ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 21 November 2019
Memahami Remaja
Oleh
Sindi Amelia Wulandari dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Mahasiswa dan Dosen Program Studi Psikologi
Fakultas Humaniora dan Bisnis, Universitas Pembangunan Jaya
Memahami anak memasuki masa remaja merupakan hal yang sulit dan penuh dengan tantangan bagi orang tua. Periode ini merupakan masa transisi antara masa anak-anak menuju dewasa yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional dan sosial. Biasanya perubahan fisik adalah permulaan pubertas yang mengarah pada kematangan seksual atau kesuburan kemampuan untuk berproduksi dan biasanya terjadi diantara umur 11-19 atau 20 tahun (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Selain itu, di masa remaja banyak terjadi perubahan terkait isu harga diri, kompetensi sosial dan pertahanan diri.
Kesulitan yang sering ditemui dalam memahami remaja adalah ketidakmampuan mereka untuk mengontrol emosi sehingga remaja cenderung mudah tersinggung dan reaktif secara emosional terhadap suatu stimulus (Hurlock, dalam Raviyoga & Marheni 2019). Hal ini dapat dilihat pada sejumlah fenomena berikut. Sutriyanto (2019) menggambarkan tawuran yang dilakukan Sembilan pelajar SMP di Mranggen yang berakibat merusak motor siswa sekolah lain sampai berujung ke rasa ingin balas dendam. Alhasil polisi mengadakan pembinaan selama dua hari antara kedua sekolah.
Manshuri (2019) juga memberitakan bagaimana sejumlah siswa SMP di Lamongan diamankan satpol PP karena patungan menggunakan uang saku membeli minuman keras lokal untuk dikonsumsi pada jam sekolah di Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Desa Tambakrigadung, Kecamatan Tikung. Sementara tren mencemaskan ini terjadi di kota-kota kecil, dapat dibayangkan bagaimana perilaku remaja di kota besar. Dahniar dalam Wulandari dan Hodriani (2019) menjelaskan bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) mencatat sepanjang enam bulan pertama di tahun 2012, terjadi 139 kasus tawuran pelajar - naik dari tahun sebelumnya sebanyak 128 kasus. Tawuran di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makasar tak hanya menyebabkan kerusakan tetapi juga korban jiwa.
Ketidakmampuan remaja mengontrol emosi disebabkan otak remaja awal masih mengalami proses seperti perubahan emosi, penilaian dan kontrol diri. Otak remaja terutama lobus frontal yang berfungsi untuk pematangan kognitif masih dalam proses perkembangan (Bjork, Chambers, Taylor, & Potenza dalam Papalia et al. 2009). Proses di lobus frontal terhubung dengan implus, motivasi dan kecenderungan pengambilan risiko (Carlson, 2015). Hal tersebut tercermin pada perilaku remaja terutama dalam interaksi emosi sosial dengan teman sebaya maupun dalam kontrol kognitif.
Maka, dapat dipahami bahwa masalah-masalah yang sering dialami dalam remaja awal berusia 11-13 tahun diakibatkan karena bagian lobus frontal otak yang berguna mengatur emosi masih belum berjalan dengan baik sehingga mengakibatkan remaja awal dalam pengambilan risiko tidak tanggung jawab. Perbedaan ini dapat dilihat pada remaja yang menuju dewasa pada saat usia 14-17 tahun. Pada usia ini, mereka relatif sudah mampu menggunakan lobus frontal otak yang menunjukan pola seperti orang dewasa dalam aspek kontrol emosi dan implusif (Bairt et al, & Yurgelun-Tood dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Tak mengherankan pula bahwa di usia 13-18 tahun, anak pun rentan kecanduan gawai karena dorsolateral prefrontal cortex yang berfungsi merencanakan dan pengendalikan perilaku serta mencegah perilaku impusif masih terbilang belum matang (Ramadhani & Soerjoatmodjo, 2018).
