ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 23 Desember 2019
Zaman Boleh Berganti, Ranger Merah Tetap Idola
Oleh
Johan Satria Putra
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Barangkali kita semua khususnya generasi Y, pernah menyaksikan suatu masa di mana sekelompok anak laki-laki usia sekolah dasar yang sedang bermain peran, lalu berebut untuk menjadi tokoh ranger merah dari serial ‘Power rangers’. Beberapa di antara kita mungkin masih ingat akan masa-masa tersebut, atau bahkan kebanyakan laki-laki yang kini berusia 25-35 tahun akan tertawa membaca kalimat saya di atas. Ranger merah boleh dibilang sebagai idola anak laki-laki generasi Y. Anak laki-laki mana dari generasi tersebut yang dulu tidak ingin menjadi karakter yang digambarkan sebagai pemimpin tim Power rangers, karakter utama, dan seringkali menjadi pahlawan di saat timnya mengalami kesulitan. Tidak hanya dulu. Hingga kini pun, anak saya yang laki-laki masih berebut menjadi ranger merah dengan teman-temannya.
Anak laki-laki. Ya, anak laki-laki. Hampir selalu hanya anak laki-laki saja yang saya – setidaknya observasi dan jumpai berebut untuk menjadi ranger merah. Apakah anak perempuan tidak ada yang menonton serial ini? Tidak juga. Beberapa teman perempuan saya ketika sekolah dulu, adik perempuan saya, juga menonton. Tetapi mereka tidak pernah berebut menjadi ranger merah.
Sebenarnya di dalam tim Power rangers itu ada juga anggota wanita, yang biasanya berwarna kostum kuning atau pink – ini juga stereotyping. Itu kata kuncinya: anggota. Pemimpinnya, tetap ranger merah. Cerita Power rangers ini banyak sekali jenis/timnya dan hingga kini masih ada. Mulai dari mighty morphin power rangers, power rangers turbo, power rangers galaxy, power rangers dinocharge, dan masih banyak sekali yang lain, yang hingga kini masih ada. Namun, ranger merah tetap konsisten dijadikan karakter pemimpin, dan selalu laki-laki. Hanya ada dua dari puluhan jenis power rangers yang pernah menjadikan wanita sebagai pemimpinnya, yang akan saya jelaskan kemudian (powerrangers.fandom.com).
Power rangers adalah salah satu contoh bagaimana sosialisasi mengenai stereotype gender dapat diterima, khususnya pada anak-anak. Namun hal ini lebih disebabkan karena usia anak-anak hingga remaja memang merupakan masa di mana gender intensification masih begitu kuat (Helgeson, 2011). Sementara di sisi lain, perubahan skema mengenai peran gender ini sejatinya telah mengalami banyak perubahan. Beberapa film anak dari Disney seperti Frozen, Brave, dan Moana misalnya, tidak lagi menggambarkan tokoh utama wanitanya sebagai seorang putri yang lemah dan dependen, namun sudah mulai digambarkan lebih asertif, pemberani dan mandiri.
Hasil penelitian dari Zafra dan Retamero (2012) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan perubahan karakteristik gender pada pria dan wanita dalam dekade terakhir, khususnya bagaimana maskulinitas lebih berkembang pada wanita dibandingkan perkembangan feminitas pada pria. Sejumlah hasil studi terdahulu menunjukkan bahwa seorang pemimpin wanita dengan karakter maskulin akan lebih diterima dibandingkan pria (Helgeson, 2011). Di samping itu, dikotomi maskulin-feminim ini juga berkaitan erat dengan gaya kepemimpinan. Sejumlah penelitian lain menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih memiliki gaya kepemimpinan transformasional, sedangkan laki-laki lebih dekat dengan gaya kepemimpinan transaksional (Stempel, Rigotti, & Mohr, 2015). Kepemimpinan gaya transformasional lebih menekankan pada kepemimpinan kharsimatik dan inspirasi motivasional. Hal ini diakomodasi oleh tim Power rangers time force, ketika mereka menjadikan ranger pink yang seorang wanita sebagai pemimpin di saat timnya kehilangan ranger merah. Artinya, itu terjadi dalam kondisi darurat. Mirip seperti ketika Indonesia di masa awal reformasi yang tidak stabil, ditambah kondisi chaos pasca lengsernya Gus Dur, maka Megawati pun diangkat sebagai Presiden. Hal ini berbeda dengan dalam kondisi normal, maka kembali lagi akan lebih diharapkan pemimpin wanita yang mengakomodasi gaya maskulin, seperti yang terjadi pada tim Power rangers super samurai yang juga menjadikan wanita sebagai pemimpin tim, namun tetap berkostum merah. Ini yang mungkin juga terjadi pada Selandia Baru dan Finlandia, yang menjadikan wanita muda sebagai Perdana Menteri.
Secara umum, motivasi menjadi pemimpin boleh dikatakan telah mulai berimbang antara laki-laki dan wanita. Boleh dikatakan, pengaruh dari Power rangers ataupun film model lawas lain yang masih mengandung bias gender sudah mulai memudar, di samping karena film-film itu sendiripun sudah mulai lebih fokus pada kesetaraan gender. Meski demikian, motivasi memimpin itu tak langsung berkorelasi pada gaya kepemimpinan yang dipergunakan, apakah maskulin atau feminim. Jadi, anak-anak generasi Z atau bahkan Alpha masih bisa menjadikan ranger merah sebagai idolanya. Bedanya, kini tidak harus selalu anak laki-laki, namun juga perempuan.
Referensi:
Helgeson, V.S. (2011). The psychology of gender, 4th ed. NY: Pearson.
Stempel, C.R., Rigotti, T., & Mohr, G. (2011). Think transformational leadership – think female? Leadership, 11(3), 259-280.
Zafra, E.L. & Retamero, R.G. (2012). Do gender stereotypes changes? The dynamic of gender stereotypes in Spain. Journal of Gender Studies, 21(2), 169-183.
https://powerrangers.fandom.com/