ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 10 Mei 2019
Quarter Life Crisis: Mengatasi Kegalauan
Generasi Millenial
Oleh
Vini Mutia Fitri
Division for Applied Social Psychology Research
“Setelah selesai kuliah ngapain ya? menikah apa lanjut sekolah? Atau langsung kerja aja? Tapi kalau lanjut… tapi kalau nikah... tapi kalau kerja, hmm? Duh temanku udah pada dapet kerja, si A udah lanjutin kuliahnya, si B udah gendong anak. Kok aku masih gini-gini aja?”
Pernah merasakan hal di atas? Mungkin kamu sedang mengalami quarter life crisis. Jangan khawatir, kamu tidak sendiri. Survei terbaru yang dilakukan oleh First Direct Bank terhadap 2.000 orang millenial di Inggris, menggambarkan bahwa 56% individu berada dalam quarter life crisis. Perubahan-perubahan dalam perkembangan manusia pasti terjadi dan perubahan itu terjadi pada semua aspek baik secara emosi, fisik, dan spiritual. Di usia sekitar 20-30an tahun, terjadi perpindahan dari masa remaja ke masa dewasa awal, yang butuh banyak perjuangan lahir dan batin untuk menjalani perubahan di usia ini.
Bagi sebagian individu, masa-masa quarter-life atau di usia 20-an tahun tidak harus berjalan dalam sebuah krisis, melainkan menjadi masa-masa yang menyenangkan karena ada kesempatan untuk mencoba segala kemungkinan guna memperoleh makna hidup yang lebih mendalam. Namun, beberapa individu lainnya ada yang menjalani masa quarter-life dengan perasaan panik, penuh tekanan, insecure dan tidak bermakna yang disebut sebagai quarter life crisis.
Fase ini biasanya dialami milenial yang sedang atau sudah selesai menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dimana ada perasaan takut terhadap kelanjutan hidup di masa depan, termasuk di dalamnya urusan karier, relasi dan kehidupan sosial. Namun, quarter life crisis ini bisa terjadi karena beberapa alasan seperti adanya tekanan keluarga, tekanan teman sebaya, rasa tidak aman terhadap masa depan, kekecewaan terhadap sesuatu, frustrasi dengan hubungan atau mengenai pekerjaan dan karier. Faktor norma sosial budaya, keluarga dan pertemanan mempengaruhi pandangan individu terhadap permasalahannya. Semakin memperoleh tekanan, individu akan mulai membangun emosi-emosi dan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri. Padahal di sisi lain, banyak aspek positif yang sebenarnya ia miliki namun tidak disadari, akibatnya produktivitas dan fungsi sosialnya menjadi terganggu.
Menurut Robinson (2015), terdapat 5 (lima) fase yang dilalui oleh individu dalam quarter life crisis antara lain :
1.Fase pertama, adanya perasaan terjebak dalam berbagai macam pilihan serta tidak mampu memutuskan apa yang harus dijalani dalam hidup
2.Fase kedua, adanya dorongan yang kuat untuk mengubah situasi
3.Fase ketiga, melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya sangat krusial, misalnya keluar dari pekerjaan atau memutuskan suatu hubungan yang sedang dijalani lalu mulai mencoba pengalaman baru.
4.Fase keempat, membangun pondasi baru dimana individu bisa mengendalikan arah tujuan kehidupannya.
5.Fase kelima, membangun kehidupan baru yang lebih fokus pada hal-hal yang memang menjadi minat dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh individu itu sendiri.
Lalu bagaimana cara menghadapi quarter life crisis?
Dalam mencanangkan sebuah program intervensi, O’Hanlon (dalam Atwood & Scholtz, 2008) menjelaskan bahwa terapi untuk individu yang mengalami quarter-life crisis fokus pada pembahasan tentang berbagai macam kemungkinan untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, terapi yang digunakan diharapkan mampu memberikan apresiasi terhadap pengalaman dan kekuatan dalam diri individu, keyakinan untuk melakukan tindakan-tindakan yang akan membantu mereka untuk bangkit membangun masa depan yang mereka inginkan.
Salah satu intervensi yang mungkin bisa membantu menghadapi masa ini adalah solution-focused therapy, yang dianggap efektif dalam membantu individu mengatasi perasaan dan pandangan negatif baik terhadap dirinya sendiri maupun masalah yang sedang dihadapi. Solution-focused therapy dapat diaplikasikan ke berbagai jenis masalah, baik dalam konteks sekolah, praktek pribadi, serta berbagai jenis klien mulai dari anak-anak, remaja, pasangan, keluarga hingga kasus individual orang dewasa.
Beberapa teknik yang akan digunakan dalam terapi dengan pendekatan solution-focused meliputi penggalian masalah, pemberian miracle questions, menemukan pengecualian (exceptions) saat masalah yang dibahas tidak muncul, serta menggunakan scaling questions sebagai usaha untuk membuat klien menjadi lebih berorientasi pada realita dan masa depan yang dipilihnya. Individu yang muncul dalam sesi terapi pada umumnya akan mengevaluasi kembali relasi-relasi interpesonal yang mereka miliki, seperti hubungan dengan keluarga, teman, lingkungan pekerjaan, figur-figur yang dianggap signifikan serta lingkungan sosial dan budaya tempat dimana mereka tinggal (Atwood & Scholtz, 2008).
Seperti yang telah dilakukan oleh Agustin (2012) pada 3 orang dewasa yang berumur rentang 22-29 tahun, hasilnya adalah bahwa solution-focused therapy dikatakan efektif namun belum sepenuhnya dapat membawa keluar dari situasi quarter life crisis. Pada perkembangannya kemudian, dengan mempertimbangkan kebutuhan akan adanya penanganan yang menyeluruh dalam waktu singkat hingga tekanan biaya, teknik solution-focused juga mampu diaplikasikan dalam waktu yang pendek, dikenal dengan istilah Solution-Focused Brief Therapy (SFBT).
Banyak metode untuk mengatasi quarter life crisis dalam masa ini. Quarter life crisis adalah masa yang akan banyak orang lalui atau sudah dilalui. Setiap orang memiliki coping berbeda-beda untuk menghadapinya, tetapi menghadapi masa ini dapat menjadi peluang untuk melakukan perubahan positif dalam hidup.
Referensi
Agustin, I. (2012). Therapy with Solution-Focused Approach for Individuals Who Experienced Quarter life Crisis : Thesis, Universitas Indonesia : Indonesia.
Atwood, J., Scholtz, C. (2008). The Quarter-life Time Period : An Age of Indulgence,Crisis or Both?. Journal of Contemporary Family Therapy, 30, 233-250
Robinson, O.C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: Updating Erikson for the twenty-first century. In. R. Žukauskiene (Ed.) Emerging adulthood in a European context (pp.17-30). New York: Routledge.