Memahami remaja tak hanya dari aspek biopsikologi tetapi juga dari lingkungan sosialnya. Pengaruh teman sebaya mencapai puncaknya pada awal masa remaja, biasanya pada usia 12 sampai 13 tahun dan menurun pada masa remaja pertengahan serta akhir (Efriani, 2019). Tatkala berhadapan dengan tekanan kelompok yang datang dari lingkungan sebaya - baik langsung maupun melalui pengaruh kuat dari sesama teman - remaja melakukan konformitas sebagai bagian untuk menyesuaikan diri (Raviyoga & Marheni, 2019). Di dalam lingkungan teman sebaya tempat dirinya menemukan jati diri, remaja menjadi rentan terhadap berbagai pengaruh - positif maupun negatif (Monks dalam Mutia & Sukmawati, 2019).
Jadi apa yang sebaiknya dilakukan dalam memahami remaja? Dukungan sosial untuk remaja awal hingga akhir sangat dibutuhkan terutama dari orang tua sebagai lingkungan pertamanya. Orang tua yang mampu membangun komunikasi yang baik membuat remaja lebih mampu meregulasi emosinya ketika tengah mengalami situasi yang membuat dirinya tertekan (Putri dalam Efriani, 2019).
Hodriani dan Wulandari (2019) juga menyoroti peran guru sebagai pendidik dalam menjalankan peran memberi bantuan dan dorongan (support), pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta pendisiplinan agar patuh terhadap aturan dan norma hidup seraya berusaha agar siswa memiliki keterampilan yang dapat ia manfaatkan untuk berkontribusi pada masyarakat.
Tak hanya itu, Warr (dalam Efriani, 2019) juga menggarisbawahi bahwa hubungan dengan teman sebaya dapat mempengaruhi remaja berperilaku, sehingga remaja sangat membutuhkan dukungan teman sebaya yang positif.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari keseluruhan lingkungan tersebut punya kontribusi untuk menghadirkan perilaku remaja yang positif.
Referensi:
Carlson, N. R. (2015). Fisiologi Perilaku Edisi Kesehatan Jilid 1. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Efriani, N. (2019). Hubungan antara Kelekatan OrangTua – Anak dengan Regulasi Emosi
Remaja. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses pada tangga 20 September 2019 melalui http://eprints.ums.ac.id/71571/
Manshuri, H. (2019) Jam Sekolah Malah Pesta Miras, 4 Pelajar SMP di Lamongan
Diamankan Satpol PP, Terungkap Berkat Motor. Tribunnews.com. Diakses pada tanggal 20 September 2019 melalui
Mutia, A. T., & Sukmawati, I. (2019). Relationship Between Peer Pressure and Self
Esteem in Adolescents. Jurnal Neo Konseling, 1(3), 1-8. Diakses pada tanggal 20 September 2019 melalui http://neo.ppj.unp.ac.id/index.php/neo/article/view/132
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. 11th
edition. New York: McGraw-Hill Education
Ramadhani, V. & Soerjoatmodjo, G.W.L. (2018). Mengatasi Kecanduan Gadget pada
Anak. Into Bintaro 24 Juli 2018. Diakses dari http://www.infobintaro.com/mengatasi-kecanduan-gadget-pada-anak/
Raviyoga, T. T., & Marheni, A. (2019). Hubungan kematangan emosi dan konformitas
teman sebaya terhadap agresivitas remaja di SMAN 3 Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 6(12), 1049-1060. Diakses pada tanggal 25 September 2019 melalui https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/48624
Sutriyanto, E. (2019). 9 Siswa SMP di Mranggen Pindah Sekolah Setelah Terlibat dalam
Video Tawuran yang Viral. Tribunnews.com. Diakes pada tanggal 30 September 2019 melalui https://www.google.co.id/amp/s/m.tribunnews.com/amp/regional/2019/09/30/9-siswa-smp-di-mranggen-pindah-sekolah-setelah-terlibat-dalam-video-tawuran-yang-viral
Wulandari, D. O., & Hodriani. (2019). Peran Guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Mencegah Kenakalan Remaja di Sekolah. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 1(3), 139-147. Diakses pada tanggal 23 September 2019 melalui http://mahesainstitute.web.id/ojs2/index.php/jehss/article/view/28