ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 04 Februari 2020

Fans dan Bias (K-Pop Idol): Benarkah hanya Sekedar Celebrity Worship?

 

Oleh

Aisyah Syihab

Fakultas Psikologi Universitas Pancasila

 

 

Fenomena menggemari selebriti Korea Selatan (khususnya penyanyi) semakin marak di Indonesia, terutama terjadi pada generasi muda (generasi Y dan Z), yang berada pada tahapan usia remaja dan dewasa muda (Prasetyo, 2018). Penyanyi dari Korea Selatan yang memiliki banyak penggemar, biasanya disebut K-Pop idol, masing-masing penggemar (fans) memiliki K-Pop idol favorit yang dikenal dengan sebutan bias (Lia, 2019). Sebagai fans, suatu hal yang sangat wajar kalau menyukai idola dengan porsi yang tinggi, membela idolanya dari para pembenci (haters), dan mengeluarkan uang untuk membeli tiket konser, lagu di iTunes, atau barang-barang terkait idolanya. Penjelasan mengenai fenomena menggemari sosok idola yang berasal dari kalangan selebritis, dapat dikaji melalui variabel celebrity worship dalam Ilmu Psikologi. Celebrity worship  merupakan perilaku obsesi individu terhadap satu atau lebih selebriti (Maltby, Day, McCutcheon, Houran, & Ashe, 2006).

 

Perilaku seorang fans menggemari idolanya sebetulnya sudah berlangsung cukup lama, dan terjadi di berbagai belahan dunia. Fans dapat sangat berlebihan ketika menggemari idolanya, perilaku yang paling parah adalah membunuh idolanya, karena terlalu mengidolakan. Contoh kasus yang paling terkenal adalah terbunuhnya John Lenon (mantan anggota grup band The Beatles dari Inggris) yang ditembak oleh penggemarnya, Mark David Chapman pada tanggal 9 Desember 1980 (Utomo, 2017).

Walau belum sampai ada kasus pembunuhan idola oleh fans K-Pop, namun banyak perilaku berlebihan lainnya yang dilakukan mereka. Fans K-Pop tidak segan menguntit idolanya, bahkan ada istilah khusus untuk penggemar yang kerap menguntit sang idol, yaitu sasaeng. Sasaeng merupakan penggemar yang sangat terobsesi dengan kehidupan pribadi bias-nya, hingga menguntit kemana pun sang idola pergi (Tionardus, 2020a). Seorang sasaeng bahkan rela cuti kuliah selama 1,5 tahun untuk mengikuti setiap langkah idolanya (Septiana, 2019). Perilaku sasaeng lainnya adalah sangat posesif terhadap idola (tidak memperbolehkan idolanya memiliki kekasih, bahkan merasa bahwa dialah kekasih sang idola), menelpon ponsel idola dengan sengaja ketika siaran langsung, membeli tiket pesawat dengan bangku yang bersebelahan dengan idola, bahkan masuk ke kamar hotel idolanya (Tionardus, 2020b).

 

