ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 09 Mei 2020

 

Empathy 4.0: How do you detect other’s emotion accurately?

Oleh

Charyna Ayu Rizkyanti

Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila

 

Beberapa bulan yang lalu dalam suasana reuni kecil bersama kawan-kawan sarjana psikologi, entah angin datang dari ufuk bagian mana, salah satu obrolan kami sampai kepada satu orang teman yang dianggap ‘sengaja’ menarik diri dari lingkaran pertemanan. Mungkin pembahasan tentangnya tidak akan semenarik ini kalau saja dia bersikap sama seperti saat kita kuliah dulu. Ia adalah seorang kawan lama yang terkenal, aktif, super ramah dan cukup popular semasa kuliah, namun tiba-tiba entah apa yang telah mengubahnya, ia tak lagi mau membalas chat di WhatsApp dari teman-temannya mengunci kolom komentar di akun instagram-nya bahkan saat berpapasan di mall nampak begitu canggungnya memalingkan atau menundukkan muka dan memilih untuk pura-pura tidak kenal.

 

Dalam keadaan demikian, secara spontan sangat mudah bagi kami untuk sampai pada satu asumsi negatif tentang kawan lama tersebut. Label ‘angkuh, sombong’ dan kata-kata dengan makna yang kurang lebih sama ditujukan pada sosok kawan lama tersebut. Namun entah kenapa perbincangan itu mengusik saya sehingga suatu malam jiwa stalking  saya terpanggil untuk membuka salah satu media sosial yang masih digunakannya, yaitu Instagram. Saya cukup terkesiap melihat beberapa foto yang diunggahnya sambil saya membayangkan perbincangan dengan kawan-kawan dalam reuni kecil tadi. Rangkaian foto-foto pada Instagram sebelumnya cukup dapat dikatakan normatif dengan memasang foto-foto seperti suasana kuliah S2-nya, euforia kebahagiaan wisuda, kongko dengan teman dan keluarga, serta foto-foto sejenisnya yang tak membuat dahi mengernyit. Namun pada rangkaian foto terakhir, saya melihat sejumlah foto terbaru dimana semuanya memberikan pesan dan kesan adanya ‘suatu kesedihan’ yang coba ia ungkapkan. Di rangkaian foto terakhir, ia berhenti memposting foto tentang dirinya, sebaliknya ia memposting foto tentang pepohonan, langit, jalanan di depan rumahnya. Semuanya diposting dalam konsep buram dan sedikit gelap, sehingga dalam bayangan saya, suasana itu sangat kelabu. Ditambah lagi keterangan dalam foto tersebut yang ia tuangkan dalam bahasa inggris, dimana semuanya menyiratkan tentang perasaan duka.

 

Pada akhirnya saya meyakini bahwa di balik perilakunya ada suatu hal yang tidak mampu ia ungkapkan pada orang lain. Melalui serangkaian foto yang telah diunggah di satu situs media sosialnya tersebut membawa saya pada pemaknaan tertentu, yakni membayangkan bagaimana perasaannya tanpa saya harus bertatap muka dan berbincang-bincang dengannya secara langsung. Pada saat itu, saya mengetahui bawa saya berada pada status empati.

 

Nampaknya masyarakat kita sudah cukup familiar dengan kata ‘empati’, namun istilah yang hampir sama yaitu kata ‘simpati’ dapat membuat rancu apabila kita belum mengetahui definisi sebenarnya. Kata empati berawal dari sebuah konsep ‘einfühlung’ yang diperkenalkan oleh Theodore Lipps, seorang pakar estetika dari Jerman, yang merujuk pada definisi “suatu kecenderungan penikmat seni untuk memproyeksikan dirinya ke dalam objek-objek persepsi”. Kualitas subjektif ini dialami oleh seseorang dimana dirinya seakan-akan bersatu kedalam suatu objek yang ia lihat, “objects were felt as well as seen”. Selanjutnya, pada tahun 1909, seorang pakar di bidang psikologi, Edward Titchener menerjemahkan konsep einfühlung ke dalam bahasa inggris yang disebut sebagai “empathy” yang didefinisikan sebagai “a process of humanizing objects, of reading or feeling ourselves into them” (Titchener, 1909).

