ISSN 2477-1686

 

Vol.6 No. 07 April 2020

Kerja dari Rumah dengan Welas Asih

 

Oleh

Gita Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

Setiap hari, kebanyakan orang dewasa menjalani rutinitas berikut: bangun lalu mandi dan sarapan kemudian menglaju ke kantor. Di kantor, kita duduk di meja yang sama dan melewatkan sekian jam bersama dengan orang yang sama pula, menggunakan sumber daya untuk tersedia di lingkungan tersebut juga secara bersama-sama. Tak berapa lama berselang masuklah waktu istirahat, semua orang ramai-ramai keluar kantor dan saling berebut meja kursi untuk menyantap makan siang. Kembali ke kantor, semua kembali ke meja yang sama dan menjalani hal serupa sampai jam kerja selesai – mungkin diselingi pesan kopi kekinian untuk dinikmati bersama guna mengusir penat. Pukul 5 sore semua orang tergopoh-gopoh menglaju pulang. Rutinitas ini diulangi lagi dan lagi sampai masa pensiun nanti.

 

Kemudian terjadilah pandemi Covid-19.

 

Demi alasan keamanan untuk memutus pandemi, maka kini semua bekerja dan belajar dari rumah. Anak, orang tua, guru, karyawan dan semuanya pun mendadak online. Rutinitas menglaju rumah-kantor mendadak hilang, berganti dengan berbagai anekdot tentang suka duka kerja dari rumah: mulai dari gagap teknologi menggunakan aneka aplikasi, kucing peliharaan yang mencakar kesal menuntut perhatian akibat tidak diajak main sampai masakan gosong di kompor lantaran ditinggal rapat virtual dengan tim.

 

Nickson dan Siddons (2004) menjelaskan bahwa sebetulnya bekerja di luar lingkungan kantor sebetulnya bukanlah hal baru. Bagi dunia militer misalnya, para prajurit sudah kenyang makan asam garam bekerja di luar kenyamanan ruang kantor. Dalam buku mereka yang berjudul Remote Working, disebutkan bahwa Inggris sejak tahun 1970an telah mengenal konsep bekerja dari rumah. Greenbaum (2019) menjelaskan bahwa saat ini 16 persen dari tenaga kerja di Amerika Serikat atau 26 juta individu menjalani kerja secara berjarak dari organisasi atau klien yang mereka layani – baik secara paruh maupun penuh waktu, sebagian dari rumah maupun dari ruang kerja bersama (co-working space).

 

Shirazi, Fink dan Pratt (1991) menjelaskan bahwa kelemahan kerja dari rumah adalah hubungan dengan sesama rekan kerja merenggang, kebutuhan logistik menyulap ruang di rumah jadi tempat kerja meningkat seiring tagihan listrik-air-telpon-internet serta sulit memisahkan suasana kerja dan istirahat.   Di sisi lain, kelebihan kerja dari rumah adalah terhindar dari distraksi kantor, hemat waktu dan uang yang selama ini habis saat menglaju, biaya transportasi-makan-tata rias-tata busana bisa dihemat, terbebas dari tata cara interaksi sosial serba formal di kantor serta tetap memenuhi tanggung jawab domestic dengan memperhatikan perkembangan anggota keluarga yang ada di rumah. Greenbaum (2019) melihat bahwa work-life balance masih jadi menjadi alasan utama untuk kerja dari rumah.

 

Baik Shirazi, Fink dan Pratt (1991) maupun Nickon dan Siddons (2004) menjelaskan bahwa tak semua orang, juga tak semua jenis pekerjaan, dapat dikerjakan dari rumah, Greenbaum (2019) menyebutkan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri kreatif maupun sebagai pekerja pengetahuan (knowledge workers) termasuk tipe orang yang justru berbahagia bekerja dari kejauhan. Yang juga cocok untuk dikerjakan dari rumah adalah pekerjaan-pekerjaan yang kompleks tetapi tidak membutuhkan kolaborasi secara berarti maupun dukungan sosial dimana individu menyelesaikan tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi maupun keterampilan pemecahan masalah yang membutuhkan waktu untuk berpikir secara mendalam.

Sementara produktivitas relatif sama bahkan bisa lebih tinggi, mereka yang memilih kerja dari rumah cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Bloom, Ling, Roberts dan Ying (2015) bahkan membuktikan peningkatan produktivitas ini dalam penelitian eksperimen dengan hasil bahwa mereka yang bekerja di rumah menunjukkan 13% peningkatan kinerja.

