ISSN 2477-1686  

 

   Vol.5 No. 12 Juni 2019

 

“Pekerjaan Laki-laki” dan “Pekerjaan Perempuan”. Apa Bedanya?

 

Oleh

Jane L. Pietra

Program Studi Psikologi

Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya

 

Pernahkah kita mendengar kalimat “pekerjaan laki-laki” dan “pekerjaan perempuan” ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat? Atau bahkan kedua kalimat tersebut juga menentukan bagaimana Anda memilih jurusan kuliah bahkan lapangan pekerjaan? Tidak jarang memang kita terjebak dalam kedua kalimat tersebut dalam menentukan pilihan kita ke depan. Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan lebih baik jika kita memahami perbedaan dari kedua kalimat tersebut.

 

Gender dan Peran Gender

Pertama-tama kita perlu memahami arti gender, yang seringkali dikaitkan dengan perempuan. Tapi apakah benar seperti itu? Gender merupakan keragaman ciri, sifat, peran, dan identitas berdasarkan kualitas maskulinitas dan femininitas yang bersifat cair, dapat berubah, dipersilang dan dipertukarkan, serta merupakan konstruksi sosial.

 

Sementara peran gender dapat dikatakan sebagai tuntutan masyarakat atau tuntutan sosial terhadap individu untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya,berpikir, berperilaku, dan berperasaan, sesuai dengan jenis kelaminnya (Shaffer, 2000; Helgeson, 2012). Contoh dari sifat maskulinitas adalah tangguh, dapat diandalkan, agresif, dan keras. Sementara contoh dari femininitas adalah lembut, sabar, sensitif, dan penyayang.

 

Misalnya bagi laki-laki, masyarakat memandang bahwa ia harus menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama (breadwinner), karena laki-laki dianggap mewakili sifat maskulinitas bertanggung jawab, menjadi tulang punggung, tegas, berwibawa. Sementara bagi perempuan, masyarakat memandang bahwa ia harus menjalankan peran domestik karena dianggap mewakili sifat femininitas yang selalu dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan mengurus anak, keluarga, dan rumah.

 

Stereotipe Peran Gender

Pembagian peran yang kaku seperti contoh diatas, bisa disebut juga sebagai stereotipe gender. Dimana ada klasifikasi yang jelas antara “pekerjaan laki-laki” yang selalu dianggap mewakili sifat maskulin, karena laki-laki dituntut untuk menunjukkan sisi maskulinitasnya, dan “pekerjaan perempuan” yang selalu dianggap mewakili sifat femininitas.

 

Stereotipe peran gender ada dalam konteks pekerjaan berbayar (publik) maupun tidak berbayar (domestik). Dalam konteks pekerjaan berbayar, misalnya laki-laki dimaklumi ketika memilih bidang kerja teknik, mesin, pertambangan, atau pekerjaan lapangan lainnya yang dianggap sangat maskulin. Sementara perempuan lebih dimaklumi dan diharapkan untuk memilih pekerjaan yang bersifat feminin seperti sekertaris, juru ketik, keuangan/perbankan, maupun administrasi. Jika yang terjadi sebaliknya, maka baik laki-laki maupun perempuan kemungkinan besar akan mendapatkan pertanyaan dari masyarakat.

 

Sementara itu, dalam konteks pekerjaan domestik, biasanya laki-laki juga dibebankan pekerjaan yang membutuhkan tenaga atau dianggap berbahaya, seperti misalnya membenarkan atap yang bocor, menebang pohon, menggergaji, mengecek sirkuit listrik. Sementara perempuan dibebankan pekerjaan yang sifatnya lebih feminin seperti mengasuh, memasak, mencuci, mengepel (Hill Asean, 2018).

 

Saat ini sebagian masyarakat masih memandang pembagian peran gender di ranah publik maupun domestik masih kaku. Meskipun sebagian lagi sudah memilih untuk melakukan pembagian peran yang lebih cair.Padahal ketika kita mengacu kembali kepada pemahaman mengenai gender yang bersifat cair, dapat berubah, dipersilang dan dipertukarkan, maka seharusnya tidak ada pembagian yang kaku antara peran gender laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan sifat maskulinitas dan femininitas merupakan satu kontinum utuh yang dimiliki oleh seorang individu (Bem, 1974).

 

Kerugian Bagi Kedua Pihak

Stereotipe peran gender tidak hanya berdampak pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Minimnya informasi mengenai fleksibilitas peran gender di masyarakat, mengakibatkan masih ada anggapan bahwa laki-laki dan perempuan perlu dibedakan bidang kerjanya. Jika hal ini terus dipertahankan, tentunya akan memiliki dampak negatif bagi lingkungan bahkan diri kita sendiri. Tuntutan laki-laki untuk selalu menampilkan sikap maskulinnya dengan tidak menangis dan tidak boleh bercerita akan berdampak secara psikologis terhadap laki-laki. Belum lagi ketika ada laki-laki yang tidak bisa memenuhi harapan peran gendernya, karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi tuntutan tersebut. Begitu juga dengan perempuan, yang akan mengalami beban ganda akibat dibebankan dengan peran-peran domestik yang selalu dilekatkan dalam diri perempuan. Sehingga pada dasarnya, tidak hanya perempuan yang dirugikan dengan ketimpangan peran gender, laki-laki juga turut dirugikan.

 

Ketika kita melihat kembali pada definisi gender dan peran gender, maka pada dasarnya tidak ada perbedaan antara “pekerjaan laki-laki” dan “pekerjaan perempuan”, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan mampu melakukan pekerjaan apapun. Jadi, agar tidak menimbulkan kerugian bagi kedua pihak, ada baiknya kita mulai membuka wawasan dan mencoba untuk lebih fleksibel dalam menerapkan peran gender.

 

 

Referensi:

 

Bem, S. L. (1974). The measurement of psychological androginy. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 42(2), 155-162.

 

Helgeson, V. S. (2012). The psychology of gender (4th Ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

 

Hakuhodo Institute of Live & Living ASEAN. (2018). New perspective of gender equality at home: Who rules the house? Minato: Hakuhodo.

 

Shaffer, D. R. (2000). Social & personality development (4th Ed.). Belmonth: Wadsworth/Thomson Learning.