ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 02 Januari 2020

Learn to Let Go, Grief Just Temporary : Pentingnya Penerimaan Diri pada Pasien dan Caregiver Penyakit Kronis

Oleh

Ni Komang Karmini Dwijayani dan Ni Made Ari Wilani

Mahasiswa dan Dosen Program Studi Sarjana Psikologi, Universitas Udayana

 

“Manusia adalah pemeran utama dalam setiap cerita sepanjang hidup yang dijalaninya. Layaknya cerita, berarti hidup ada alurnya? Ya, karena lahir dan mati seperti awal dan akhir dalam cerita yang diantara keduanya menuntut setiap kita untuk melakoni peran suka maupun duka. Ada kalanya menjadi si sakit, ada waktunya sehat. Mungkin sekarang skenario kehidupan menugaskan menjadi pasien yang membutuhkan pertolongan, namun kapan saja peran dapat berubah menjadi caregiver yang selalu siap menjadi sumber dukungan. Berbagai konflik dan klimaks hanyalah pemanis yang pada akhirnya membawa pesan berharga sebagai sebuah mahakarya” –Karmini Dwijayani

Memaknai Rasa Sakit

Manusia adalah sebuah mahakarya Tuhan yang selalu memiliki cerita unik dan menarik. Manusia sangatlah kompleks untuk dikaji, dari kognitif, emosi, maupun konatif. Secara kodrati manusia terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan, layaknya yang dipelajari dalam psikologi perekembangan. Manusia diteliti mulai dari masa bayi, kanak-kanak (awal, madya, dan akhir), remaja, dewasa (awal, madya, dan akhir), hingga akhirnya menghadapi kematian dan masa berkabung (Santrock, 2011). Dalam setiap tahap pada tingkat perkembangannya, manusia tidak dapat mengelak dari rasa sakit sebagai bagian hidupnya, terlepas dari ringan, sedang, maupun parah yang dirasa. Rasa sakit, meskipun sering dipahami secara negatif sebenarnya selalu kita alami sepanjang waktu yaitu berupa rasa sakit minor (Taylor, 2015). Rasa sakit juga sangat penting untuk dimiliki manusia karena dengannya kita bisa bertahan hidup. Apa benar demikian? Rasa sakit adalah sebuah respon tentang fungsi dari sistem tubuh kita (Taylor, 2015). “Rasa sakit merupakan sebuah pesan yang disampaikan tubuh tentang  hal-hal  yang perlu kita cermati” begitu kata dosen penulis, maka menjadi perlu untuk kita sebagai manusia mengalaminya.

Jenis-Jenis Rasa Sakit

Setiap orang memiliki pengalaman rasa sakit yang berbeda-beda, banyak faktor yang memengaruhinya dan bergantung pula pada sumber maupun berapa lama sakit yang dirasakannya. Rasa sakit dapat dikatakan bersifat subjektif, oleh karenanya menjadi sulit dipelajari karena dipengaruhi pula oleh konteks dimana ia dialami (Taylor, 2015). Sebuah penyakit bisa menjadi akut maupun kronis dengan sebab yang diketahui bahkan tidak  (Sanders dalam Sarafino,  2011).  Adapun perbedaan penyakit akut dan kronis (Holman dalam Cahyono, 2013) yakni penyakit akut memiliki karakteristik mendadak, periode sakitnya terbatas, penyebabnya bersifat tunggal (misalnya infeksi), respon pengobatannya efektif, perjalanan penyakit umumnya baik, dan tidak menuntut perubahan  gaya  hidup  dan  keterlibatan  aktif  pasien. Sedangkan,  penyakit  kronis memiliki karakteristik bersifat gradual (perlahan), periode sakit mungkin terjadi seumur hidup, penyebabnya kompleks (contohya penyebab penyakit jantung koroner tidak bersifat tunggal), respon pengobatannya kurang efektif, penyakit tidak sembuh, dan dikarenakan oleh pengobatannya bersifat jangka panjang maka perlu perubahan gaya hidup dan peran aktif pasien. Pada stadium lanjut, tidak hanya masalah fisik seperti sesak nafas, nyeri, penurunan berat badan maupun gangguan aktivitas yang dihadapi oleh pasien penyakit kronis, namun juga berkaitan dengan gangguan psikososial serta spiritual yang memengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarga sebagai caregivernya (Fitria, 2010). Oleh karena itu penyakit kronis sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang bahkan bisa mengacaukan seluruh hidup dalam upaya penyembuhannya (Taylor, 2015).

