ISSN 2477-1686

  Vol.5 No. 7 April 2019

Membangun Resiliensi Terhadap Terorisme Di Indonesia

Oleh:

Hana Berliani Adiningsih

 Division for Applied Social Psychology Research

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Peristiwa Terorisme di Indonesia

Di bulan Maret 2019, terjadi sebuah ledakan bom di Sibolga. Bom meledak di dekat kediaman terduga AH ketika Densus 88 Anti Teror Mabes Polri akan meringkusnya. Ledakan tersebut melukai seorang polisi. Bom kembali meledak keesokan harinya. Marnita, yang merupakan istri AH, melakukan bom bunuh diri bersama anaknya. Aksi ini dilakukan setelah polisi gagal membujuknya untuk menyerahkan diri. Dampaknya, ratusan warga harus mengungsi karena dihawatirkan ada sisa bahan peledak yang belum diamankan (Leandha, 2019)

Aksi teroris di Indonesia bukan hal baru. Di tahun 2003, hotel JW Marriott menghadapi serangan sejenis, serangan ini menewaskan 9 orang termasuk pelaku teror. Di tahun 2004, Kedutaan Besar Australia diserang oleh jaringan teroris bernama Jemaah Islamiyah. Beberapa anggota jaringan tersebut pernah menjadi pejuang di Afghanistan dan pemimpinnya mengaku mewakili Al Qaeda. Kelompok tersebut sebelumnya juga bertanggung jawab atas serangan teror terbesar di Indonesia, yaitu pemboman di Bali pada tahun 2002. Serangan tersebut menewaskan 202 orang yang sebagian besar adalah wisatawan mancanegara (Otto & Yuniar, 2016). Di tahun 2005, wilayah Kuta diserang oleh tiga ledakan, setidaknya 20 orang tewas dan lebih dari 100 orang luka-luka. Pada tahun 2009, para teroris menyerang JW Marriott dan Ritz-Carlton, serangan tersebut dilatarbelakangi kunjungan warga asing yang berencana tinggal di dua hotel tersebut (Rivett-Carnac, 2016).

Selama ini Indonesia telah melakukan upaya melawan terorisme. Bentuk upaya yang dilakukan adalah penjinakan bom seperti yang dilakukan di Jimbaran pada tahun 2005, sehingga mampu menyelamatkan banyak turis yang sedang berada di sana (Rivett-Carnac, 2016), hingga melakukan serangan balik seperti pada saat aksi teror di Jalan Thamrin Januari 2016 lalu. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan penanganan yang sigap itu menuai pujian dari berbagai pemimpin negara-negara di dunia. Bahkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga sangat mengapresiasi tindakan tersebut (Teresia, 2016). Akan tetapi, selain penanganan bangunan yang hancur dan proses hukum tersangka, kondisi psikologis masyarakat juga perlu diperhatikan. Eksposur terhadap kejadian traumatis seperti itu dapat menimbulkan dampak buruk bagi aspek psikologis masyarakat.

 

Pendekatan Strengths and Resilience Based Approach

Dalam menghadapi aksi-aksi terorisme, resiliensi masyarakat merupakan salah satu hal yang penting untuk dibangun. Resiliensi adalah proses adaptasi dalam menghadapi kesengsaraan, trauma, tragedi, ancaman, atau sumber stress yang signifikan. Resiliensi diartikan sebagai proses ‘bouncing back’ dari pengalaman yang sulit. Resiliensi bukan merupakan sifat yang dapat seseorang miliki atau tidak miliki, melainkan tingkah laku, pemikiran, dan tindakan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh semua orang (American Psychological Association, n.d.).

Faktor terbesar yang berkontribusi terhadap resiliensi adalah adanya hubungan yang bersifat suportif dengan keluarga serta pihak lain selain keluarga. Hubungan yang menampilkan adanya kasih sayang, kepercayaan, memberikan panutan, dan menawarkan dorongan atau encouragement dapat membantu menyokong resiliensi seseorang. Beberapa cara untuk meningkatkan resiliensi adalah dengan cara menambah koneksi, menerima perubahan, membangun pandangan yang positif terhadap diri, dan sebagainya (American Psychological Association, n.d.).

