ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 08 April 2020
Pandemi yang Mendewasakan Mahasiswa
Oleh
Ahmad Mujahid dan Retno Pangestuti
Psikologi Islam, IAIN Surakarta
Memasuki minggu ke-6 pasca pengumuman warga negara Indonesia yang positif Covid-19, tidak dapat dipungkiri pandemi ini cukup cepat penyebarannya. walaupun sebenarnya pandemi ini tidak bisa masuk ke tubuh orang yang sistem imunnya kuat (Nareza, 2020). Hari demi hari pemberitaan media dominan menginformasikan tentang angka kejadian hingga angka kematian. Respon tepat pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui Physical Distancing adalah langkah untuk memperlambat hingga memutus rantai penyebaran, tentu kebijakan ini akan menghambat keberlangsungan aktivitas manusia, mengingat manusia adalah makhluk sosial. Kondisi ini bukanlah pertama kali. Sejarah mencatat, telah terjadi beberapa pandemi yang memperlambat atau menghentikan aktivitas manusia. Salah satunya adalah Pandemi Influenza pada tahun 1918. Disebutkan dalam kondisi saat itu, terjadi ledakan penyebaran di dunia. Indonesia juga merasakan dampaknya, banyak korban yang berjatuhan terutama di Pulau Jawa (Wibowo, dkk 2009)
Jika diminta untuk menyebutkan dampak pandemi sekarang ini, hampir disemua sektor mengalami kerugian. Penulis menilai kebijakan Physical Distancing adalah melihat seberapa dampak baik atau buruknya. Kiranya, kita dapat menyepakati bahwa kemanusiaan adalah lebih tinggi dari segalanya. Terlepas itu seiring berjalan waktu ada kebijakan lain untuk menghadapi dampak pengorbanan yang telah kita ikhlaskan. Bagi masyarakat di perguruan tinggi (dosen dan mahasiswa) dengan kebijakan pengalihan menjadi perkuliahan daring dan menghentikan sementara keg;iatan kemahasiswaan adalah langkah turunan yang mendukung Physcial Distancing dalam lingkup pendidikan. Hal ini berlaku dari jenjang SD hingga SMA/K sederajat. B;a;hk;a;n, pelaksanaan Ujian Nasional 2020 ditiadakan untuk melindungi siswa dari Covid-19 (Tirto.id, 2020).
Penulis mengamati dan merasakan, awal pelaksanaan kuliah daring begitu enjoynya penerimaan mahasiswa. Tidak perlu tatap muka dan bisa diselingi aktivitas lain di rumah. Namun, mulai terjadi gejolak respon ketika mahasiswa menganggap beberapa dosen justru, banyak memberikan tugas dalam waktu serentak, bahkan terkadang tanpa disertai proses diskusi. Muncul anggapan dikalangan mahasiswa, “lebih baik kuliah seperti biasanya saja, tidak merasakan banyak tugas seperti ini". Penulis berpendapat kondisi ini tidak dibuat dengan sengaja. Ada faktor lain yang lebih penting daripada mengeluh hanya karena tugas atau rumitnya pembelajaran daring. Jika ditelisik itu adalah respon yang normal disituasi abnormal. Semua pihak butuh well adjusted dengan kondisi ini. Penulis kira, dosen pun merasakan turbulensi yang sama. Oleh karena itu mari sejenak kita redam emosi ini dan menerima perubahan yang ada. Tentu sekali lagi kondisi yang tidak diinginkan seperti ini akan memiliki dampak yang signifikan, tinggal bagaimana kita bisa menerima, memahami, dan kemudian mengelola sikap kita dalam menghadapinya.
Sebagai pembelajar, menjalani hari demi hari dalam masa #studyfromhome adalah tantangan sekaligus peluang untuk mendewasakan diri. Model pembelajaran dan pembatasan fisik di tengah gerakan #dirumahaja, menjadi wahana untuk mengasah kemampuan mengelola diri. Bagi orang yang terbuka dengan dirinya akan tau sejauh mana bisa berdamai dengan diri, menerima dan mengelola emosi diri, menciptakan coping yang tepat dalam menghadapi tekanan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, bagi yang mungkin masih minim keterbukaan terhadap diri sendiri, kiranya menjadi momen yang tepat untuk mempersepsikan sebagai keadaan dalam rangka membangun atau memperbaiki self.
Penulis awalnya merasa kurang optimis, apakah capaian pembelajaran dapat dicapai dengan model belajar daring seperti ini. Terlebih matakuliah yang membutuhkan kompetensi keterampilan, ya;ng erat kaitannya dengan kegiatan praktikum. Penulis mencoba melakukan perenungan dan mengevaluasi, "apakah penulis mengikuti keadaan lingkungan dan larut didalamnya, atau mencoba mengganti persepsi terhadap keadaan lingkungan saat ini?" Hanya diam meratapi keadaan atau tetap menjalani situasi Physical Distancing, namun juga tetap produktif dengan menyesuaikan protokol kesehatan yang ada. Tentu harapan semua orang memilih opsi yang kedua dari pilihan itu, demikian pula dengan penulis.