Sasaeng memang umumnya ditemukan langsung di Korea Selatan, karena fans tinggal di negara bahkan kota yang sama dengan idolanya. Akan tetapi bukan berarti fans yang tinggal di negara selain Korea Selatan (misalnya Indonesia) tidak memiliki perilaku yang berlebihan. Berbagai penelitian terkait perilaku fans terhadap bias-nya sudah dilakukan. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Widhyasetyanti (2016), pada fans K-Pop menunjukkan hasil bahwa dua respondennya yang berjenis kelamin perempuan dan awalnya berorientasi seksual heteroseksual (menyukai lawan jenisnya) kemudian mengalami sexual fluidity, berubah menjadi homoseksual (menyukai sesama jenisnya), karena terlalu mendalami karakter dengan bermain peran (role-play) menjadi bias-nya di media sosial (Twitter). Role- play merupakan perilaku memainkan peran dan  mengambil identitas dari seorang tokoh (baik nyata maupun fiksi) (Brown, 2015), saat ini role-play bisa dilakukan di media sosial seperti Facebook dan Twitter (Ghaisani, 2016) Perilaku kedua responden ini terlalu mengagumi bias (idola favoritnya) adalah dengan berimajinasi menjadi bias di media Twitter. Mereka membuat akun palsu dengan mengatasnamakan nama sang bias dan berperilaku (melalui teks di Twitter) seakan-akan mereka adalah sang bias. Mereka berperan menjadi sang bias yang berjenis kelamin laki-laki dan menyukai sesama jenisnya. Peran yang mereka mainkan ini sampai ke perilaku seksual dan hampir tiap hari mereka lakukan peran tersebut. Mereka memiliki teman perempuan yang berperan menjadi pasangan homoseksual bias tersebut. Dikarenakan perilaku itu sangat sering mereka mainkan dan mereka merasa sangat nyaman dengan pasangan role play tersebut, maka mereka pun menjalin hubungan secara langsung dengan pasangan perempuan itu, hal inilah yang membuat mereka menjadi homoseksual. Pada realitanya, bias yang mereka mainkan bukanlah homoseksual (tidak ada keterangan orientasi seksual bias, karena di dunia hiburan Korea Selatan, para idola sangat terbatas mengungkapkan kisah percintaanya). Fans K-Pop umumnya sangat posesif dengan idolanya, sehingga tidak rela kalau idolanya memiliki kekasih. Hal itulah yang membuat responden pada penelitian Widhyasetyanti (2016) membuat bias yang mereka perankan menyukai sesama laki-laki, karena mereka tidak rela kalau bias-nya sampai mencintai perempuan lain.

 

Penelitian lainnya dilakukan oleh Ardita (2016), terbukti bahwa celebrity worship yang dimiliki para fans K-Pop (sebanyak 561 orang responden  remaja, dengan 92,5% berjenis kelamin perempuan) berpengaruh terhadap perilaku impulsive). Celebrity worship berperan menyumbang 13,6% terhadap perilaku impulsive buying. Besaran pengeluaran perbulan biaya yang mereka keluarkan, variatif dari di bawah Rp.500.000, hingga di atas Rp.2.000.000., padahal sebagian besar dari responden (89,9%), memiliki sumber pengeluaran dari orang tuanya (masih meminta uang pada orang tuanya). Pengeluaran tersebut dipakai untuk membeli tiket konser dan merchandise terkait idolanya.  Penelitian yang dilakukan Salsabilla (2019), menyebutkan bahwa angka yang dikeluarkan untuk hal tersebut mencapai angka lebih dari Rp.5.000.000. Salsabilla (2019) juga menyebutkan bahwa remaja penggemar K-Pop memiliki tingkat celebrity worship yang tinggi (65,9 % responden memiliki skor celebrity worship di atas rata-rata). Para responden ini melakukan kegiatan yang berhubungan dengan idolanya tersebut melalu media sosial, yaitu “menguntit” kegiatan sehari-hari dan mencari informasi terbaru idolanya melalui media sosial. Kegiatan tersebut dilakukan setiap hari dengan intensitas waktu sekitar 6 jam setiap harinya.

 

Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Pelangi (2019), menyebutkan bahwa para penggemar K-Pop melakukan aktivitasnya terkait idolanya dengan membuat cerita fiksi (fanfiction) mengenai kehidupan sang idola. Fanfiction adalah sebutan untuk karya fiksi yang dibuat oleh fans (penggemar) terkait dengan tokoh idolanya (baik tokoh nyata maupun tokoh fiksi) (Kee, 2018). Penulis fanfiction bisa bebas  menulis apapun terkait tokoh idolanya, bahkan bisa menyertai dirinya sendiri di dalam cerita fiksi tersebut. Misalnya saja, ia diceritakan berpasangan dengan tokoh idolanya tersebut. Terlebih lagi, karena imajinasinya tidak dibatasi, bisa saja hal tersebut berlawanan dengan norma-norma yang ada (Pelangi, 2019). Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa tingkat celebrity worship yang terdapat pada penulis cerita fanfiction K-Pop, berada pada tingkat tinggi (54,7% responden memiliki skor celebrity worship di atas nilai rata-rata). Sebagian besar dari mereka (0,9%) sudah menulis cerita fiksi mengenai tokoh idola K-Popnya lebih dari setahun, setidaknya sebulan sekali ada cerita baru yang mereka tulis, bahkan ada yag tiap hari menulis cerita fiksi mengenai kehidupan sang idola.

