ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 05 Maret 2020

“Unggah” dan “Teruskan” sebagai Instrumen Reorganisasi Peran Diri dalam Lingkungan Sosial Virtual di Masa Krisis

 

Oleh

Retno Hanggarani Ninin

Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran

 

Makalah ini membahas tentang perilaku seseorang sebagai pemilik akun media sosial (medsos). Kepemillikan akun yang menempatkan seseorang pada lingkungan sosial virtual serta memungkinkannya untuk berkomunikasi antar individu, di dalam sebuah kelompok, maupun dengan publik. Medsos virtual menyediakan arena interaksi sosial melalui pertukaran pesan dalam bentuk teks, gambar, suara, dan video, yang hanya membutuhkan satu perilaku sederhana untuk mengirimkannya menggunakan alat komunikasi berbasis android, yaitu menyentuh pilihan “unggah” atau “teruskan”.

 

Kesederhanaan perilaku tersebut membuat hampir setiap individu pemilik akun medsos mampu melakukannya. Namun, pada kesederhanaan tersebut melekat potensi dampak yang sangat masif, yang tersimpan dalam “isi” pesan yang diunggah atau diteruskan. Dampak masif yang didasarkan fakta bahwa 1) jumlah pesan yang tersebar mengikuti kecepatan deret hitung, jika setiap pemilik akun mengunggah atau meneruskan sebuah pesan kepada kelompok atau di ruang publik; 2) kecepatan pengiriman pesan terjadi dalam hitungan detik untuk setiap pesan, sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagi sebuah pesan untuk sampai kepada sejumlah besar orang; 3) kebutuhan untuk menghapus pesan yang sudah diunggah  atau diteruskan, nyaris tidak mungkin terpenuhi. Begitu sebuah pesan terunggah atau terteruskan, pesan tersebut berpotensi menyebar tak terkendali dengan kecepatan yang luar biasa.

 

Ketiga dampak masif yang berpeluang terjadi dari sebuah perilaku sederhana “mengunggah” dan “meneruskan” tersebut adalah faktor yang mendasari pentingnya menghubungkan perilaku tersebut dengan DIRI pelakunya. Setiap individu memiliki kemampuan pengorganisasian diri yang memungkinkannya untuk memilih peran pada suatu kesempatan sosial tertentu, dan peran tersebut mendasari pilihan perilaku yang akan ditampilkannya dalam kesempatan tersebut. Setiap perilaku yang ditampilkan oleh seseorang kepada orang lain, akan menjadi suatu stimulus bagi orang lain yang terpapar pada perilaku tersebut. Selanjutnya, stimulus tersebut akan melalui proses psikologis pada diri penerimanya, yaitu “dipikirkan”, “dirasakan”, dan “ditindaklanjuti”.

 

Dalam fenomena pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini, yaitu ketika karakteristik lingkungan sosial berubah menjadi perlu menjaga jarak sosial dan bahkan isolasi diri, maka sumber daya berupa tenaga dan waktu seseorang, berpeluang besar untuk dialihkan ke lingkungan sosial virtual. Pada saat inilah perilaku “mengunggah” dan “meneruskan”, berpeluang meningkat intensitasnya dan akan meningkatkan pula potensi dampaknya. Potensi dampak dari sisi pelaku tersebut masih akan bertambah dengan potensi yang muncul dari sisi karakteristik seseorang di masa krisis, yaitu meningkatnya kebutuhan informasi.

 

Kebutuhan informasi yang bersifat pengetahuan, dalam masa krisis adalah sesuatu yang secara psikologis natural, karena situasi krisis memiliki fenomena penyerta yaitu ketidakpastian. Ketidakpastian akan cara mendeteksi, mengobati, mencegah penularan, memperlambat penyebaran, dan pilihan-pilihan yang benar atau efektif untuk perlindungan diri. Mekanisme psikis yang bekerja dalam situasi ketidakpastian adalah, semakin tidak pasti suatu pengetahuan dalam pikiran seseorang, semakin mudah pikiran tersebut mengaktivasi rasa tidak aman pada perasaannya. Pikiran yang didominasi ketidakpastian dan perasaan yang didominasi rasa tidak aman, adalah predisposisi kuat untuk memunculkan kecemasan. Proses psikis yang terjadi pada situasi ketidakpastian itulah yang mendorong meningkatnya kebutuhan akan informasi di masa krisis, dengan harapan bahwa ada informasi baru yang akan meningkatkan pengetahuan sehingga memperkecil area ketidakpastian di dalam pikiran dan dengan demikian akan menurunkan pula kecemasannya.

