ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 13 Juli 2019
Penanganan Pertama Kondisi Krisis Psikologis
Oleh:
Jessica Ariela
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Krisis merupakan hal yang ada di hidup sehari-hari. Hampir semua orang pernah mengalaminya pada suatu waktu dalam hidupnya. Menurut definisinya, krisis dapat diartikan sebagai suatu persepsi atau pengalaman terhadap suatu peristiwa yang sangat berat dan sulit, dan melampaui kapasitas sumber daya dan mekanisme coping individu (James, 2008). Individu yang mengalami krisis akan mengalami reaksi krisis yang terjadi segera setelah peristiwa mencekam tersebut (Yeager & Roberts, 2015). Reaksi ini dapat berupa perasaan terkejut, sedih, marah, putus asa, cemas, dan gelisah. Melihat naturnya yang menjadikan kemampuan coping tidak lagi efektif, individu yang mengalami krisis ataupun trauma seringkali akan menghadapi kesulitan dalam mengambil tindakan yang efektif untuk mengatasi masalahnya. Sebaliknya, individu justru akan berperilaku secara maladaptif.
Di dalam konseling dan psikoterapi, seringkali klien/pasien yang datang justru baru mencari bantuan setelah dirinya berada dalam kondisi krisis, misalnya berniat untuk bunuh diri karena sudah tidak tahan dengan tekanan hidup. Melihat hal ini, sesungguhnya pendekatan intervensi krisis akan sangat bermanfaat jika diperkenalkan bagi para praktisi kesehatan mental (konselor, psikolog, psikiater, terapis, guru BK). Berikut ini adalah beberapa tahapan awal untuk menangani kondisi krisis.
Stabilisasi
Individu yang mengalami krisis berada dalam kondisi tidak seimbang secara emosional (disequilibrium), dan individu ini perlu stabilisasi terlebih dahulu dengan mengembalikannya ke titik seimbangnya / titik equilibrium (James, 2008). Dengan kata lain, safety first. Jika klien yang sedang duduk di hadapan Anda tiba-tiba mengatakan ingin bunuh diri, segera hentikan segala bentuk terapi ataupun penanganan yang Anda lakukan atau rencanakan, dan segera gunakan intervensi krisis untuk memastikan klien aman dan stabil. Pastikan klien aman dan eliminasi hal-hal yang bisa membahayakan klien, seperti benda tajam. Teknik-teknik relaksasi akan sangat berguna untuk tahapan stabilisasi ini. Ajarkan juga coping skills, karena kemungkinan besar cara coping yang dipakai klien tidak lagi efektif untuk menghadapi kondisi krisisnya saat ini. Seringkali, coping skills perlu diajarkan berulang-ulang dan terkadang dilatih di dalam sesi bersama terapis.
Dukungan Sosial dan Emosional
Selanjutnya, saat klien sudah stabil, sesi dapat dilanjutkan dengan memastikan klien memiliki support sosial dan emosional. Bantu klien untuk mengidentifikasi siapa saja orang di sekitarnya yang ia percaya dan dapat dijadikan sandaran emosional saat dibutuhkan. Minta klien untuk membuat daftarnya. Biasanya klien akan menyebutkan orang tua, guru, teman dekat, saudara, pasangan, atau orang-orang lain yang dapat ia percayai. Daftar orang-orang ini merupakan hal yang krusial untuk diidentifikasi, karena klien akan tahu siapa yang bisa dimintai pertolongan jika dibutuhkan. Di dalam konseling atau psikoterapi, klien juga perlu tetap didengarkan dan mendapatkan reassurance (Wright, 2011). Katakan bahwa terkadang hal-hal yang sulit bisa membuat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan dan merasa begitu bergumul, tetapi hal-hal ini bukan tidak mungkin untuk dilalui dan akan ada banyak orang-orang yang akan menolong klien.
Menelisik Pikiran
Saat klien sudah lebih stabil, klien dapat diajak untuk mengidentifikasi dan menganalisis pikirannya. Seringkali, reaksi krisis terjadi karena berakar dari pemikiran dari klien dan apa yang klien percayai tentang hidup dan tentang kesulitan hidup, yang tidak rasional. Klien perlu dibantu untuk menganalisis apakah pemikirannya tersebut membantu atau justru menjatuhkannya, dan belajar menggantinya dengan pemikiran yang lebih rasional.
Krisis di dalam bahasa Mandarin terdiri dari dua huruf, yaitu “wei” dan “ji”. “Wei” berarti bahaya, sedangkan “ji” berarti kesempatan. James (2008) mengartikan krisis sebagai bahaya karena dapat membuat seseorang kewalahan sampai bahkan bisa menimbulkan patologi. Namun, di sisi lain, krisis juga adalah sebuah kesempatan, yaitu kesempatan bagi individu untuk mencari bantuan. Jika individu mengambil kesempatan tersebut, bukan tidak mungkin individu akan menanam benih-benih yang akan membentuk diri menjadi pribadi yang lebih dewasa dan matang secara psikologis (Brammer, dalam James, 2008).
Referensi:
James, R. K. (2008). Crisis intervention strategies, 6th Ed. Belmont, CA: Thomson Higher Education.
Wright, H. N. (2011). The complete guide to crisis & trauma counseling: What to do and say when it matters most! Grand Rapids, MI: Bethany House Publishers.
Yeager, K. & Roberts, A. (2015). Crisis intervention handbook: Assessment, treatment, and research, 4th Edition. New York, NY: Oxford University Press.