 

Selanjutnya, terdapat penelitian mengenai celebrity worship para fans K-Pop, variabel yang telah diketahui berhubungan terhadap hal itu adalah kepribadian. Penelitian yang dilakukan oleh Efathania dan Aisyah (2019), menyebutkan bahwa dua dari lima tipe kepribadian menurut Big Five Personality Trait (McCrae & Costa, 1992) adalah neuroticism dan agreableness. Fans yang memiliki kepribadian neuroticism cenderung impulsif dan posesif dengan idolanya, misalnya melarang idolanya berpacaran dengan orang lain, dan kan sangat marah kalau hal tersebut terjadi (bisa mengancam idolanya melalui fanbase dan akun media sosial idolanya itu). Sedangkan fans yang memiliki kepribadian agreableness, yang memiliki karakteristik murah hati, toleransi tinggi, dan mudah bersimpati (McCrae & Costa, 1992), akan melakukan apapun untuk membuat idolanya senang. Perilaku berlebihan para fans dengan kepribadian ini adalah membentuk gerakan donasi atas nama bias-nya (Efathania & Aisyah, 2019). Bahkan fans K-Pop di Vietnam sampai mengumpulkan dana untuk membeli nama bintang di rasi Urya Mayor untuk dinamakan sesuai nama idolanya (Subyakto, 2019).

 

Perilaku fans K-Pop berpura-pura menjadi idolanyatidak hanya dilakukan di media sosial (bukan hanya sekedar role-play dan menulis fanfiction), tetapi juga di dunia nyata. Mereka melakukan dance cover dan song cover. Dance cover adalah perilaku menirukan gerakan tari seseorang atau sekelompok orang selebriti di panggung ketika menyanyi, karena biasanya K-Pop idol berupa boyband atau girlband (tim), maka fans yang menirukannya juga berkelompok dan membentuk tim untuk menirukan idolanya. Hal ini tidak bisa dibilang main-main, karena para fans yang melakukan hal tersebut berlatih serius menirukan gerakan idolanya, membuat kostum, berdandan, membuat video, tampil di depan umum, hingga mengikuti lomba. Bahkan Indonesia diakui sebagai negara yang memiliki grup K-Pop dance cover terbaik (Triananda, 2015). Kalau  dance cover mengikuti tarian, song cover hanya meniru suara dan nada sang penyanyi idola, namun ini pun ada lombanya. Biasanya fans mengunggah kegiatannya itu di akun Youtube atau media sosialnya (Marifah, 2018).

 

Fenomena lain terkait fans K-Pop yang berlebihan mengidolakan bias-nya adalah pengakuan seorang mahasiswa yang merasa sedih berkelanjutan (cenderung depresi) sampai tidak bisa melanjutkan skripsinya, karena boyband favoritnya bubar (NM, komunikasi personal, Februari 17, 2020). Ia sama sekali tidak bisa menulis skripsinya karena terus menerus menangis memikirkan hal tersebut dan merasa memiliki ikatan sangat kuat dengan salah satu personel dai boy band tersebut, hingga merasa memiliki kesedihan yang sama dengan bias-nya itu ketika boy band tersebut bubar.

           

Berbagai hal yang dikemukakan di atas berusaha menjawab judul artikel ini, apakah celebrity worship cukup tepat sebagai variabel yang bisa menggambarkan fenomena fans K-Pop ketika mengidolakan bias-nya? Ataukah para fans ni bukan hanya sekedar mengalami celebrity worship, tetapi sudah sampai terobsesi?  Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat semakin banyaknya para remaja dan dewasa muda di Indonesia yang menggemari selebriti asal Korea Selatan, dan perilaku para fans ini berbeda dengan fans yang mengidolakan selebriti selain dari Korea Selatan.

 

 

Referensi:

 

Ardita, D. (2016). Pengaruh celebrity worship terhadap perilaku impulsive buying remaja (Skripsi, tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta.

 

Brown, A. M. L. (2015). Sexuality in role-playing games. New York: Routledge, Taylor & Francis.

