ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 02 Januari 2020
Mengapa Orang Beragama di Indonesia dianggap Lebih Baik? Melihat Melalui Kacamata Norma Sosial Beragama
Oleh
Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Pada tahun 2013, sekelompok peneliti melakukan survey pada orang-orang beragama di 64 negara di seluruh dunia dan menemukan fakta penting yang menjelaskan kenapa orang beragama itu bahagia (lihat Stavrova, Fetchenhauer, & Schlösser, 2013). Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang religius lebih bahagia dibanding kelompok non-religious. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa norma sosial berperan penting untuk menguatkan efek kebahagiaan dari orang-orang beragama tersebut. Namun, pembahasan kali ini tidak dikhususkan terhadap kesimpulan penelitian yang sudah disampaikan, namun mengelaborasi fakta penelitian ini pada salah satu negara yang menjadi responden penelitian tersebut, yaitu Indonesia.
Penelitian Stavrova dkk. (2013) di atas ikut menjadikan 1.728 masyarakat Indonesia sebagai sampel penelitiannya. Jangan terlalu naif untuk mempertanyakan “keterwakilan” sampel tersebut untuk 250 juta lebih masyarakat Indonesia, biarlah itu menjadi diskusi dalam kajian statistik yang tentu saja didukung oleh argumentasi peneliti. Secara umum, jumlah responden tiap negara yang di survey berbeda-beda dan memang penelitian ini tidak secara khusus ingin memberikan gambaran religiositas dimasing-masing negara, tetapi melihat perbandingan antar negara sehingga jumlah tersebut cukup representatif untuk dapat diterima.
Religious Social Norm (Norma Sosial Beragama)
Norma sosial beragama, dalam penelitian ini adalah orang yang beragama dinilai lebih baik daripada orang yang tidak beragama. Indonesia, sebagai salah satu negara yang disurvey, memiliki indeks norma sosial beragama tertinggi dibanding semua negara lain yang disurvey. Jadi di Indonesia, penilaian terhadap seseorang sangat ditentukan dari latar belakang keyakinannya pada agama. Walaupun penduduk Indonesia mayoritas Islam, namun hal ini tidak mencirikan agama tertentu saja karena di negara lain pun terdapat negara-negara yang memiliki norma sosial beragama yang tinggi walaupun mayoritas bukan Islam.
Georgia yang mayoritas Ortodox, Trinidad & Tobago yang mayoritas Katolik, dan Zambia yang umumnya Kristen memiliki norma sosial beragama yang masuk kategori tinggi. Sedangkan negara maju seperti, Amerika Serikat dan Polandia termasuk negara dengan level sedang. Sementara negara lain, seperti Prancis dan Jerman ada dalam kelompok negara dengan level norma sosial beragama yang rendah. Dengan data ini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa jenis agama tidak menentukan level dari norma sosial beragama. Lalu apa yang menarik untuk Indonesia dari hasil penelitian ini? Jawabannya bisa kita lihat dari data lain dari penelitian ini, yaitu keragaman tradisi keagamaan berada pada level sedang.
Variasi tradisi keagamaan di Indonesia lebih tinggi dari pada beberapa negara lain, seperti Thailand, Luxemburg, Mali, Malta, Peru, Turki, dan Norway. Hal ini menunjukkan bahwa pada masyarakat Indonesia, tradisi keberagamaan tidak didominasi oleh satu kelompok tertentu. Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang sangat religius ternyata juga cukup terbuka dengan keberagaman tradisi agama.
Tantangan Keberagamaan di Indonesia
Lalu apa yang dapat kita aplikasikan dari penelitian ini, khususnya untuk data Indonesia? Pertama kita perlu menyadari bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat positif melihat agama sebagai modal sosial dan modal psikologis masyarakatnya. Sebagai modal sosial, agama dijadikan referensi moral tindakan sosial di masyarakat, sedangkan sebagai modal psikologi agama menjadi sumber kebahagiaan seseorang. Artinya, agama adalah potensi nasional bangsa Indonesia walaupun mungkin ada beberapa hal yang perlu diwaspadai agar agama tidak menjadi masalah.
