ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 05 Maret 2020
2020: Kembali ke Perilaku Sehat
Oleh
Adhityawarman Menaldi, Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Ghassani Salsabila, Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Nabila Ramadhanti, Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Farah Diba Putri, Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Astari Meidina, Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Hidup di tahun 2020
Seperti awal bulan pada umumnya, seorang Ibu hendak berbelanja keperluan sebulan ke depan, ia tahu betul cukup banyak keperluan yang harus dibeli. Sembari berbaring dirumah dan menikmati secangkir kopi sebagai sarapan, ia mengeluarkan sebuah alat seukuran genggaman tangan dengan layar besar. Dengan mudah, ia tampak menekan-nekan layar besar itu dan tidak jarang pula ia seperti menggeser sesuatu. Ya, ia terlihat sudah sangat akrab dengan alat tersebut, seperti teman sehari-hari. Sesekali wajahnya tersenyum, sesekali mengernyit, sesekali ia menggeleng sebentar, sampai pada akhirnya ia menaruh alat tersebut di pangkuannya. Belum sempat ia mengambil kopi yang masih mengepul di meja, pintu rumahnya sudah diketuk, dan sebuah robot meletakkan sebuah paket dalam kardus. Ibu tampak memberikan instruksi pada sebuah robot lainnya, dan robot tersebut langsung membawa masuk kardus tadi dengan cepat.
Di belahan dunia lain, tampak orang-orang sedang duduk di sebuah ruang tunggu yang amat besar. Mereka terlihat asyik dengan alat elektronik di tangan mereka, mungkin mereka sedang mengerjakan beberapa tugas sekaligus dalam satu waktu. Di telinga mereka, tampak ada alat kecil yang terpasang, dan sesekali lampu biru-nya berkedip. Tidak lama menunggu, pengeras suara menyampaikan sebuah pengumuman. Segera mereka semua berdiri sambil membawa tas masing-masing, berjalan menuju antrian sebuah pesawat terbang ulang alik ke luar bumi, dan satu-persatu masuk kedalamnya. Setelah semua penumpang masuk, dengan cepat pesawat ulang alik tersebut lepas landas, entah menuju planet apa.
Sekilas 2020
Di berbagai buku fiksi dan juga film sekitar 3 dekade yang lalu, khayalan mengenai berseliwerannya alat transportasi, elektrifikasi di berbagai urusan, bahkan perjalanan ulang alik ke bulan menjadi angan-angan yang sepertinya hampir pasti terjadi di suatu tahun yang memiliki kombinasi angka cantik: 2020.
Apakah realita di tahun 2020 ini demikian? Meski dengan segala otomatisasi, digitalisasi, penyempurnaan di berbagai sektor kehidupan dan peradaban, ternyata kita masih menjumpai problem-problem “tradisional”. Tiga bulan telah berlalu di tahun ini, dan masih ada kebakaran hutan, banjir, kemacetan, polusi, kemiskinan, yang mewarnai sejumlah negara tidak terkecuali Indonesia. Kejadian-kejadian yang sebetulnya dengan perkembangan teknologi dan kepandaian manusia saat ini bisa diantisipasi dan dipecahkan. Apakah kita sudah terbang pulang-pergi ke bulan? Sebagian astronot sudah, namun masyarakat umum masih belum. Apakah menghadirkan barang dengan satu kali sentuhan di suatu alat canggih sudah bisa? Sudah. Ada kemudahan dari berbagai sistem jual beli daring. Akan tetapi, di bulan Maret ini, ke manakah kita kembali? Ternyata kita dipaksa untuk kembali ke pelajaran dasar, yaitu rajin mencuci tangan dan mengurangi bepergian keluar rumah. Pelajaran sederhana yang beberapa dekade lalu menjadi pesan oleh sebagian besar orangtua di rumah kepada anak-anak mereka.
Perilaku Sehat
Di tahun 2020 ini ternyata kita kembali perlu memahami suatu aktivitas dasar dalam menjaga kesehatan kita yaitu perilaku sehat. Apakah yang disebut perilaku sehat? Perilaku sehat adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang untuk meningkatkan atau menjaga kesehatan mereka (Taylor, 2015). Perilaku sehat sendiri terdiri dari beberapa hal sederhana yang seringkali kita sepelekan dalam keseharian kita. Misalnya seperti mengonsumsi sarapan, mengonsumsi camilan sayur dan buah, merokok dan meminum alkohol dalam batasan yang wajar, minum air putih, melakukan aktivitas fisik dan juga mengontrol berat badan (Sarafino & Smith, 2011). Selain hal-hal yang disebutkan tersebut, apabila berkaitan dengan suatu aktivitas yang mendukung kita dalam menjaga kesehatan juga termasuk dalam perilaku sehat, seperti anjuran dari WHO untuk rajin mencuci tangan menggunakan sabun agar terhindar dari segala penyebab penyakit yang hinggap di tangan kita masing-masing, termasuk virus COVID-19 yang sedang naik daun ini.
