ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 07 April 2020
SFH (School From Home): Dua Persepsi dalam Satu Rumah
Oleh :
Penny Handayani
Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya Jakarta
(This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)
Pada kehidupan normal, Anda berharap anak Anda dapat bermain dan bersekolah, beraktivitas seperti biasa. Anda bekerja di kantor, anak Anda belajar di sekolah. Setiap hari, semua orang memiliki rutinitas, tempat, dan waktunya masing-masing. Namun, pandemik Covid-19 telah mengubah banyak hal dalam kehidupan sehari-hari (Sunder, 2002). Social distancing, yang merupakan salah satu cara untuk meredam persebarannya, mengakibatkan aktivitas belajar anak-anak sekolah berpindah ke rumah karena kegiatan belajar-mengajar dengan tatap muka di sekolah diberhentikan untuk sementara. Perubahan tersebut bukan hanya berdampak pada aktivitas anak-anak sebagai pelajar akan tetapi juga berpengaruh terhadap orang-orang yang ada di rumah, termasuk orang tua, karena pada saat rutinitas anak Anda berubah menjadi SFH (School from Home), Anda juga tetap bekerja dengan mode WFH (Work from Home). Hal ini tentu memberikan dinamika baru pada kehidupan masing-masing penghuni rumah. Selagi orang tua bekerja karena adanya tuntutan pekerjaan yang tetap harus diselesaikan, anak juga mendapatkan tugas tambahan untuk dikerjakan, untuk tetap menjalankan proses belajar sesuai dengan tuntutan dari sekolah.
Pola Belajar yang Berubah
Banyaknya hal yang berubah karena pandemic Covid-19 membutuhkan penyesuaian pula. Begitu juga dangan dinamika SFH. Tantangan yang dihadapi adalah (Buckley, Novicevic, Halbesleben, Harvey, 2004) bagaimana membuat standar pembelajaran anak yang setara dengan anak-anak lainnya. Di sekolah, ada guru yang bisa memperhatikan kegiatan mereka sehari-hari, tetapi ketika di rumah, standar pembelajaran akan sangat bergantung pada dengan siapa mereka belajar. Cara orang tua akan berbeda-beda, terlebih lagi anak diserahkan ke orang lain dalam proses belajar-mengajarnya, semisal ART atau kakak yang lebih tua. Pengawasan orang tua dan komunikasi dengan guru menjadi penting untuk tetap mempertahankan standar pembelajaran anak.
Belum lagi perubahan suasana rumah yang sangat berbeda dengan sekolah. Di sekolah, ada jam-jam pelajaran yang jelas, yang membantu anak untuk menyesuaikan diri dengan suasana belajar, sedangkan di rumah tidak ada bel yang mengatur jam pelajaran, tidak ada waktu istirahat dan makan sebagaimana di sekolah. Peran orang tua menjadi semakin penting untuk mengajak anak mengikuti proses belajar. Pada sisi lain, orang tua juga memiliki kekhawatiran tentang kemampuan pengajaran. Guru dianggap lebih memiliki kapasitas dan kemampuan mengajar lebih baik daripada orang tua. Hal ini lalu membuat adanya ekspektasi bahwa orang tua harus dapat memberikan hal yang sama, atau bahkan lebih baik, dari yang diberikan oleh guru di sekolah.
Usia anak juga menjadi salah satu tantangan. Bagi anak yang lebih dewasa, SFH mungkin tidak banyak menimbulkan dinamika tantangan bagi pengajaran orang tua. Hal ini dikarenakan sebagai pembelajar, mereka telah memiliki kemandirian dan dan regulasi belajar yang cukup baik. Namun bagi anak dengan usia yang lebih muda, dibutuhkan proses belajar yang menekankan prinsip “belajar sambil bermain”, yang mungkin akan menimbulkan tantangan tersendiri. Maka tidaklah bijaksana memberikan tuntutan yang berlebihan dan berharap anak usia lebih muda dapat menyamai unjuk belajar kakak-kakaknya yang lebih tua.
Alat pembelajaran menjadi penting untuk diperhatikan; bagaimana menjaga anak untuk tetap semangat dan tidak bosan. Penggunaan teknologi semacam youtube untuk aktivitas olahraga yang menyenangkan menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan, pengunaaan aplikasi tatap muka untuk kelas online juga sangat membantu, akan tetapi, kepemilikan sumber daya menjadi berpengaruh dalam proses ini, karena tidak semua anak memiliki akses terhadapnya, atau kalaupun ada, tidak semua orang tua mampu mengoperasikannya, sehingga di sini proses belajar anak juga menuntut orangtua untuk tanggap terhadap hal-hal baru terkait teknologi pendukung.
Banyak faktor di atas membuat situasi SFH kadang tidak berjalan mulus, baik bagi anak maupun orangtua. Salah satu hal faktornya adalah adanya perbedaan persepsi mengenai SFH pada anak dan orangtua.
Persepsi Orangtua VS Persepsi Anak Saat SFH
Persepsi adalah sebuah proses psikologis yang penting bagi manusia dalam merespons kehadiran berbagai stimulus di sekitarnya. Walgito (2004) mengatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti. Stimulus yang akan mendapatkan respons dari individu sangat tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Namun demikian, perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidaklah sama, sehingga dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya.
