.
Pada umumnya, orang menikah dengan orang yang selalu ada untuk mereka dan tidak memiliki risiko-risiko yang dapat menciptakan ketidaknyamanan hidup. Tetapi, perempuan istri teroris memilih menikahi laki-laki dengan risiko pergi dalam waktu lama, dipenjara, tewas di medan perang, dilabeli teroris, dikucilkan tetangga, dan sebagainya. Bukan dengan paksaan, melainkan dengan suka cita.
Awal tahun lalu (2019), saya mewawancarai dua perempuan istri mantan pelaku aksi teror di Jawa Timur dan Jawa Barat. Kami berbicara tentang awal pertemuan dengan suami sampai kehidupan setelah suami dipenjara. Yang akan saya tulis di artikel ini adalah bagian kecil dari seluruh wawancara, yaitu mengenai motivasi menikah.
Singkat cerita, dua perempuan ini menikah dengan pengetahuan penuh bahwa suaminya adalah "mujahid" yang aktivitasnya adalah melakukan pelatihan "militer" (i’dad dan tadrib), hidup dengan penuh kerahasiaan, pergi ke medan tempur, melakukan amaliyah (operasi) dalam berbagai bentuk termasuk pengeboman, pernah mengikuti pendidikan militer mujahid, dan seputarnya. Mereka juga sadar suaminya mungkin akan pergi jauh untuk tujuan jihad dan tewas di medan jihad. Dikucilkan dan dicibir adalah bagian risiko yang suatu saat juga harus dihadapi. Bukan risiko biasa, namun dua perempuan ini justru bangga dapat menikahi laki-laki dengan risiko tersebut. Tak perlu berlama-lama ta’aruf (perkenalan sebelum menikah), karena yang penting bagi dua perempuan ini adalah restu orang tua, baik, dan mujahid. Dalam wawancara, mereka menyatakan:
Dulu sih punya cita-cita pengen dapet suami orang mujahid gitu. Ya udah begitu dapet, ya udah Bismillah. … Ya kaya gitu, yang memerangi orang kafir gitu lah, pembela Islam. Iya, yang penting mujahid gitu. Insya Allah bisa melindungi keluarga. … Yang saya tahu cuman dari Jakarta, gitu aja. Lulusan Afghan, lulusan akademi militer di Afghan. [setelah abinya ditangkap ada rasa terharu]. Terharunya ya berarti dia berani gitu kan, berani membela saudara-saudaranya yang sesama Islam. Iya, bangga. (Partisipan A, 2019).
Ustadz [suami] itu mengenalkan dirinya, saya itu seperti ini, kiprah saya begini, antum siap gak jadi istri saya? (Partisipan B, 2019).
Pandangan itu sebagian besar didapat dari pengajian dan pondok pesantren, dimana para ustad menanamkan ideologi dukungan terhadap jihad qital (perang). Kemuliaan mujahid dan risiko-risikonya serta sikap istri terhadap suami yang berstatus mujahid adalah sebagian pelajaran yang mereka terima di pondok pesantren. Dalam wawancara, salah satu partisipan menyatakan:
Ya saya kan selama ini punya gambaran sendiri, saya karena sudah anggota ya yang selama ini sudah pengajian dan ta’lim-ta’lim, ya sudah disiapkan lah gimana menjadi seorang da’iyah. Saya kan juga orang pesantren, itu juga sudah saya pelajari jauh-jauh sebelumnya di …. (nama pondok pesantren).
…. Lebih spesifiknya lagi di …… (nama pondok pesantren) itu lebih diarahkan, bagaimana kiprah kita seorang mujahidah. Ya kita sudah punya gambaran sih, sejak kita santri kan sudah didoktrin semacam itu toh, “Kalian itu jangan membayangkan yang enak-enak, sebagai muballighah menghadapi risiko hidup yang terpahit.” Kalaupun nanti hidup kita enak ya Alhamdulillah, kita siap dengan segala kondisi ya.