Sebagai manusia biasa penulis pernah merasakan bosan dan kurang bersemangat ketika harus #dirumahsaja, penulis mencoba untuk mengidentifikasi rasa tersebut. Penyebabnya ialah karena penulis belum mengetahui apa saja yang akan penulis lakukan di rumah; pagi hingga malam dan malam hingga pagi. Penulis juga belum membuat target capaian apa yang bisa diraih di tengah situasi ini. Sehingga penulis hanya bisa menatap media sosial, melihat pemberitaan tentang Covid-19 hingga terkadang justru memicu rasa gelisah atau cemas. Hal ini disebabkan, semakin banyak intensitas membaca berita yang dari sumber yang tidak jelas akan menambah rasa kekhawatiran hingga kecemasan (Firmansyah, 2020). Bahkan, World Health Organization melalui konsiderasi kesehatan mental telah menghimbau hal ini (WHO: Emergency, Concern, & Health, 2020).
Dalam perenungan terhadap peristiwa ini, penulis teringat karya Frankl (2017) dalam buku spektakulernya yang berjudul Man’s Search For Meaning. Buku ini secara umum mengisahkan pengalaman seorang psikiater yang mencoba memaknai penderitaan saat di kamp konsentrasi Nazi. Frankl mencoba menggunakan teknik visualisasi dengan selalu membayangkan kebahagiaannya bersama dengan keluarga dan istrinya. Pencarian makna itulah yang mengantarkannya pada kebahagiaan (logoterapi). Dalam konteks pandemi seperti ini jika persepsi penulis hanya berkutat pada penderitaan, kerugian, atau hal yang tidak menyenangkan, maka hal itu pula yang akan didapatkan. Berbeda jika persepsi penulis ubah, yakni mengkondisikan peluang apa yang bisa penulis lakukan dan hal apa yang bisa penulis dapat (mencari makna), maka akan mengantarkan pada kebahagiaan.
Selanjutnya penulis mencoba mengasah emosi positif. Seseorang yang memiliki emosi positif dapat dengan baik beradaptasi dalam situasi traumatis atau dalam keaadaan pandemi seperti ini. Cara untuk mendapat emosi positif dalam kondisi pandemi ini yakni melakukan aktifitas yang dinilai positif, misalnya mencari hiburan di dalam rumah bersama adik, mengobrol bersama anggota keluarga, makan bersama, olahraga di depan pekarangan rumah, ataupun saling bertukar pikiran. Aktifitas-aktifitas tersebut selain dapat membuat emosi menjadi positif, juga dapat mengalihkan pikiran dari informasi negatif tentang pandemi (Buana, 2020). Selain itu penulis juga mencoba menantang diri dengan membuat planning mengenai hal yang akan penulis lakukan seperti; menyelesaikan membaca buku, jurnal, ebook, atau menulis artikel dan hal lain yang bisa dilakukan tanpa melanggar protokol kesehatan.
Terakhir, tidak lupa penulis menerima dengan ikhlas, bahwa apa yang terjadi di dunia ini tidak lain dan tidak bukan adalah takdir Tuhan Yang Maha Esa, melalui sunatullah-Nya. Oleh karena itu, mendekatkan diri kepada-Nya bisa menjadi jalan coping yang positif. Ditandai dengan meningkatnya harapan yang lebih tinggi, optimisme, dan hasil kehidupan yang positif. Seligman (2000) menjelaskan bahwa melihat sisi positif dari suatu fenomena negatif dan mencoba memaknainya dengan baik akan mengantarkan pada kepuasan hati atau kegelisahan hidup, yang merupakan makna dari psikologi positif. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dapat mengambil hikmah.
Referensi:
Buana, D. R. (2020). Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Virus Corona (Covid-19) dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa. SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, 7(3), 217–226. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i3.15082
Emergency, P. H., Concern, I., & Health, M. (2020). Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19 outbreak (No. WHO/2019-nCoV/MentalHealth/2020.1).
Firmansyah, M. (2020). Ancaman Psikologis dan Imbas Cemas Akibat Pandemi Covid-19. Diambil 4 April 2020, dari alinea.id website: https://www.alinea.id/gaya-hidup/ancaman-psikologis-dan-imbas-cemas-akibat-covid-19-b1ZLh9sWk
Frankl, V. E. (2017). Man’s Search For Meaning (H. Priyatna, Ed.). Jakarta: Naura Books (PT Mizan Publika).
Seligman, M. C. (2000). Positive Psychology: An Introduction. American Psychologist Association, 55(1), 5–14. https://doi.org/10.1037//0003-066X.55.1.5
Nareza, M. (2020). Cegah Virus Corona dengan Memperkuat Sistem Imun Tubuh. Diambil 4 April 2020, dari alodokter website: htps://www.alodokter.com/cegah-virus-corona-dengan-memperkuat-sistem-imun-tubuh
Pramisti, N. Q. (2020). DPR dan Kemendikbud Sepakat UN 2020 di Tiadakan. Diambil 4 April 2020, dari tirto.id website: https://tirto.id/dpr-kemendikbud-sepakat-un-2020-ditiadakan-eHja
Wibowo, P., Alfian, M., Wahyuning, T., Brahmantyo, K., Yuwono, K., & Tubagus Arie, S. L. (2009). Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Jakarta: Departemen Sejarah FIB UI, Unicef Jakarta, dan Komnas FPBI.
Seligman, M. E. P. (2002). Positive Psychology, Positive Prevention , and Positive Therapy. Handbook of Positive Psychology, 3–12.
WHO: Emergency, P. H., Concern, I., & Health, M. (2020). Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19 outbreak (No. WHO/2019-nCoV/MentalHealth/2020.1).