Pada esai ini, pendekatan yang digunakan untuk menumbuhkan resiliensi adalah strengths and resilience based approach. Pendekatan ini memiliki premis yang sederhana: identifikasi apa yang berjalan dengan baik, lakukan lebih sering tindakan tersebut, dan kembangkan tindakan tersebut. Terdapat tiga elemen dari pendekatan ini. Pertama, fokuslah pada sumber daya di dalam diri tiap individu. Hal tersebut lebih baik dibandingkan ketika individu fokus pada apa yang telah hilang atau berlarut-larut pada tindakan yang salah. Kedua, tekankan pentingnya penerimaan (acceptance). Kelompok yang terdampak perlu menerima bahwa solusi bagi tiap individu mungkin berbeda-beda mengingat keragaman kekuatan dan keadaan individu itu sendiri. Ketiga, aspek yang penting adalah pengakuan (recognition). Recognition artinya diri individu tersebut diakui sebagai bagian dari keluarga, komunitas, kebudayaan, dan masyarakat (Brave Project, n.d.)

Pada tahun 2004, Lukens, O’Neill, Thorning, Waterman-Cecutti, Gubiseh-Ayala, Abu-Ras, Batista, dan Chen  menawarkan psikoedukasi bernama HOPE-NY sebagai sarana menumbuhkan resiliensi terhadap aksi terorisme. Dalam psikoedukasi ini, para korban dipertemukan dalam pertemuan berkala. Pertemuan tersebut mencakup beberapa kegiatan dan pembahasan (Lukens, dkk., 2004):

1.    Mendirikan komunitas yang kolaboratif

Setelah kejadian traumatik, individu membutuhkan dukungan yang dapat memfasilitasi berjalannya proses berduka, membangun kekuatan, dan melakukan proses penyembuhan. Hal tersebut dapat diperoleh melalui komunitas.

2.    Menanamkan kembali nilai budaya

Ketika suatu kelompok telah mengalami trauma, nilai budaya dapat dijadikan sebagai dasar dukungan, kepedulian, dan resiliensi.

3.    Menghimpun informasi

Pencarian informasi terkait identifikasi kebutuhan dan masalah para anggota kelompok perlu dilakukan. Hal tersebut dilakukan karena keberagaman latar belakang masyarakat tentunya akan mengakibatkan tantangan yang berbeda bagi tiap individu dalam menghadapi situasi pascaterorisme.

4.    Mengembangkan resiliensi

Dalam program tersebut, proses membangun resiliensi diawali dengan menguatkan keterkaitan individu dengan lingkungan budayanya, membangun kepercayaan diri untuk mengubah situasi yang negatif, mengubah penceritaan hidup yang negatif menjadi penceritaan hidup yang positif, membentuk kelompok yang erat agar dapat memberikan dukungan sosial, dan mengembangkan kemampuan perencanaan tingkah laku adaptif yang menunjang hasil positif.

Hal-hal yang juga dibahas dalam program psikoedukasi tersebut di antaranya meliputi:

1.    Kepedulian terhadap diri sendiri, keluarga, dan komunitas

Langkah pertama menangani kejadian traumatik adalah meciptakan keamanan. Keamanan dapat diartikan sebagai kebebasan dari bahaya. Baik itu berupa bahaya fisik, bahaya emosional, dan bahaya relasional antaranggota komunitas. Pada sesi pertemuan pertama, fasilitator perlu mendorong anggota untuk mendiskusikan keadaan terkini dari para anggota. Kepedulian melibatkan proses peningkatan well-being dalam segi emosional, fisik, mental, occupational, spiritual, dan relasional. Hal-hal yang perlu dibangun adalah cara keluarga dalam mengatasi masalah, berbagi strategi, dan menunjukkan kepedulian pada satu sama lain (Lukens, dkk., 2004)

2.    Duka dan berkabung

Setelah aksi terorisme, tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban. Korban bisa saja kehilangan seseorang yang meninggal dunia pada serangan tersebut, kehilangan kesehatan dan kemampuan fisik, kehilangan rumah, pekerjaan, atau tempat tertentu. Selain itu, korban juga dapat mengalami kehilangan yang bersifat abstrak seperti kehilangan kemanan, kebebasan, dan kenyamanan (Lukens, dkk., 2004). Selain dua jenis kehilangan tersebut, korban bisa juga mengalami kehilangan yang bersifat ambigu. Proses berkabung dapat menjadi lebih rumit saat korban kehilangan seseorang yang tidak pernah ditemukan setelah aksi terror, menghadapi kondisi keamanan yang belum stabil, adanya ancaman teror lanjutan, diharuskan pindah rumah, sekolah, tempat kerja, atau kemungkinan perang lanjutan di masa depan. Bahkan banyak orang merasa bersalah ketika ia berhasil selamat dari kejadian tersebut tetapi keluarga, teman, atau koleganya hilang atau mengalami luka-luka (Lukens, dkk., 2004).