Menghadapi Kematian Pasca Ditinggalkan

Penyakit kronis dan penyakit akut dapat saling berkaitan satu sama lain yang pada akhirnya berujung pada penyakit terminal, layaknya lanjutan dari penyakit kronis maupun akut yang sifatnya tidak bisa disembuhkan. Tentu tidak mudah bagi orang terdekat sebagai caregiver ketika terbiasa merawat pasien yang sakit tidak dapat melihatnya lagi di dunia. Kematian memang dapat terjadi kapan saja dalam perkembangan bahkan tak mengenal usia meskipun lebih mungkin terjadi pada masa dewasa akhir. Pada orang dewasa yang lebih tua, kematian lebih mungkin terjadi karena penyakit kronis seperti penyakit jantung atau kanker (Santrock, 2011). Menurut Kubler-Ross Theory terdapat tahapan-tahapan  dalam  menghadapi  kematian  yakni:  a)  denial, penolakan terhadap penyakit bahkan bertindak  seolah-olah penyakitnya tidak  parah dan akan segera hilang yang berlangsung selama beberapa hari, b) anger, perasaan yang muncul ketika penolakan tidak dapat dipertahankan, berupa perasaan marah, dendam, iri hati dan mempertanyakan kenapa dirinya yang menderita penyakit tersebut, c) bargaining, harapan   yang   dikembangakan   agar   kematian   dapat   ditunda bagaimana  pun  caranya  dengan  bernegosiasi  kepada  Tuhan,  d)  depression, ketika penyakitnya tambah parah dan harus menerima kepastian bahwa kematian tidak dapat terelakkan lagi, dan e) acceptance, ketika seseorang sudah dapat mengembangkan rasa damai dan menerima sakitnya. Secara umum tahapan tersebut akan dilalui seseorang dalam menghadapi kematiannya, meskipun tidak pasti semua tahap akan terjadi. Ketika pasien sudah berada pada tahap acceptance, perasaan dan sakit fisik mungkin hampir tidak ada karena dimaknai sebagai akhir dari perjuangan dan tahap peristirahatan terakhir sebelum kematian (Taylor, 2015). Ketika menghadapi kematian pasien, caregiver akan mengalami fase berkabung (grieving) yakni mati rasa secara emosional, adanya rasa tidak percaya, kecemasan akan perpisahan, keputusasaan, kesedihan, dan kesepian yang menyertai hilangnya seseorang yang dicintai. Grief bersifat multidimensi dan dalam beberapa kasus dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Orang yang mengalami fase , berisiko mengalami banyak masalah kesehatan (Santrock, 2011) maka dari itu bukan hanya dari sisi pasien namun penting  juga  bagi  caregiver  untuk  memiliki  penerimaan  diri  dan  menyadari bahwa kematian itu adalah suatu kepastian, bahkan sesuatu yang tak pasti adalah ketika menjalani kehidupan.

 

Referensi:

Cahyono,  J.B.S.B.  (2013).  Menjadi  pasien  cerdas.  Jakarta: PT.  Gramedia  Pustaka Utama

Fitria, C. N. (2010).  Palliative  care  pada  penderita  penyakit  terminal.  GASTER, 7(1), 527-535. Diakses dari  http://jurnal.stikes-aisyiyah.ac.id

Santrock, J.W. (2011). Life-span development (13th ed). New York : McGraw-Hill.

Sarafino, E. P., Timothy W. S. (2011). Health psychology: Biopsychosocial interactions Seventh edition. Wiley &Sons: United States of  America

Taylor,  S. E.  (2015).  Health  psychology.  9th  edition.  United  Sates : McGraw-Hill Education