 

Efathania, V. N., & Aisyah. (2019). Hubungan antara big five personality trait dengan celebrity worship pada dewasa muda penggemar K-Pop di sosial media. Jurnal Ilmiah Psikologi Mind Set, 10(1), 1-16. DOI: https://doi.org/10.35814/mindset.v10i01.734

 

Lia. (2019, 21 Januari). 21 istilah yang wajib diketahui semua Kpopers, hafal semua? IDN Times. Diunduh dari: https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/lia-89/istilah-untuk-kpopers-c1c2/full

 

Maltby, J., Day, L., McCutcheon, L. E., Houran, J., & Ashe, D. (2006). Extreme celebrity worship, fantasy proneness and dissociation: Developing the measurement and understanding of celebrity worship within a clinical personality context. Personality and Individual Differences, 40(2), 273-283.

 

Marifah, A. (2018, November 26). 9 cover lagu Kpop selebgram Indonesia ini enak banget didengerin. IDN Times. Diunduh dari: https://www.idntimes.com/hype/entertainment/annisa-66/9-cover-lagu-kpop-selebgram-indonesia-c1c2/full

 

McCrae, R. R., & Costa Jr, P. T. (1992). Discriminant validity of NEO-PIR facet scales. Educational and Psychological Measurement, 52(1),229-237.

 

Pelangi, N. (2019). Gambaran celebrity worship pada penggemar K-Pop yang menulis fanfiction (Skripsi, tidak dipublilkasikan). Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta.

 

Prasetyo, I. D. (2018, Februari 22). “Hallyu” dan keberpihakan kaum muda. Detik News. Diunduh dari: https://news.detik.com/kolom/d-3880620/hallyu-dan-keberpihakan-kaum-muda

 

Salsabilla. (2019). Studi deskriptif celebrity worship remaja penggemar K-Pop di media sosial (Skripsi, tidak dipublilkasikan). Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta.

 

Septiana, N. O (2019, Juni 29). Sempat cuti kuliah satu setengah tahun untuk fokus menguntit, fans fanatik Kpop ini tobat dan beri peringatan. Intisari Online. Diunduh dari: https://intisari.grid.id/read/031769762/sempat-cuti-kuliah-satu-setengah-tahun-untuk-fokus-menguntit-fans-fanatik-k-pop-ini-tobat-dan-beri-peringatan?page=all

 

Subyakto, G. (2019, September 30). 7 kado luar biasa dari fans untuk K-Pop idol, beli bintang-bikin sekolah! Kapanlagi.com. Diunduh dari: https://www.kapanlagi.com/korea/7-kado-luar-biasa-dari-fans-untuk-k-pop-idol-beli-bintang-bikin-sekolah-2b795a.html

 

Tionardus, M. (2020a, Januari 24). Mengenal sasaeng, fans garis keras Kpop yang ganggu kehidupan pribadi idol. Kompas.com.  Diunduh dari: https://www.kompas.com/hype/read/2020/01/24/095313266/mengenal-sasaeng-fans-garis-keras-kpop-yang-ganggu-kehidupan-pribadi-idol

 

Tionadus, M (2020b, Januari 23). 7 kelakuan sasaeng Kpop yang dibenci idol, masuk kamar hotel hingga teror telepon. Kompas.com. Diunduh dari: https://www.kompas.com/hype/read/2020/01/23/141231766/7-kelakuan-sasaeng-kpop-yang-dibenci-idol-masuk-kamar-hotel-hingga-teror?page=all

 

Triananda, K. (2015, Oktober 6). Indonesia diakui miliki grup K-Pop dance cover terbaik. Berita Satu. Diunduh dari: https://www.beritasatu.com/destinasi/312416/indonesia-diakui-miliki-grup-kpop-dance-cover-terbaik

 

Utomo, K. P (2017, November 22). 8 seleb ini meninggal dibunuh fansnya sendiri, ironis sekali. Brilio. Diunduh dari: https://www.brilio.net/selebritis/8-seleb-ini-meninggal-dibunuh-fansnya-sendiri-ironis-sekali-171121h.html

 

Widhyasetyanti, G. (2016). Gambaran sexual fluidity pada dewasa awal yang bermain role-play di media sosial (Skripsi, tidak dipublilkasikan). Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta.