ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 05 Maret 2020
Merespon COVID-19 dengan Welas Asih
Oleh:
Dicky Sugianto
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Prasangka Pada Penderita COVID 19
Ketika pandemi COVID-19 pertama kali diidentifikasi dan menjadi kewaspadaan publik, wabah ini tidak hanya menimbulkan derita fisik, yang dalam persentase 3.5% menimbulkan kematian (World Health Organization, 2020), tetapi juga derita psikologis dan bahkan sosial. Pandemi COVID-19 memicu munculnya prasangka mendalam terhadap orang-orang keturunan Asia Timur, terutama orang-orang keturunan Tiongkok (Hu, Yang, Li, Zhang, & Huang, 2020). Selain itu, ia juga menimbulkan prasangka dan bahkan kekerasan psikologis maupun sosial terhadap penderitanya, seperti yang dialami orang dengan diagnosis COVID-19 pertama di Indonesia. Muncul berita-berita tidak benar dan stigma sosial mengenai orang-orang yang diidentifikasi positif terinfeksi COVID-19, yang tentunya menambah penderitaan fisik yang mereka alami.
Terlepas dari kemungkinan pemulihan dari COVID-19 yang tergolong baik (Worldometer, 2020), memiliki status sebagai seorang yang positif terinfeksi COVID-19 membawa beban psikologis spesifik. Orang yang terinfeksi COVID-19 mungkin merasa bahwa orang lain akan memberikan prasangka negatif dan perilaku diskriminatif apabila ia menunjukkan gejala COVID-19, sesuatu yang disebut dengan stigma publik (Wong, Knee, Neighbors, & Zvolensky, 2019). Stigma pun dapat terjadi pada individu dengan gejala influenza biasa, yang memiliki kemiripan dengan COVID-19, dimana seseorang dengan gejala flu mungkin mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari orang lain karena mereka takut tertular COVID-19.
Welas Diri (Self Compassion)
Ketika kita memiliki gejala mirip COVID-19 dan mendapatkan tatapan penuh waspada dari orang lain atau bahkan orang lain tampak sengaja menghindari kita, kita dapat merasakan tekanan psikologis. Pada saat seperti itu, kita dapat melakukan welas diri (self-compassion), yaitu sebuah sikap berwelas asih kepada diri. Welas diri melibatkan kesadaran akan kesulitan yang dialami dan meresponnya dengan sikap hangat dan memahami diri, serta usaha untuk entas dari kesulitan tersebut (Allen & Leary, 2010). Ketika menghadapi prasangka negatif dari orang lain, kita ingat bahwa wajar orang lain memiliki ketakutan tertular COVID-19 di tengah kecemasan massal yang terjadi sekarang ini. Hal ini tidak serta-merta berarti kita merupakan orang yang buruk atau tidak layak hanya karena memiliki gejala COVID-19.
Welas diri juga berarti kita berusaha untuk melakukan sesuatu terkait dengan gejala yang kita alami (Terry & Leary, 2011), misalnya dengan pergi ke dokter untuk memeriksakan diri. Jika pun benar kita terinfeksi COVID-19, kita perlu mengetahui fakta-fakta terkait penyakit ini dan apa yang bisa kita lakukan. Jika tidak, kita pun perlu untuk menghindarkan diri dari penderitaan dengan senantiasa mempraktikkan perilaku sehat, seperti yang direkomendasikan profesional kesehatan agar juga terhindar dari stigma publik.
Welas Asih Terhadap Sesama
Welas diri dapat memampukan kita untuk peduli dan berwelas asih kepada orang lain (Neff & Pommier, 2012). Jika kita memahami rasa sakitnya mendapatkan stigma publik dan tidak menginginkannya, apakah kita akan membiarkan orang lain mengalami hal serupa? Oleh karena itu, kita pun dapat ikut mengedukasi orang terdekat kita mengenai fakta-fakta medis terkait COVID-19. Apabila kita masih menunjukkan gejala flu yang mirip dengan gejala COVID-19, kita pun dapat mencegah orang lain tertular dengan tetap berada di rumah, mengenakan masker jika harus bertemu orang lain, serta menghindari kontak dengan orang lain agar mereka tidak tertular. Dengan demikian, kita memiliki perilaku sehat dan bertanggungjawab di tengah kecemasan publik ini.
Pada masa penuh kecemasan ini, kita dapat mempraktikkan welas asih untuk menghindarkan diri dan orang lain dari COVID-19. Kita pun dapat selalu menyadari mengenai stigma yang muncul karena pandemi ini. Penderitaan yang muncul akibat pandemi COVID-19 ini sudah membebani dunia, dan kita dapat meresponnya dengan welas asih untuk mengurangi bebannya.
“With compassion, we see benevolently our own human condition and the condition of our fellow beings. We drop prejudice. We withhold judgment.”
- Christina Baldwin
Referensi:
Allen, A. B., & Leary, M. R. (2010). Self-compassion, stress, and coping. Social and Personality Psychology Compass, 4(2), 107-118. doi: 10.1111/j.1751-9004.2009.00246.x.
Hu, Z., Yang, Z, Li, Q., Zhang, A., & Huang, Y. (2020). Infodemiological study on COVID-19 epidemic and COVID-19 infodemic. Advance online publication. doi: 10.20944/preprints202002.0380.v2.
Neff, K. D., & Pommier, E. (2012). The relationship between self-compassion and other-focused concern among college undergraduates, community adults, and practicing meditators. Self and Identity. Advance online publication. doi: 10.1080/15298868.2011.649546.
Terry, M. L., & Leary, M. R. (2011). Self-compassion, self-regulation, and health. Self and Identity, 10(3), 352-362. doi: 10.1080/15298868.2011.558404.
Wong, C. C. Y., Knee, C. R., Neighbors, C., & Zvolensky, M. J. (2019). Hacking stigma by loving yourself: A mediated-moderation model of self-compassion and stigma. Mindfulness, 10, 415-433. doi: 10.1007/s12671-018-0984-2.
World Health Organization. (2020). Coronavirus disease 2019 (COVID-19) (Report No. 46). Retrieved from https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/ situation-reports/20200306-sitrep-46-covid-19.pdf?sfvrsn=96b04adf_2.
Worldometer. (2020, March 15). Coronavirus cases. https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-cases/#case-outcome.