 

Proses psikis yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa dalam situasi krisis, banyak orang akan meningkat kecemasannya. Dengan kata lain, taraf kecemasan masyarakat dimana krisis terjadi, berada dalam keadaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di situasi normal. Di situasi inilah individu pemilik akun medsos memiliki kesempatan untuk menjadi agen perubahan, melalui perilaku sederhana yaitu “mengunggah” atau “meneruskan”.

 

Sebagai pemilik akun medsos kita punya kesempatan untuk mengunggah dan meneruskan informasi yang memiliki efek “memberi pengetahuan” pada individu atau masyarakat penerimanya, sehingga meningkatkan pemahaman mereka akan situasinya. Peningkatan pengetahuan tersebut akan menurunkan ketidakpastian sehingga akan menurunkan pula taraf kecemasan. Penurunan kecemasan, pada dasarnya bukan hanya persoalan psikologis, melainkan persoalan kesehatan secara umum. Bidang psikoneuroimunologi telah menemukan fakta adanya hubungan antara otak dan sistem imun melalui fungsi psikobiologik (Nurdin, 2010). Maka, peningkatan kecemasan, dalam taraf tertentu akan menurunkan daya tahan tubuh, dan sebaliknya semakin rendah kecemasan (semakin meningkat ketenangan diri), semakin tinggi daya tahan tubuh. Dengan demikian, mengunggah dan meneruskan informasi yang bersifat pengetahuan, optimisme, dan hal positif lainnya, dapat berdampak pada peningkatan ketenangan masyarakat di masa krisis dan peningkatan kesehatan melalui peningkatan ketahanan tubuh. Dampak masif yang luar biasa melalui perilaku “mengunggah” dan “meneruskan”.      

 

 

Bagaimana pedoman melakukannya? Pertama, mencermati isi pesan dari teks, suara, gambar, atau video, yang kita terima dari pemilik akun lain atau yang kita temukan dari atau di akun lain. Teknik auto-netnografi bisa digunakan untuk menyeleksi data “simpanan” atau “temuan” kita. Netnografi (Kozinets, 2015) adalah suatu upaya memaknai data yang diunggah di platform daring, dengan mempertimbangkan konteks budaya si pembuat pesan dan konteks budaya dimana pesan tersebut relevan. Oleh karena di platform daring pembuat pertama suatu pesan nyaris tidak mungkin tertelusuri untuk mengkonfirmasi kebenaran informasinya, maka auto-netnografi bisa digunakan, yaitu memanfaatkan diri kita untuk mengukur makna yang melekat pada suatu informasi yang ada dalam platform daring. Proses auto-netnografinya adalah, jika sebuah pesan yang kita terima membuat kita merasa mendapatkan informasi yang bermanfaat, maka pesan tersebut bisa kita maknai sebagai pesan yang “informatif”, dan bahwa orang lain yang menerimanya kemungkinan besar bisa memaknainya dengan cara yang sama. Kedua, setelah mengidentifikasi makna suatu pesan dan memprediksi dampaknya pada orang lain berdasarkan dampaknya pada kita, maka tahap reorganisasi diri bisa dilakukan. Jika makna pesannya positif bagi kita, maka mengunggah dan meneruskannya akan membawa dampak positif pula pada orang lain. Demikian sebaliknya jika maknanya negatif. Di tahap ini, kita punya kesempatan untuk memerankan diri sebagai agen perubahan yang berkontribusi menurunkan kecemasan serta meningkatkan ketenangan dan ketahanan diri masyarakat melalui mengunggah dan meneruskan informasi positif, dan menahan diri untuk menghentikan informasi negatif melalui “tidak mengunggah” dan “tidak meneruskannya”.

 

Kita mungkin bukan tenaga medis yang bekerja siang malam untuk merawat pasien. Kita juga bukan ahli farmasi yang melakukan upaya intensif untuk menemukan obat yang manjur, atau pengemudi transportasi publik yang harus tetap bekerja menjaga ketersediaan logistik di berbagai tempat di tengah sebagian besar orang diam di rumah. Tapi kita punya kesempatan yang sama untuk memberi kontribusi positif dalam situasi krisis ini, dan ringannya, hal itu bisa dilakukan melalui suatu “sentuhan tangan”.

 

Referensi:

 

Kozinets, R. V. (2015). Netnography: Redefined. Los Angeles: SAGE.

Nurdin, A. E. (2010). Pendekatan psikoneuroimunologi. Majalah Kedokteran Andalas, 34, 90-101.