 

Secara sederhana, empati kerap digunakan  dalam suatu quote, “to put yourself in someone else’s shoes”,  yang dapat dimaknai dengan kondisi saat kita berada di posisi orang lain, berdiri di tempat ia berdiri, sehingga akhirnya kita dapat merasakan dan memahami apa yang ia rasa dan pikirkan. Adapun definisi lengkap dari empati adalah kemampuan dalam merasakan perasaan dan memahami pikiran berdasar sudut pandang orang lain (Howie, 2013). Maka pendapat dari Howie bisa dikatakan sebagai cara pandang yang berbeda pada tiap individu inilah yang kemudian dapat dipahami bahwa munculnya sikap empati bisa melalui berbagai cara.

 

Saat Anda berempati, ada dua komponen penting yang wajib ada, yaitu empati afektif yang bermakna kemampuan untuk merasakan kesedihan orang lain dan empati kognitif yang bermakna kemampuan untuk memahami berdasar sudut pandang orang lain (Joliffe & Farrington, 2006). Dengan kata lain, ketika Anda sedang berada pada status empati, maka terjadilah aktivasi pada dua komponen tersebut. Seseorang yang berada dalam status empati artinya ia berada pada frekuensi perasaan dan pemahaman yang sama dengan orang dihadapannya, sehingga pergantian posisi sangat jelas. Goleman, McKee, Waytz (2017) mengistilahkan status ini dengan ‘kesetaalaan’ atau emotionally attuned.

 

Meskipun seseorang yang berempati dengan orang lain memiliki getaran yang sama baik secara rasa dan akal, namun ia tidak kehilangan identitas dirinya. Disinalah letak perbedaannya dengan simpati. Dalam keadaan simpati, sangat mungkin bagi Anda untuk tidak dapat memisahkan antara kesedihan diri Anda dan orang lain karena faktor emosional (afektif) lebih kuat dibandingkan kognitif. Sehingga, dampak dari simpati ini dapat keluar secara spontan melalui tindakan-tindakan yang sifatnya emosional. Oleh karena itu supporter sepak bola yang sedang tawuran disebut sebagai ‘simpatisan’ alih-alih empatisan, pendukung parpol disebut ‘simpatisan parpol’ daripada disebut empatisan parpol. Dapat disimpulkan bahwa seorang ‘empatisan’ tidak akan mau melakukan perbuatan yang merugikan atau menyakiti pihak lain, sementara seorang simpatisan memiliki kemungkinan besar untuk melakukannya.

 

Lantas, bagaimana dengan potensi perkembangan empati di era yang sudah begitu berubah ini. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa internet secara signifikan mengubah perilaku manusia di berbagai usia dan sendi kehidupan, dimana salah satunya kemampuan untuk berempati juga dipertanyakan (Carrier, Spradlin, Bunce, & Rosen, 2015; Konrath, O’Brien, & Hsing, 2010). Interaksi melalui sosial media yang sekarang lebih sering dilakukan berbanding interaksi secara tatap muka membuat kita asyik dengan keberadaan kita sendiri, tidak peduli dan mungkin saja tidak sensitif terhadap perubahan yang terjadi di sekitar kita. Maka tidak heran apabila manusia sekarang diberikan label ”individualis, ignorance, dan egosentris” karena tidak mempedulikan hal-hal selain hanya fokus pada dirinya sendiri. Kemampuan kita untuk peka terhadap kebutuhan orang lain nyaris musnah karena makin terkikisnya frekuensi untuk berinteraksi secara langsung dengan orang lain. Situasi ini dapat disebut sebagai ‘zero degrees of empathy’ (Cohen – Baron , 2011).