Salah satu ancaman yang dapat muncul dari fakta kehidupan beragama di Indonesia adalah munculnya prasangka terhadap orang yang dianggap tidak beragama atau berbeda agama. Tidak hanya menjadi atheis, perbedaan keyakinan agama dapat berpotensi untuk dikategorikan sebagai tidak percaya Tuhan. Dengan demikian, tantangan terbesar dari keberagamaan di Indonesia adalah munculnya prasangka berbasis agama. Implikasi lebih jauh, prasangka ini dapat menjadi sumber radikalisme dalam beragama yang memandang hanya orang dalam agamanya saja yang benar dan baik. Walaupun kajian terhadap orang-orang yang tergabung dalam kelompok teroris, pandangannya lebih sempit karena hanya kelompoknya saja yang dianggap benar walaupun tetap dalam satu agama. Berdasarkan data penelitian di atas, walaupun norma sosial beragama memberi potensi munculnya prasangka agama, namun keragaman tradisi agama di Indonesia dapat meminimalisir hal tersebut.
Dengan demikian, pengelolaan kehidupan beragama harus lebih mendorong saling menghargai tradisi keberagamaan masyarakat. Namun perlu ditekankan bahwa tradisi tersebut harus sesuai dengan nilai agama yang ada karena variasi tradisi yang menyimpang dari pokok agama akan ditolak oleh masyarakat. Jika hal ini terjadi maka keragaman tradisi keagamaan dianggap sebagai masalah bukan lagi sebagai potensi.
Mengelola Keragaman Tradisi Beragama
Poin ini menjadi penting dalam mengatasi munculnya prasangka agama dan lebih jauh dalam mencegah radikalisme agama. Masyarakat Indonesia perlu diberikan pemahaman mengenai pokok-pokok agama, sehingga mereka dapat menghargai perbedaan tradisi agama jika memahami bahwa perbedaan tersebut bukanlah pada dasar agamanya. Sinkretisme atau menggabungkan keyakinan antar agama perlu dihindari karena hanya akan membuat orang-orang yang tergabung dalam kelompok agama yang lebih radikal semakin tidak menerima keragaman tradisi beragama.
Dalam konteks lebih kecil, individu, keluarga dan sekolah, perlu diajarkan pokok-pokok agama yang dengannya tiap anak dapat didorong untuk menghargai perbedaan tradisi beragama selama tetap sesuai dengan dasar agama. Tanpa pemahaman yang benar terhadap pokok agama masing-masing, kelompok radikal dapat menggiring pada sumber masalah. Jika direkrut oleh kelompok radikal-liberal, yang menerima tradisi beragama walaupun keluar dari kelompok agamanya, akan semakin memunculkan ketidaksukaan masyarakat terhadap variasi tradisi agama. Sebaliknya jika direkrut oleh kelompok radikal konservatif, akan lebih banyak orang beragama yang penuh prasangka.
Pada akhirnya, Indonesia memiliki tantangan terhadap prasangka beragama yang dapat menyebabkan masalah dalam lingkungan sosial. Namun demikian, tantangan tersebut juga disertai dengan potensi keragaman tradisi agama yang dapat mendorong mereka menjadi lebih moderat dalam beragama. Dengan demikian, dengan pengelolaan yang benar, agama bukan menjadi sumber masalah tapi modal sosial dan modal psikologi bangsa Indonesia.
Referensi:
Stavrova, O., Fetchenhauer, D., & Schlösser, T. (2013). Why are religious people happy ? The effect of the social norm of religiosity across countries. Social Science Research, 42(1), 90–105. https://doi.org/10.1016/j.ssresearch.2012.07.002