Isu mengenai COVID-19 saat ini sudah menjadi permasalahan kesehatan yang semakin meluas penyebarannya dan membuat kita semua, tanpa terbatas usia dan jenis kelamin, pun merasa rentan terhadap wabah baru ini. Kebanyakan dari kita merasa rentan terhadap COVID-19 tanpa mengenal tempat. Di antrian sebuah supermarket seorang laki-laki dewasa batuk dan pengunjung di belakangnya segera berpindah ke antrian lain untuk menghindari percikan batuk tersebut. Di transportasi umum, seorang ibu bersikeras tidak mau duduk berdekatan satu sama lain alih-alih mencegah terjadinya penularan COVID-19. Pengetahuan mengenai masalah kesehatan memang merupakan salah satu karakteristik yang dapat memengaruhi persepsi individu mengenai sebuah ancaman (Sarafino & Smith, 2011). Terdapat istilah yang cocok untuk menggambarkan kondisi kita semua saat ini, yaitu perceived threat, suatu kecenderungan seseorang merasa terancam atau khawatir terhadap kemungkinan masalah kesehatan tertentu.
Perceived threat itu sendiri terdiri dari tiga faktor, yaitu perceived seriousness, perceived susceptibility, dan cues to action (Sarafino & Smith, 2011). Perceived severity merupakan pertimbangan seseorang terkait keparahan dari suatu penyakit. Perceived susceptibility yaitu evaluasi seseorang terkait kemungkinan dirinya menderita suatu penyakit, dan yang terakhir cues to action yaitu sejenis peringatan yang terpampang nyata dengan tujuan untuk meningkatkan ancaman, sehingga individu mulai sadar, waspada, dan mengambil tindakan untuk kesehatannya. Semakin tinggi ketiga faktor tersebut, maka akan semakin meningkat kemungkinan individu untuk melakukan tindakan preventif yaitu dengan kembali melakukan perilaku sehat guna menghindari COVID-19. Menurut studi yang dilakukan oleh Chen dan Kaphingst (2010) dalam beragam teori mengenai perilaku sehat disebutkan bahwa ketika seseorang memiliki persepsi risiko yang tinggi terhadap suatu penyakit tertentu, mereka akan mengadopsi perilaku sehat yang bertujuan sebagai langkah pencegahan terhadap penyakit tersebut (Chen & Kaphingst, 2010).
Pada kenyataannya, semenjak diturunkan keputusan pemerintah dalam menanggapi status darurat corona dengan pemberlakukan social distancing, masih ada sebagian masyarakat yang belum benar-benar menerapkannya. Anjuran untuk bekerja, belajar serta beribadah di rumah belum sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat. Masih banyak perusahaan di berbagai sektor yang masih menyesuaikan kebijakan pemerintah tersebut. Dalam pandangan psikologi kesehatan, untuk meningkatkan kepatuhan terhadap suatu perilaku, perlu untuk melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mampu memprediksi kemunculannya. Menurut Brannon, Feist dan Updegraff (2014), dalam melakukan ini psikologi mengembangkan teori-teori untuk memahami mengapa dan bagaimana individu membuat keputusan-keputusan terkait perilaku sehat. Salah satu teori yang paling umum adalah Health Belief Model. Berdasarkan teori ini, persepsi keparahan dari COVID-19, persepsi kerentanan untuk terjangkit, persepsi manfaat serta hambatan dalam melakukan perilaku sehat, yang termasuk di dalamnya perilaku mencuci tangan, olahraga, makan makanan sehat serta social distancing. Individu yang mempersepsikan COVID-19 sebagai suatu penyakit yang biasa saja seperti layaknya influenza akan lebih lalai dalam mematuhi anjuran-anjuran untuk hidup sehat dan melakukan social distancing. Selanjutnya, individu yang mempersepsikan tingkat kerentanan dirinya rendah, yakni ia merasa tidak akan tertular lantaran masih muda dan bugar diprediksi juga akan lebih lalai. Tidak hanya itu, persepsi manfaat dan hambatan yang dimiliki individu nampak juga memiliki faktor prediktif yang cukup besar, yang dimana individu yang tidak berkesempatan untuk melakukan Work from Home akan merasa bahwa social distancing bukan suatu kewajiban yang harus dipatuhi lantaran tidak memberikan manfaat untuknya malah sebaliknya akan membuat dia kehilangan pekerjaannya.
Menarik untuk disadari bahwa suatu konsep lama, ternyata masih relevan hingga saat ini. Menjaga perilaku sehat ternyata tidak hanya berlaku untuk diri sendiri, namun juga berpengaruh pada cakupan yang lebih luas lagi. Apa yang terjadi di dunia saat ini sedikit banyak sudah dipengaruhi hasil pembelajaran pandemi influenza satu abad yang lalu, dan akan menjadi pembelajaran untuk masa depan. Psikologi menyumbang konsep sederhana dalam konteks ini. Menjaga serta mengaplikasikan perilaku sehat, akan memberikan dampak dalam berbagai skala dan aspek dalam kehidupan manusia.
Referensi
Brannon, L., Updegraff, J. A., & Feist, J. (2014). Health psychology: an introduction
to behavior and health (8th ed.). Boston: Cengage Learning.
Chen, L. S., & Kaphingst K. A.(2010). Risk perceptions and family history of lung
cancer: Differences by smoking Status. Public health genomics, 14(1) 26–34.
Sarafino, E. P. & Smith, T. W. (2011). Health Psychology (7th ed). New
Jersey, NJ: Wiley & Sons.
Taylor, S. E. (2018). Health Psychology (9th ed). New York, NY: McGraw-Hill.