ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 08 April 2020
Zombie yang Bukan Karena Virus
Oleh
Johan Satria Putra
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Pandemi covid-19 ini menjadi ujian tersendiri bagi masyarakat dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tidak hanya ujian untuk kesehatan, ketahanan ekonomi, ataupun resiliensi, namun juga ujian bagi nilai-nilai sosial bermasyarakat. Beberapa nilai sosial yang menyangkut budaya luhur Indonesia antara lain gotong-royong dan tenggang rasa. Dua istilah ini tidak asing di telinga kita, apalagi mengingat kedua nilai tersebut masih berupaya ditanamkan melalui pendidikan di sekolah.
Menyangkut gotong-royong, nilai ini nampaknya masih tetap eksis di tengah pandemi, terutama melihat bagaimana saling kerjasama antarwarga dalam penanggulangan penyebaran virus covid-19 ini. Hal ini contohnya dapat terlihat dari inisiatif masyarakat di berbagai kampung untuk menyemprot disinfektan, membersihkan lingkungan, hingga menutup akses ke wilayahnya alias lockdown lokal. Di sisi lain, semangat gotong royong ini juga terlihat dari masih banyak orang yang ngeyel dan ngotot untuk berkumpul, nongkrong bareng, dan juga beribadah secara berjamaah. Padahal telah banyak himbauan dan larangan bagi warga untuk tidak berkerumun. Sementara itu, terdapat fenomena lain yaitu penolakan di berbagai daerah terhadap jenazah dari orang yang meninggal karena terinfeksi virus covid-19. Misalnya warga di Pasuruan, Mojokerto, Ungaran, hingga Mimika yang ramai-ramai menolak jenazah pasien covid-19 dimakamkan di wilayah mereka. Alasan para warga ini adalah takut tertular virus dari mayat-mayat tersebut (jateng.suara.com). Sesungguhnya, aksi penolakan ini tentu sangat bertentangan dengan nilai tenggang rasa. Tenggang rasa sendiri terkait erat dengan empati.
Empati dapat diartikan sebagai suatu perasaan dan pikiran di mana seseorang mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memahami pikiran orang lain dengan menggunakan atau masuk ke dalam perspektif orang tersebut. Di dalam konsep empati ini meliputi juga judgment emosional dan sensitivitas (Taufik, 2012). Perilaku warga yang menolak jenazah yang terinfeksi covid-19 menunjukkan tidak adanya pemahaman tehadap perasaan atau kondisi keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum/ah, pun sensitivitas emosional terhadap almarhum/ah. Lebih lanjut Eysenck (dalam Taufik, 2012) menjelaskan bahwa empati merupakan kontributor mendasar dalam kehidupan sosial manusia. Apabila dibandingkan dengan perilaku berkelompok sebagaimana disebutkan di atas, maka perilaku nirempati ini menjadi kontradiktif, mengingat perilaku berkelompok juga berakar pada dorongan untuk bersosialisasi. Dengan demikian, menjadi pertanyaan besar terkait bagaimana terjadi pertentangan antara dua perilaku yang seharusnya selaras?
Pada beberapa kasus penolakan jenazah yang terjadi, beberapa di antaranya disebabkan adanya provokator dari oknum tertentu. Seperti misalnya yang terjadi di Sewakul, Kabupaten Semarang, di mana ditengarai diprovokasi oleh beberapa orang yang konon bukan warga setempat (jateng.suara.com). Kasus ini menyiratkan bahwa perilaku para warga masyarakat ini bisa dibilang tidak sepenuhnya didasari oleh motivasi mereka pribadi, melainkan karena adanya dorongan untuk mengikuti begitu saja perilaku kelompok, atau dapat disebut sebagai konformitas belaka. Di dalam proses berkelompok, seringkali terjadi konformitas pada diri anggota, yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu dalam rangka menyesuaikan diri dengan standar perilaku kelompoknya, terlebih dalam situasi yang penuh ambigu semacam wabah covid-19 ini (Minza & Firmanysah, 2018).
Adapun perilaku prososial pada masyarakat Indonesian yang ditunjukkan melalui pemberian bantuan dan donasi kepada orang-orang yang terdampak covid-19 dan juga berbagai bentuk kerjasama yang disebutkan di atas, pada dasarnya juga lebih merupakan perilaku prososial yang didasarkan pada kolektivisme, dan bukan perilaku prososial yang didasarkan pada empati-altruisme (Shadiqi, 2018). Sekali lagi dinamika ini menunjukkan bahwa motivasi kelompok lebih didominasi oleh konformitas, sehingga menafikan esensi dari perilaku sosial itu sendiri, di antaranya empati.
Jika kita ingat di film-film zombie, zombie adalah mahluk yang berasal dari manusia yang terkena virus sehingga perilakunya menjadi seperti layaknya mayat hidup. Zombie menyerang manusia secara bergerombol dan tanpa perasaan, apalagi empati terhadap yang diserang. Lucunya, fenomena yang terjadi di Indonesia di tengah wabah ini justru sebaliknya. Orang-orang secara bergerombol menolak mereka yang terkena virus, tanpa perasaan empati. Sementara mereka yang sudah positif terkena virus justru banyak yang masih menunjukkan kepedulian kepada sesama. Jadi, yang pantas disebut zombie yang mana?
Referensi:
Minza, W.M. & Firmansyah, M.R. (2018). Konformitas. dalam Psikologi sosial, pengantar dalam teori dan penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.
Shadiqi, M.A. (2018). Perilaku prososial. dalam Psikologi sosial, pengantar dalam teori dan penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.
Taufik. (2012). Empati, pendekatan psikologi sosial. Jakarta: Rajawali.