…. Sudah [mengetahui risiko suami dipenjara]. Kita sudah siapkan, bayangan-bayangan itu sudah. Tapi ya Alhamdulillah lah, insya Allah kita kan sudah punya ilmunya.
Kesamaan Nilai dan Latar Belakang
Keputusan kedua perempuan ini linier dengan analisis Chiswick dan Lehrer (1991), yang menyatakan orang cenderung memilih pasangan dengan nilai dan latar belakang sama. Namun, faktor-faktor yang mendorong mereka menikah agak berbeda dengan argumen Chiswick dan Lehrer lainnya yang menyatakan cinta, companion (pertemanan), dan ekonomi adalah alasan orang untuk menikah. Ketiga hal ini tampak tidak menjadi faktor penting bagi dua istri teroris yang saya ceritakan ini. Waktu perkenalan sangat singkat dan diperantarai orang lain sehingga kesempatan untuk menumbuhkan rasa cinta sangat minim. Kedua perempuan ini juga tampak tidak menunjukkan pentingnya faktor companion karena sejak perkenalan mereka telah mengetahui akan sering ditinggal pergi untuk keperluan jihad. Sama halnya dengan faktor ekonomi, alasan mengurangi pengeluaran seperti analisis Chiswick dan Lehrer tidak muncul sebagai faktor pendorong pernikahan.
Bagi banyak Muslim, terutama yang berasal dari kalangan pondok pesantren, cinta dan ekonomi tampak juga tidak menjadi faktor yang cukup penting. Banyak anak kiai yang menikah tanpa melalui perkenalan cukup lama, termasuk dialog mengenai masalah ekonomi. Bahkan banyak diantara mereka yang baru bertemu dengan suami di pelaminan. Yang berbeda dengan istri teroris adalah risiko yang mereka hadapi. Para anak kiai tidak menanggung risiko ditinggal berjihad dan distigma teroris. Risiko ditinggal karena tugas atau meninggal di medan tempur mungkin sama dengan istri para tentara, namun istri tentara tidak menghadapi risiko dicibir dan dikucilkan.
Sacred Value dan Self Sacrifice
Saya memandang keputusan menikahi teroris oleh dua perempuan ini didasari oleh nilai yang mereka anggap sangat penting (sacred value) dan kesediaan mengorbankan diri (self-sacrifice). Sacred value adalah segala bentuk nilai yang secara implisit atau eskplisit dipandang memiliki nilai tak terbatas atau nilai penting transendental yang tidak bisa dibandingkan, dipertukarkan, atau dibaurkan dengan nilai lainnya (Tetlock, Kristel, Elson, Green, & Lerner, 2000). Bagi dua perempuan ini, “mujahid” tampaknya menjadi sacred value yang mengalahkan nilai-nilai lain termasuk risiko stigma dan pengucilan.
Kesediaan mereka menanggung risiko yang muncul dari pernikahan dengan “mujahid” adalah bentuk dari pengorbanan diri (self-sacrifice) -kesiapan untuk menderita dan mati atas dasar suatu alasan (Bélanger, Caouette, Sharvit,, & Dugas, 2014)- terhadap nilai-nilai jihad. Kedua perempuan ini bersedia menderita karena memandang jihad perang adalah kewajiban bagi setiap Muslim.
Chiswick, C U. & Lehrer, E. L. (1991). Religious intermarriage: An economic perspective. Contemporary Jewry,12(1):21–34.
Tetlock, P.E. dkk. (2000). The psychology of the unthinkable: taboo trade-offs, forbidden base rates, and heretical counterfactuals. J. Pers. Soc. Psychol,78, 853–870.
Bélanger, J. J., Caouette, J., Sharvit, K., & Dugas, M. (2014). The psychology of martyrdom: Making the ultimate sacrifice in the name of a cause. Journal of Personality and Social Psychology, 107, 494-515.