ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 05 Maret 2020

Memaksimalkan “Raos hidup” Manusia dalam Menghadapi Pandemi Corona

Oleh:

Rijal Abdillah

Fakultas Psikologi,  Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

 

Dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang” (Mahatma Gandhi).

 

Fenomena Pandemi Corona

Sintesis di atas sesuai dengan fenomena yang berkaitan dengan pandemi corona (Covid-19). Di tengah maraknya wabah tersebut, orang-orang berusaha mempertahankan hidupnya dengan berbagai cara, misalnya, membeli masker dalam jumlah yang besar, membeli hand-wash, hand-sanitizer dalam jumlah yang besar, bahkan sampai membeli kebutuhan logistik dengan jumlah besar pula. Padahal, pemerintah sudah memberikan himbauan untuk tidak panik berlebihan dan mengikuti intruksi dari pemerintah terkait penanganan pandemi Corona. Namun, berkaca dari fenomena tersebut, apakah manusia memiliki cara yang demikian untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau pada dasarnya manusia menolak kematian itu sendiri?

Jawabannya adalah, ada sebuah penuturan menarik yang ditulis oleh Hidayat (2015) bahwasanya: “Hidup terasa indah dan mengasyikkan ketika dihayati sebagai perjalanan kembali. Hidup adalah rekreasi ketika bertemu dengan teman seperjalanan, sepermainan, dan sekeluaga, sehingga perjalanan tersebut akan semakin indah nan mengasyikkan”.

 

Definisi Raos

Konsep hidup sejatinya berhubungan dengan “raos” (rasa/feeling/affection) itu sendiri. Dalam konteks budaya Jawa. Orang dianggap kasar bila ia tidak mengetahui raos. Orang yang tidak halus dianggap “durung Jawa”. Raos memiliki kebersatuan dengan Jawa. Jika menganggit pernyataan Descartes “Cogito ergo sum”, De Brian menyatakan “Volo Ergo Sum”, dan Fuad Hassan mengatakan “Responded ergo sum”. Maka, Ki Ageng Suryomentaram mengatakan “Ngrasa ergo sum” (Suseno, 1984). Artinya, raos memiliki makna yang luas, mulai dari penginderaan sampai hidup itu sendiri (Jatman, 2011). Dalam konteks Linguistik, bahasa sejatinya akan kehilangan maknanya tanpa rasa bahasa dan kehidupan tidak akan terealisasi tanpa adanya raos hidup.

 

Raos Hidup dan Pandemi Corona

Makhluk hidup memiliki raos hidup, yaitu rasa yang mendorong manusia untuk bergerak. Gerak tersebut mempunyai maksud untuk kelangsungan hidup, maka rasa hidup menolak kematian. Rasa hidup sejatinya ada pada tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Demikianlah hidup mempunyai tujuan dan kebutuhan (Jatman, 2011)

Raos hidup merupakan bentuk subyektif dari kehendak hidup. Tindakan manusia didorong dan dimotivasi oleh rasa hidup yang ia rasakan. Misalnya, manusia mencari makan dan minum karena terdorong oleh rasa lapar dan haus, tidur terdorong karena adanya rasa mengantuk, dan melarikan diri dari bahaya terdorong karena rasa takut (Wijaya, 2015).

Dalam konteks pandemi corona, manusia harus mencari tempat yang aman karena bahaya virus tersebut, misalnya mengikuti instruksi dari pemerintah dengan melakukan social distancing selama 14 hari (mengurangi mobilitas sosial dengan orang lain, jika bertemu dengan orang lain hindari bersalaman (lakukan salam jenis lainnya), dan menjalankan aktifitas pekerjaan melalui komunikasi jarak jauh atau online (daring). Mungkin akan terasa membosankan ketika kita menerapkan pola hidup tersebut. Namun, itulah raos hidup yang harus kita terapkan dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi wabah corona. Karena raos hidup menurut Ki Ageng Suryomentaram (dalam Kushendrawati, 2012) merupakan salah satu “raos” (rasa/feeling/affection) yang dimiliki manusia sebagai hakikat kemanusiaannya. Mencari rasa aman karena pandemi corona merupakan bagian dari raos hidup manusia yang harus kita hargai, artinya seluruh daya-upaya manusia agar hidup tetap berlangsung, dan melanjutkan kelangsungan jenisnya.

 

Raos Takut dan Pandemi Corona

Namun, secara dikotomis, proses melangsungkan hidup manusia seringkali diiringi dengan raos takut (raos ajrih) akan kematian, kehilangan keluarga, harta benda, dan lain sebagainya (Sugiarto, 2015). Dalam konteks pandemi corona, wabah tersebut menjadi sesuatu yang menakutkan bagi manusia, terlebih lagi bila dikemas sedemikan rupa oleh media, belum lagi dibumbui berita-berita hoaks.

Oleh karena itu, dalam menghadapi pandemi corona, kita harus memaksimalkan “raos hidup” dan meneliti “raos takut” yang kita miliki. Raos takut tidak perlu dihilangkan, namun bisa diamati, dikenali, dan diteliti tindakan-tindakannya. “raos hidup” dan “raos takut” bisa kita terapkan dengan melaksanakan kebijakan/aturan yang diintruksikan oleh pemerintah terkait virus corona, memang terlihat membosankan, namun kebijakan tersebut justru bisa meminimalisir pasien yang terkena dampak corona dan mencegah penyebaran virus tersebut. Sehingga menurut Ki Ageng Suryomentaram, “Mboten ngicali raos ajrih, nanging naming ngertos dhateng raos ajrih”, yang artinya: akan lahir sebuah pengetahuan bahwa rasa takut mati bersumber dari keinginan hidup abadi dan rasa hidup merupakan sebuah pengalaman syarat makna yang harus kita hargai sebagai umat manusia (Afif, 2012). Selain itu, raos hidup merupakan sebuah proses kesadaran hidup yang tidak hanya dialami oleh manusia, namun pada seluruh dimensi makrokosmos alam semesta.

 

 

 

Referensi:

Afif, A. (2012). Rasio sebagai pedoman, rasa sebagai acuan: Telaah atas arsitektur pemikiran kawruh jiwa Ki Ageng Suryamentaram. Dalam Afif, A. (Eds.). Matahari dari mataram, menyelami spiritualitas jawa rasional Ki Ageng Suryomentaram. Depok: Kepik

Hidayat, K. (2015). Psikologi kematian. Bandung: Mizan Media Utama.

Jatman, D. (2011). Psikologi jawa. Yogyakarta: Yayasan Kayoman.

Kushendrawati, S.M. 2012. Rasa hidup dan rasa bebas sebagai falsafah kemanusiaan. (Eds). Afif, A. Matahari dari Mataram, menyelami spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram. Depok: Kepik

Sugiarto, R. 2015. Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Yogyakarta: Pustaka Ifada.

Suseno, F.V.M. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Wijaya, P.C. 2015. Rasa Hidup. Dalam Wusana, S.W. Ilmu Kawruh Jiwa Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan menuju Bahagia. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta