ISSN 2477-1686

  Vol.5 No. 6 Maret 2019

Memahami Gig Economy dari Perspektif Psikologi

Oleh:

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya

Fenomena Gig Workers Saat Ini

Bekerja tak lagi sebatas masuk kantor jam 09.00 pagi dan pulang kantor jam 17.00 sore. Dunia kerja saat ini boleh dibilang “tanpa batas” – kapan saja dan dimana saja seseorang dapat melompat dari satu proyek ke proyek lain, pindah dari satu organisasi ke organisasi, menjalankan beberapa pekerjaan untuk beberapa perusahaan dan berbagai variasi lainnya. Robertson (2017) menjelaskan betapa pekerjaan kini dapat bersifat sementara, berjangka waktu tetap, musiman, berbasis proyek, paruh waktu, kontrak tanpa minimal jam kerja, kontrak kasual, agen, freelance, perifer (peripheral) atau pekerjaan yang tidak menerima tunjangan, kontingen (pekerjaan non permanen yang dibayar per kasus), eksternal, non-standar, tidak tipikal, berbasis platform, outsource, sub-kontrak, informal, tidak dideklarasikan, tidak aman, marjinal atau genting (pekerjaan yang terancam akibat kondisi keuangan).

Tren dunia kerja seperti ini membawa kita untuk berkenalan lebih jauh dengan gig economy. Gig economy adalah sistem kerja yang bergantung pada kontrak sementara. Bachdar (2017) menjelaskan bahwa pelaku gig economy mencakup pekerja freelance, atau staf yang direkrut untuk proyek-proyek jangka pendek, atau pada saat dibutuhkan saja. Dulu istilah ‘gig’ hanya akrab bagi mereka yang berprofesi sebagai musisi (Nemko, 2016). Tetapi saat ini, boleh dikatakan gig economy jadi istilah kekinian untuk pekerja serabutan.” Mereka yang menyebut diri ‘asongers’ alias para associate di bidang psikologi - yang antara lain bekerja sebagai asesor, instruktur tes psikologi, fasilitator dan semacamnya – juga masuk dalam kategori gig economy. Tren gig economy tak bisa dilepaskan dari Revolusi Industri 4.0 karena internet memungkinkan seseorang bisa bekerja dimana saja dan kapan saja. 

Penelitian Terkait Gig Workers

Menurut JobStreet Indonesia sebagaimana dikutip Lingga (2018), dari 127 juta masyarakat Indonesia yang bekerja, sepertiga dari mereka – atau lebih dari 30 juta – dapat dikategorisikan sebagai gig workers dengan jam kerja kurang dari 35 jam per minggu. Angka ini berpotensi terus meningkat, berdasarkan potret Bachdar, (2017), dimana jumlah proyek yang mencari gig workers terus meningkat. Mengapa? Selain lebih hemat biaya, gig workers dipandang penuh ide segar dan memiliki jejaring luas. Tak hanya itu, biaya rekrutmen terbilang rendah dan waktu yang dihabiskan untuk mengurus administrasi karyawan bisa ditekan. Keengganan hidup terbelenggu rutinitas kerja juga membuat generasi millennial lebih memilih gig economy (Lingga, 2018). Pekerjaan kekinian seperti travel bloggers, vlogger, celebrity endorsers dan sebagainya membuat gig economy ini semakin menarik karena tampak glamor.

Kuhn (2016) menyebut fenomena gig economy ini penting dikaji mengingat pelaku gig economy termasuk salah satu kategori pekerja yang belum banyak diteliti. Isu-isu ‘klasik’ psikologi industri dan organisasi seperti retensi, kepuasan kerja (job satisfaction) dan keterlibatan karyawan (employee engagement) sebagaimana disinyalir Pontefract (2018) dire-interpretasi dalam konteks gig economy. Penting untuk mengkaji isu kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dari para pekerja ini (Reiche, 2017). Gross, Musgrave dan Janciute (2018), bahkan sampai menyarankan pentingnya edukasi bahkan pemberian dukungan bagi pekerja gig economy mengingat besarnya tantangan kesehatan mental yang mereka hadapi. Marquis et. al. (2018) menjelaskan penting mengkaji bagaimana para pelaku gig economy memaknai seberapa jauh mereka mampu mengendalikan perilaku dan emosi mereka sendiri menghadapi berbagai ketidakpastian.