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran internet telah menjadi kebutuhan dalam hidup kita sehari-hari. Situs aplikasi internet dengan pengguna terbesar yaitu Social Network Sites (SNS) merupakan situs komunikasi pertemanan berbasis online yang sangat digandrungi berbagai kalangan. Sampai saat ini, Facebook maupun Instagram merupakan situs komunikasi pertemanan online dengan pengguna terbesar  (The Statistics Portal, 2018). Melalui situs ini, semua orang dapat berkomunikasi dengan tujuan yang berbeda, baik dalam hal pekerjaan, pertemanan, berbagi minat, bahkan sekadar menunjukkan kehidupan sehari-harinya. Mereka tidak hanya dapat berbagi tulisan/cerita namun juga dapat mempublikasikan foto/gambar yang diinginkannya.

 

Sesungguhnya, kemampuan untuk berempati dapat dikembangkan melalui apa yang tersaji dalam data-data perilaku (behavioral data) yang terpublikasi melalui media sosial. Dalam dunia virtual, semua orang mudah untuk mengakses siapa kita yang sebenarnya. Selaras seperti yang dikatakan oleh Anna Ho (2018) dalam acara TEDxSpokane bahwa melalui media sosial, kita dapat mendeteksi dan memahami siapa saja yang kita ingin ketahui melalui rangkaian peristiwa yang dia gambarkan baik melalui foto, tulisan, dll. Menurutnya, orang-orang cenderung lebih ekspresif dalam menggambarkan siapa dirinya melalui media sosial. Rangkaian foto maupun tulisan menunjukkan grafik mengenai data perilaku. Itu semua bukan hanya sekadar foto tanpa makna, sebaliknya kita bisa menelaah lebih dalam seseorang melalui what’s behind the pictures. Ketika kita mencoba memahami dan merasakan apa yang coba ditunjukkan melalui tulisan maupun gambar maka saat itulah kita sedang mengaktivasi kemampuan kita dalam berempati.

 

Empati merupakan potensi terbaik yang dapat dimiliki oleh manusia.  Sentuhan empati dari tangan manusia ini tidak akan dapat digantikan oleh artificial intelligence manapun. Bukti bahwa seorang bayi menangis manakala melihat/mendengar bayi di sebelahnya menangis merupakan data empiris bagaimana empati tumbuh sejak dini (Hoffman, 2000). Empati ini akan sempurna di saat kita mampu merasakan dan memahami kegelisahan orang lain tanpa harus mengenal, bertatap muka bahkan mengalami kejadian yang sama. Namun itu semua belum selesai sampai akhirnya kita tergerak memberikan tindakan yang tepat untuk meredakan kegelisahannya. Adanya empati, merupakan kunci untuk mempertahankan dunia agar senantiasa beradab dan  hidup menjadi manusiawi.

 

Referensi:

Cohen-Baron, S. (2011). Zero degrees of empathy: a new theory of human cruelty and kindness. UK: Penguin Books.

Carrier, L. M., Spradlin, A., Bunce, J. P. & Rosen, L. D. (2015). Virtual empathy: positive and negative impacts in young adults. Computer in Human Behavior, 52, 39-48.

 

Goleman, D., McKee, A. & Waytz, G. (2017). Empathy: Emotional Intelligence. Massachusetts: Harvard Business Review Press

 

Ho, A. (2018, November 28). Empathy in the era of big data. TedxSpokane. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=HrSragcWwJA).

Hoffman, M. L. (2000). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. New York: Cambridge University Press.

Howie, D. (2013). Empathy: What it is and why it matters. New York: Palgrave Macmillan

 

Jolliffe, D. ,& Farrington, D.P. (2006). Development and validation of the Basic Empathy Scale. Journal of Adolescence, 29, 589-611.

Konrath, S., O’Brien, E., & Hsing, C. (2010). Changes in dispositional empathy in American college students over time: A meta-analysis. Personality and Social Psychology Review, 15(2), 180–198.

Titchener, E. (1909). Experimental psychology of the thought processes. New York: Macmillan.

The Statistics Portal (2018). https://www.statista.com/statistics/272014/global-social-networks-ranked-by-number-of-user.