3.    On-Going Effects of Trauma And Care: Creating Safety and Support

Pada aspek ini, penyintas aksi teror diajarkan bagaiman cara mengatasi trauma dan kehilangan serta bagaimana cara meningkatkan keberfungsiannya dalam kehidupan sehari-hari (Lukens, dkk., 2004).

4.    Perencanaan Masa Depan dan Membangun Kekuatan

Para penyintas kemudian juga belajar mengidentifikasi pemicu dan respon yang fungsional dan tidak fungsional dalam menangani dampak kejadian terorisme. Proses ini membantu meningkatkan kesadaran terkait kesehatan mental. Individu diharapkan dapat mengenali stressor bagi beragam aspek hidupnya dan meningkatkan kekuatan dirinya (Lukens, dkk., 2004). Secara keseluruhan, hal terpenting yang berusaha disampaikan melalui psikoedukasi ini adalah menumbuhkan harapan (Lukens, dkk., 2004).

 

Pentingnya Resiliensi dalam Menghadapi Trauma

Aksi terorisme di Indonesia tidak hanya sekali atau dua kali terjadi. Meskipun penanganan kerugian fisik telah dilaksanakan secara sigap, penanganan psikologis masyarakat yang dihadapkan pada eksposur serangan terorisme masih perlu diperhatikan. Resiliensi, atau proses adaptasi dalam menghadapi kesengsaraan, trauma, tragedi, ancaman, atau sumber stress yang signifikan, merupakan senjata yang penting dalam menghadapi trauma pasca serangan teroris. Kesimpulan solusi yang ditawarkan dalam esai ini sejalan dengan strengths and resilience based approach. Perlu dilakukan tiga langkah sederhana berikut untuk meningkatkan resiliensi. Pertama, identifikasi tingkah laku yang sudah baik. Kedua, lakukan lebih sering lagi tindakan tersebut. Ketiga, kembangkan tindakan tersebut. Sebagai bentuk intervensi untuk meningkatkan resiliensi, perlu dilakukan psikoedukasi seperti HOPE-NY. Para korban akan disatukan dalam suatu komunitas dan melakukan pertemuan dengan proes belajar yang mencakup kepedulian terhadap diri, keluarga, dan komunitas, duka dan berkabung, on-going effects of trauma and care: creating safety and support, dan perencanaan masa depan serta membangun kekuatan pribadi individu.

 

Referensi:

 

American Psychological Association. (n.d.). The road to resilience. American Psychological Association. Diunduh dari http://www.apa.org/helpcenter/road-resilience.aspx

Brave Project. (n.d.). A strengths and resilience -based approach. Bradford Reducing Anger and Violent Emotion. Diunduh dari www.brave-project.org/strengthsandresilience.pdf

Leandha, M. (2019, Maret 14). Pasca-ledakan bom di Sibolga, ratusan warga mengungsi. Kompas. Diunduh dari https://regional.kompas.com/read/2019/03/14/22195921/pasca-ledakan-bom-di-sibolga-ratusan-warga-mengungsi

Lukens, E. P., O'Neill, P., Thorning, H., Waterman-Decutti, J., Gubiseh-Ayala, D., Abu-Ras, W., . . . Chen, T. (2004). Building resiliency and cultural collaboration post september 11 th : A group model of brief integrative psychoeducation for diverse communities. Traumatology.

Otto, B., & Yuniar, R. W. (2016, Januari 16). Islamic state claims deadly indonesia attacks. Wall Street Journal. Diunduh dari http://www.wsj.com/articles/multiple-explosions-hit-indonesian-capital-of-jakarta-1452746376

Rivett-Carnac, M. (2016, Januari 14). These are the last six major terrorist attacks in Indonesia. Time. Diunduh dari http://time.com/4180220/indonesia-terrorist-attacks-history-jakarta/

Sherer, P. M. (2006). The benefits of parks: why america needs more city parks and open space. San Fransisco: The Trust for Public Land.

Teresia, A. (2016, Januari 15). Menlu: Dunia apresiasi respons cepat aparat Indonesia. Tempo. Diunduh dari:  https://m.tempo.co/read/news/2016/01/15/078736516/menlu-dunia-apresiasi-respons-cepat-aparat-indonesia