Karakteristik Gig Workers

Ashford, Caza dan Reid (2018) merekomendasikan bahwa mereka yang memilih bekerja di sektor gig economy perlu memiliki karakteristik tertentu: sanggup mengelola diri sendiri, mempertahankan identitas diri, merawat hubungan dan mampu mengatasi tekanan emosional. Salah satu ‘jendela’ yang dapat digunakan untuk memahami fenomena ini adalah regulasi diri (self-regulation).

Self-regulation merupakan kemampuan mengendalikan perilaku dan emosi sendiri dalam melakukan tugas yang melibatkan pemahaman diri dan kaitannya dengan keadaan di luar diri. (Bandura, dalam Istriyanti & Sinarmata, 2014). Self-regulation dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor eksternal yang mencakup pemberian standar yang digunakan untuk mengevaluasi perilaku sendiri dan adanya reinforcement dari orang lain; serta faktor internal yang mencakup self-observation terhadap performa yang dilakukan, penilaian (judgmental process) terhadap perilakunya dimana ia membandingkan dibandingkan dengan norma pribadi dan masyarakat dan self-response baik reaktif maupun proaktif sehingga mampu berstrategi secara efektif demi mencapai tujuan. Self-regulation sebagai salah satu titik pandang diharapkan dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena gig economy di masa mendatang.

Referensi

Ashford, S.J., Caza, B.B. & Reid, E.M. (2018). From surviving to thriving in the gig

economy: A research agenda for individuals in the new world of work Research in Organizational Behavior https://doi.org/10.1016/j.riob.2018.11.001

Bachdar, S. (2017, 30 November). Gig Economy dan masa depan pekerja kantoran.

Diakses dari http://marketeers.com/gig-economy-dan-masa-depan-pekerja-kantoran/

Gross, S-A., Musgrave, G. & Janciute, L. (2018). Well-being and mental health in the gig economy: Policy perspective on precarity:

The Communication and Media Research Institute (CAMRI). London: University of Westminster Press. 

Istriyanti, N.L.A. & Sinarmata, N. (2014). Hubungan antara regulasi diri dan perencanaan karir pada remaja putri Bali. 

Jurnal Psikologi Udayana, 1 (2) 301-310.

Kuhn, K.M. (2016). The rise of the “gig economy” and implications for understanding work and workers.  

Industrial and Organizational Psychology 9 (01) 157-162.

Lingga, M.A. (2018, 15 November). Milenial dan “Gig Economy” di Era Industri 4.0.

Diakses dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/15/200900526/milenial-dan-gig-economy-di-era-industri-4.0. 

Marquis, E.B. et.al (2018, 3 November). Impacts of perceived behavior control and

emotional labor on gig workers. Proceeding of Companion of the 2018 ACM

Conference on Computer Supported Cooperative Work and Social Computing. 241-244.

Nemko, M. (2016, 12 Agustus). Thriving in a gig ecoomy. Diakses dari

https://www.psychologytoday.com/us/blog/how-do-life/201608/thriving-in-gig-economy

Pontefract, D. (2018, 2 Februari). Why your organization needs an internal gig

economy platform. Diakses dari  https://www.forbes.com/sites/danpontefract/2018/02/02/why-your-organization-needs-an-internal-gig-economy-platform/#77a52abf79e2

Reiche, S. (2017). Gig economy and psychological well-being. Diakses dari

https://blog.iese.edu/expatriatus/2017/11/13/gig-economy-and-psychological-well-being/

Roberston, P. (2017, 23 Oktober). Bagaimana ‘gig economy menciptakan

ketidakpastian kerja. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-41679547