ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 08 April 2020
Bagaimana Psikologi Menjelaskan Sabar: Bersabar Saat Karantina Diri
Oleh
Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Saat ini saya dan keluarga sudah menjalani karantina diri hampir selama sebulan. Bosan!? Tentu saja. Belum lagi anak-anak kami yang usia SD perlu aktifitas di luar rumah dan mudah merasa bosan karena sepanjang bulan hanya di dalam rumah. Sebagai catatan tambahan, rumah yang kami sewa di lantai 2, tanpa halaman jadi semua aktifitas harus dilakukan di dalam rumah. Bermain, olahraga, berjemur, makan, dan tentu saja istirahat semua dilakukan dalam area sekitar 36 meter persegi.
Lalu bagaimana kuncinya sejauh ini kami bisa bertahan untuk diam di dalam rumah? Sabar mungkin salah satunya? Tapi saya tidak cukup kompeten membahas sabar dari perspektif agama karena latar belakang keilmuan saya pun sangat terbatas dalam bidang agama. Oleh karena itu saya coba jelaskan bagaimana teori-teori dan penelitian-penelitian Psikologi menjelaskan sikap dan perilaku sabar.
Sabar termasuk kajian Psikologi
Sudah umum diketahui bahwa sabar adalah konsep yang banyak diajarkan dalam agama. Tidak hanya agama tertentu, sebagian besar agama juga mengajarkan umatnya untuk bersabar (Subandi, 2011). Namun yang seringkali tidak diketahui adalah sabar juga termasuk konsep Psikologi dan tidak hanya dibahas di Indonesia. Sebagai contohnya penelitian Curry, Price, dan Price (2008) yang diterbitkan disalah satu jurnal prestisius dalam bidang Psikologi. Juga penelitian Fowler dan Kam (2006) tentang sabar dalam politik dan kajian Goldwasser (2003) mengenai sabar dalam bidang ekonomi.
Dalam bidang psikologi bahkan sabar juga sudah di teliti sejak lebih dari tiga dekade yang lalu (lihat Anderson & Gouda, 1990). Walaupun hingga saat ini penelitian mengenai kesabaran masih minim, namun bukan berarti konsep ini di luar kajian Psikologi. Selain itu, penelitian tentang sabar juga sudah dilakukan sejak lama walaupun baru-baru ini ilmuan Psikologi di Indonesia turut meramaikan penelitian dengan tema ini. Dengan demikian, konsep sabar juga dapat dikaji dan dijelaskan oleh ilmuan psikologi berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan.
Hal-hal berkaitan dengan Sabar
Kupfer (2007) menjelaskan bahwa sabar adalah menunggu dan beliau menjelaskan bahwa sabar merupakan salah satu nilai kebaikan (virtue) yang sangat berguna bagi seseorang. Hal yang sama disampaikan oleh Anderson & Gouda (1990) yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya program menulis ternyata membutuhkan perilaku yang berfungsi menahan tindakan. Dengan kata lain, tanpa perilaku sabar program yang dimaksudkan tidak akan bisa dijalankan.
Beberapa penelitian terbaru yang menarik diantaranya penelitian Curry dkk. (2008) yang menunjukkan bahwa orang sabar adalah orang mudah diajak bekerjasama. Sedangkan dalam bidang Psikologi Politik, Fowler dan Kam (2006) berhasil menunjukkan bahwa partisipasi seseorang dalam pemilu juga dipengaruhi oleh tingkat kesabarannya. Artinya, makin sabar seseorang maka makin besar kemungkinannya untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Kembali pada kondisi karantina diri, kesabaran saat berdiam diri di rumah, menunjukkan bahwa dirinya adalah orang-orang yang mudah bekerjasama. Selain itu, dalam perspektif politik, orang-orang yang sabar di rumah selama karantina diri adalah orang-orang yang peduli dengan politik di negaranya. Secara sederhana, menurut saya, melihat tingginya partisipasi politik di Indonesia dan semangat gotong royong bangsa Indonesia, hal ini mengarah pada asumsi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sabar.
Penutup
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sabar bukan hanya pembahasan agama semata, perspektif psikologi justru bisa memperkaya pemahaman kita tentang sabar. Dengan perspektif psikologi, kita dapat memahami karakter dan dampak kesabaran dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam rangka mendukung gerakan bersama menghadapi Covid-19, mari tetaplah bersabar #dirumahsaja dan kuatkan kesabaran kita karena hal ini menunjukkan jati diri kita, bangsa Indonesia.
Referensi:
Anderson, J. H., & Gouda, M. G. (1990). The virtue of patience: Concurrent programming with and without waiting. University of Texas at Austin, Department of Computer Sciences.
Curry, O. S., Price, M. E., & Price, J. G. (2008). Patience is a virtue: Cooperative people have lower discount rates. Personality and individual differences, 44(3), 780-785.
Fowler, J. H., & Kam, C. D. (2006). Patience as a political virtue: Delayed gratification and turnout. Political Behavior, 28(2), 113-128.
Goldwasser, M. H. (2003). Patience is a virtue: The effect of slack on competitiveness for admission control. Journal of Scheduling, 6(2), 183-211.
Kupfer, J. H. (2007). When waiting is weightless: The virtue of patience. Journal of Value Inquiry, 41(2-4), 265.
Subandi, M. A. (2011). Sabar: Sebuah konsep psikologi. Jurnal Psikologi, 38(2), 215-227.