 

Terkait kerja dari rumah, Nickson dan Siddons (2004) menyebutkan hal-hal penting untuk diperhatikan: keterampilan pribadi, pelatihan, logistik, peraturan perusahaan, operasional kerja serta keamanan. Contohnya ketika saat kerja dari rumah kita membutuhkan asistensi teknologi untuk instalasi perangkat lunak, hal ini bisa jadi tantangan tersendiri. Greenbaum (2019) menambahkan bahwa dari segi psikologi industri dan organisasi, luaran kerja tidak bisa lagi sebatas jumlah jam kerja tetapi berorientasi pada hasil (result-oriented) dan mengutamakan kualitas – sehingga keseluruhan evaluasi kinerja, promosi dan kenaikan gaji perlu berbasis pada prinsip yang sama.

 

Selain itu, selama kerja dari rumah Grant, Wallace dan Spurgeon (2012) mengingatkan bahwa atasan perlu mempertahankan komunikasi secara berkala – membahas bukan cuma hal-hal terkait pekerjaan tetapi juga isu-isu psikologis termasuk beban kerja, tips mengelola batas antara kantor dan rumah serta manajemen stres. Gorlick (2020) menjelaskan bahwa dukungan yang perlu diberikan organisasi adalah komunikasi berkala, penjadwalan secara periodik serta kolaborasi memanfaatkan video.

 

Para peneliti yang sama menyimpulkan dari proses wawancara mendalam dengan mereka yang bekerja di luar lingkungan kantor, kepercayaan dan gaya manajemen perusahaan menjadi faktor penentu efektivitas kerja dari rumah. Ketika hal-hal tersebut saja sudah penting ketika dunia belum kenal pandemi Covid-19, hal ini kini menjadi semakin mengemuka. Gallo (2020) menambahkan bahwa pandemi Covid-19 membuat masa depan pekerjaan, perusahaan maupun ekonomi serba tak pasti, kerja dari rumah dengan sebegitu tiba-tiba menjadi sarat kecemasan.

 

Oleh karena itu, kerja di rumah di kala pandemi Covid-19 menjadi perlu dilengkapi compassion (welas asih), yaitu respon emosional ketika mempersepsikan adanya penderitaan yang mencakup keinginan membantu secara otentik (Seppala, 2013) – tak hanya kepada sesama rekan kerja tetapi juga terhadap diri sendiri. Dalam kesempatan wawancara dengan Gorlick (2020), Nicholas Bloom yang di bagian awal sulisan ini membuktikan bahwa produktivitas meningkat dengan kerja dari rumah pun mengakui - mendadak kerja dari rumah tanpa persiapan lantaran pandemi Covid-19 membuat dirinya kewalahan, terutama ketika keempat anaknya pun harus belajar di rumah. Dalam wawancara tersebut, Bloom menjelaskan bahwa variabel yang absen dalam konteks kerja dari rumah kali ini soal pilihan pribadi (personal choice) –inilah yang dihilangkan oleh pandemi Covid-19.

 

Oleh karenanya bukan hanya produktivitas maupun komunikasi, tetapi welas asih pun juga perlu dipertahankan. Berikut cara praktis menerapkan welas asih dalam situasi kerja di rumah saat pandemi Covid-19. Ketika menghadapi tantangan, coba ambillah kertas dan buatlah surat yang ditujukan kepada diri sendiri, dimana kita – sebagai orang kedua – mencurahkan welas asih pada diri kita sendiri. Menurut Shapira et al. (2010) sebagaimana dikutip dari Kreiss (2019), latihan menulis surat dengan welas asih pada diri sendiri ini terbukti meningkatkan kebahagiaan. Mari kita coba bersama.

 

 

Referensi:

 

Bloom, N.A., Liang, J. Roberts, J. & Ying, Z. J. (2015). Does working from home work? Evidence from a Chinese experiment. The quarterly journal of economics. 130, 1, 165-218. Diakses dari https://www.gsb.stanford.edu/faculty-research/publications/does-working-home-work-evidence-chinese-experiment

Gallo, A. (2020, 30 Maret). What your coworkers need right now is compassion. Harvard Business Review. https://hbr.org/2020/03/what-your-coworkers-need-right-now-is-compassion

Grant, C.A. Wallace, L.M. & Spurgeon, P.C. (2012). An exploration of the psychological factors affecting remote e-workers’s job effectiveness, well-being and work-life balance. Employee Relation, 35, 5, 527-546.

Greenbaum, Z. (2019). The future of remote work. Monitor on Psychology, 50, 9, 54. Diakses dari https://www.apa.org/monitor/2019/10/cover-remote-work

Kreiss, T. (2019, 5 Februari). The power of self-compassion. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/positive-living/201902/the-power-self-compassion

Nickson, D. & Siddons, S. (2004). Remote working: Linking people and organizations. London: Elsevier Buttonworth-Heinemann.

Seppala, E. (2013, 3 Juni). Compassion: our first instinct. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/feeling-it/201306/compassion-our-first-instinct.

Shirazi, E., Fink, J.W. & Pratt, J. (1991). Telecommuting: Moving the work to the workers: A handbook to help you set up a program at your company. Los Angeles: CTS Office.