Pencegahan Kekerasan dalam Keluarga di Era Pandemi Covid-19

Oleh

Anisia Kumala Masyhadi

Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

 

 

Pada era pandemi covid 19 ini, setiap hari setidaknya sampai saat ini, pemberitaan di media disuguhi dengan meningkatkan data jumlah korban atau pasien positif dan juga pasien dalam pengawasan. Tetapi ternyata tidak hanya data peningkatan jumlah pasien positif, data lainnya yang menunjukkan tren penambahan adalah data kasus kekerasan dalam relasi intim atau disebut juga intimate partner violence/IPV.  Sepanjang situasi lockdown ini, beberapa negara menunjukkan angka kasus IPV yang bertambah. Sebagai contoh, India melaporkan kasus pengaduan sebanyak dua kali lipat dari angka rata-rata, laporan Komite Parlemen Itali juga menyebutkan jumlah aduan kepada national domestic violence hotline meningkat hingga 55% sepanjang tanggal 8-15 Maret dibandingkan pada periode yang sama tahun 2019. Nomor darurat aduan kekerasan domestik di Spanyol menerima aduan yang bertambah 18% pada dua minggu pertama masa karantina dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebelum karantina, sementara Kepolisian Perancis melaporkan lonjakan nasional sekitar 30 persen dalam kekerasan domestik. Kasus yang sama juga terjadi di China sendiri. Tidak berbeda dengan laporan-laporan diatas, data di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Republik Indonesia maupun data Komnas Perempuan melaporkan adanya kenaikan kasus yang terlaporkan sebagai KDRT.

Kekerasan dalam relasi intim/pasangan, dalam literatur lazim disebut Intimate partner violence/IPV,  merupakan masalah sosial global yang dialami oleh hampir semua masyarakat di dunia, bahkan jauh sebelum era pandemik saat ini. IPV didefinisikan oleh The World Health Organization (WHO) sebagai perilaku yang terjadi antara orang yang terlibat dalam relasi intim yang menyebabkan luka fisik, seksual maupun psikologis, termasuk tindakan agresi fisik, pemaksaan seksual, pelecehan psikologis dan perilaku mengendalikan. Menurut WHO dan juga hasil-hasil studi yang sudah dilakukan, korban terbesar dari IPV ini adalah perempuan atau istri, meskipun secara pengertian IPV bisa terjadi dengan korban laki-laki atau suami dan pelaku perempuan.

Faktor Risiko IPV

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui mengapa IPV bisa terjadi. Pada riset terdahulu, faktor risiko munculnya IPV diantaranya adalah faktor situasional yang termasuk didalamnya adalah tekanan ekonomi dan pekerjaan. Pengagguran (unemployment) juga meningkatkan probabilitas terjadinya IPV (Acevedo, 2013; Kposowa & Ezzat, 2016; Daoud dkk, 2017). Faktor risiko lain adalah tingkat stress (Lila, 2013), terutama pada laki-laki (Reidy, 2014). Semakin tinggi tingkat stress akan memicu terjadinya kekerasan terhadap pasangan. Sementara Vecina dan Viejo (2016) mengungkapkan faktor moral absolutism pada laki-laki meningkatkan risiko untuk melakukan kekerasan kepada pasangannya. Individu yang merasa bahwa perilakunya paling benar, berpotensi untuk menyalahkan orang lain, tidak mentolerir perbedaan dan pada akhirnya menimbulkan kekerasan. Ketidakmampuan mengelola konflik dengan baik dan miskinnya ketrampilan komunikasi yang baik dengan pasangan juga menjadi faktor penting.

Pengalaman menyaksikan kekerasan dalam keluarganya atau pernah korban kekerasan oleh orang tua disebut sebagai faktor individual yang dapat memicu kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan pada pasangannya (Gass, Stein, Williams, & Seedat, 2011). Gangguan kepribadian (personality disorders) dibuktikan sebagai faktor risiko bagi IPV pada beberapa penelitian (Harris et al. 2011). Disisi lain kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) dengan pasangannya memiliki kontrbusi untuk munculnya IPV (Sommer et al. 2017).