Hal inilah yang terjadi pada fenomena SFH pada anak dan orang tua. Anak-anak seringkali berpikir bahwa ketika mereka tidak masuk sekolah, maka mereka sedang libur. “Tidak berada di sekolah” adalah hal yang dipersepsikan sebagai libur. Stimulus “rumah” sebagai tempat bermain dan beristirahat juga merupakan hal yang sudah terasosiasi dengan baik dari awal kehidupan para anak ini. Ketika mereka libur, maka sebagian waktu yang mereka punya adalah untuk bermain, bukan belajar. Dengan demikian, anak cenderung untuk mempersepsikan SFH sebagai libur tambahan dari semua kegiatan dan tuntutan sekolah. Akan tetapi di sisi lain, sebagai pelajar, anak Anda tetap memiliki target capaian yang harus dituntaskan pada masa studinya. Sekolah tetap memberikan tugas sekolah agar target capaian belajar tersebut bisa dicapai di rumah. Di sinilah, munculnya perbedaan sudut pandang atau persepsi akan tugas yang diberikan sekolah pada saat SFH, pada orang tua dan anak. Oleh karena itu, anak butuh beradaptasi untuk mengubah persepsi bahwa rumah juga dapat digunakan sebagai tempat belajar formal, sebagai pengganti kegiatan belajar di sekolah. Di sini, peran orang tua menjadi penting, tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga bagaimana membuat anak-anak memahami bahwa adanya pandemik corona menyebabkan mereka harus belajar di rumah, bahwa mereka tidaklah sedang dalam masa liburan, tetapi sedang memindahkan aktivitas belajar ke rumah. Diskusi tentang harapan masing-masing pihak adalah hal yang penting agar tidak menimbulkan tekanan yang berlebihan untuk mencapai target yang tidak realistis dicapai dalam situasi SFH.
Managing Expectation sebagai Cara Mencapai Keseimbangan bagi Semua Penghuni Rumah saat SFH.
Anak memiliki cara belajar yang berbeda-beda, tapi target yang diberikan sekolah sama untuk semua anak. Lalu bagaimanakah cara untuk mengatasi berbagai hambatan yang dialami (Hartmann, 2012; Sugihartono, Fathiyah, Setiawati, Harahap, Nurhayati, 2007). Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua:
1. Rencanakan target belajar anak Anda. Planning is a big part of expectation management. Harus disadari penuh bahwa tidak mungkin situasi dan kondisi ideal belajar di sekolah akan tersamakan oleh situasi belajar di rumah. Buatlah adaptasi dan target belajar yang realistis, sesuai dengan kondisi rumah. Pertimbangkan faktor seperti: siblings yang mungkin akan mengganggu kegiatan belajar, tugas domestik yang harus diselesaikan oleh orang tua, tuntutan pekerjaan dari WFH yang juga harus menjadi prioritas.
2. Tekankan tentang tanggung jawab anak terhadap tugasnya. Hal ini akan membuat beban tanggung jawab menjadi terbagi antara anak dan orang tua.
3. Tetap pertahankan ritual yang sama seperti biasanya. Bangun pagi, mengerjakan tugas baru, baru ijinkan anak untuk bermain. Hal ini akan sangat berguna ketika anak kembali padarutinitasnya di sekolah.
4. Orang tua sebagai tutor harus lebih sabar. Memposisikan diri sebagai guru dan bukan orang tua akan sangat membantu agar emosi dapat lebih teregulasi.
5. Pelajari kekuatan dan kelemahan anak. Gunakan metode belajar yang ia sukai guna membuatnya tetap tertarik dengan kegiatan belajar. Kreatiflah dalam mengajar, gunakan apapun asalkan tujuan dan target belajar tercapai, dengan adaptasi dan pemakluman tentunya.
6. Gunakan apalikasi agar anak tertarik daripada metode belajar konvensional, seperti di sekolah. Pada saat ini, adalah waktu yang tepat untuk Anda memberikan kompensasi atas KBM konvensional, yang tidak bisa dilakukan sekolah biasa.
Expecting life to always turn out the way you want is guaranteed to lead to disappointment because life will not always turn out the way you want it to. And when those unfulfilled expectations involve the failure of other people to behave the way you expect them to, the disappointment also involves resentment. So, manage your expectation (Hartmann, 2012).
Referensi:
Buckley, Ronald., Novicevic, Milorad. , Halbesleben, Jonathon. , Harvey, Michael . (2004). Course management and students’ expectations: theory‐based considerations. International Journal of Educational Management, 18, 138-144.
Hartmann, Thomas. (2012). Wicked problems and clumsy solutions: Planning as expectation management. Sage Journals, 11(3), 242-256. Diunduh dari https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1473095212440427
Sunder, Shyam. (2002). Management control, expectations, common knowledge, and culture. Journal of Management Accounting Research, 14(1), 173-187. Diunduh dari https://www.aaajournals.org/doi/abs/10.2308/jmar.2002.14.1.173
Sugihartono, Fathiyah, Kartika., Setiawati, Farida., Harahap, Farida., & Nurhayati, Siti. (2007). Psikologi pendidikan. Yogyakarta : UNY Press.
Thoha, Miftah. (2003). Kepemimpinan dalam manajemen : Suatu pendekatan perilaku. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Walgito, Bimo. (2004). Pengantar psikologi umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.