Agaknya, tekanan ekonomi dan pekerjaan ditambah dengan ketidakmampuan melakukan coping stress yang baik menjadi sebab mengapa IPV meningkat saat pandemi. Disisi lain, isolasi sosial juga membuat individu tidak memiliki akses lain selain hanya tinggal di rumah dan meningkatkan eskalasi konflik dengan pasangan. Pasangan yang biasanya mengandalkan avoidance coping ketika terjadi konflik, terpaksa tidak bisa dilakukan.

Pada situasi seperti ini, maka baik pelaku maupun korban kekerasan dalam relasi intim, tidak memiliki pilihan selain harus mengedepankan coping yang baik. Beberapa tips untuk mengatasi tekanan/stress perlu dicoba, misalnya menggunakan teknik relaksasi pernapasan, tetap bersosialisasi dengan teman, tetangga dan keluarga melalui media sosial, dan jangan lupa untuk selalu menjaga nilai-nilai religiusitas agar tetap menjadi pribadi yang positif. Tidak lupa, bagi korban juga tetap perlu memiliki akses-akses bantuan baik dari lingkungan sekitar maupun pihak yang berwajib sehingga dapat segera mendapatkan pertolongan jika situasinya tidak dapat dikendalikan sendiri. Semoga pandemi ini segera berakhir..

 

Referensi:

Acevedo, B. P., Lowe, S. R., Griffin, K. W., & Botvin, G. J. (2013). Predictors of Intimate Partner Violence in a Sample of Multiethnic Urban Young Adults. Journal of Interpersonal Violence, 28(15), 3004–3022. https://doi.org/10.1177/0886260513488684

Daoud, N., Sergienko, R., & Shoham-Vardi, I. (2017). Intimate Partner Violence Prevalence, Recurrence, Types, and Risk Factors Among Arab, and Jewish Immigrant and Nonimmigrant Women of Childbearing Age in Israel. Journal of Interpersonal Violence, 1–28. https://doi.org/10.1177/0886260517705665

Gass, J. D., Stein, D. J., Williams, D. R., & Seedat, S. (2011). Gender differences in risk for intimate partner violence among south african adults. Journal of Interpersonal Violence, 26(14), 2764–2789. https://doi.org/10.1177/0886260510390960

Harris, G. T., Hilton, N. Z., & Rice, M. E. (2011). Explaining the Frequency of Intimate Partner Violence By Male Perpetrators: Do Attitude, Relationship, and Neighborhood Variables Add to Antisociality? Criminal Justice and Behavior38(4), 309–331. https://doi.org/10.1177/0093854810397449

 

Kposowa, A. J., & Aly Ezzat, D. (2019). Religiosity,Conservatism, and Acceptability of Anti-Female Spousal Violence in Egypt. Journal of Interpersonal Violence, 34(12), 2525–2550. https://doi.org/10.1177/0886260516660976

Lila, M., Gracia, E., & Murgui, S. (2013). Psychological adjustment and victim-blaming among intimate partner violence offenders: The role of social support and stressful life events. European Journal of Psychology Applied to Legal Context, 5(2), 147–153. https://doi.org/10.5093/ejpalc2013a4

Reidy, D. E., Berke, D. S., Gentile, B., & Zeichner, A. (2014). Man enough? Masculine discrepancy stress and intimate partner violence. Personality and Individual Differences, 68, 160–164. https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.04.021

Sommer, J., Babcock, J. & Sharp, C. (2017). A Dyadic Analysis of Partner Violence and Adult Attachment. J Fam Viol 32, 279–290. https://doi.org/10.1007/s10896-016-9868-1Takyi, B. K., & Lamptey, E. (2016). Faith and Marital Violence in Sub-Saharan Africa. Journal of Interpersonal Violence, 088626051667647. https://doi.org/10.1177/0886260516676476

Vecina, M. L., Chacón, F., & Pérez-Viejo, J. M. (2016). Moral Absolutism, Self-Deception, and Moral Self-Concept in Men Who Commit Intimate Partner Violence: A Comparative Study With an Opposite Sample. Violence Against Women, 22(1), 3–16. https://doi.org/10.1177/1077801215597791