ISSN 2477-1686

 Vol.5 No. 3 Februari 2019 

 

Hadapi Stres di Perkuliahan

Oleh

 Anisha Ayu Moravya Nasution

 Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara        

 

Berbicara soal kuliah, sebagai seorang mahasiswa, hal apa sih yang pertama kali muncul di pikiran kita? Tugas yang mengalir seperti air mengalir? waktu perkuliahan yang sepertinya tak kunjung usai? Atau dosen killer yang akan selalu membuat jantung berhenti berdetak sejenak? Wah, sepertinya tidak ada pikiran yang menyenangkan ya, karena sepertinya perkuliahan yang santai dan menyenangkan itu hanya ada di sinetron saja. Setuju?  

Dunia perkuliahan itu realitanya sungguh melelahkan, Tidak hanya fisik tetapi mental juga. Bagaimana tidak? Semakin tinggi tingkat semester yang akan ditempuh semakin besar pula tuntutannya. Mungkin di semester awal kita masih bisa pulang kuliah kumpul di cafe-cafe, nonton bioskop dan lainnya. Tetapi kebiasaan itu akan sirna secara perlahan dengan naik tingkatnya semester kita. Tuntutan tugas yang sangat banyak yang hampir setiap mata kuliah ada tugas setiap minggunya, yang membuat mumet adalah keadaan dimana beda dosen beda pula kriteria tugas tersebut, belum lagi perkuliahan yang dalam 1 hari minimal 2 mata kuliah yang tiap mata kuliahnya minimal 2 sks dan jika ada matakuliah praktek semakin tidak terlihatlah dunia ini.  Penderitaan akan bertambah lagi jika dosen yang masuk adalah dosen killer, lengkap sudah bukan? Lalu, dengan realita perkuliahan seperti itu, apakah mahasiswa-mahasiswa yang memiliki IP tinggi tidak mengalaminya? Kalau iya, bagaimana bisa bertahan dengan situasi tersebut? Lalu, bagaimana pula dengan mahasiswa yang IP nya rendah? Apakah bisa bertahan?  

Mahasiswa merupakan anak yang pada umumnya berusia 17-22 tahun. Menurut Arnett    (dalam Santrock, 2006) ia mengungkapkan bahwa individu yang be usia 18 sampai 25 tahun berada pada tahap dewasa awal (emerging adulthood) yang sedang mengalami masa transisi dari remaja ke dewasa. Dalam masa transisi, individu sudah berusaha mencari cara untuk bisa mengatasi ketidakstabilan emosi, tempramen dan moodnya yang kalau tidak bisa ia kendalikan akan menyebabkan stress dan depresi sehingga menghambat kehidupannya. Permasalahan inilah yang terjadi pada kehidupan mahasiswa yaitu, bagaimana mahasiswa tersebut dapat mengatasi dan melewati segala tekanan dan tuntutan selama perkuliahan.   

Tekanan dan tuntutan perkuliahan itu memang sangat melelahkan fisik dan mental, mahasiswa banyak yang mengalami stres karena banyaknya tugas perkuliahan yang diberikan dosen dengan deadline yang berbeda-beda disetiap tugas dan dosen, stres ini muncul karena adanya sanksi yang didapat jika tidak mengerjakan tugas. Dalam hal lain, faktor dosen killer merupakan faktor yang sangat memberi tekanan mental karena dalam hal ini mahasiswa tidak dapat melakukan perlawanan dan terlepas dari suka atau tidak mereka harus mematuhi aturan dosen tersebut. Akan tetapi, bertahannya mahasiswa menjalani semua itu tergantung dengan bagaimana mereka dapat mengatasi situasi ini. Cara mereka agar dapat bertahan adalah dengan mampu meyakinkan diri bahwa mereka mampu, mereka bisa mengatasi stres dan permasalahan ketika mereka merasa yakin pada diri mereka sendiri, terutama kepada kemampuan diri mereka yang disebut dengan self efficacy.  

Bandura (1997) mengunggkapkan bahwa Self efficacy merupakan keyakinan individu akan kemampuannya dalam menentukan, mengatur, dan melaksanakan sejumlah perilaku yang tepat untuk menghadapi rintangan dan mencapai keberhasilan yang diharapkan. Self efficacy membantu individu untuk mampu membuat pilihan tindakan, usaha dan ketekunan, pola pemikiran dan reaksi emosional, serta strategi penanggulangan masalah yang tepat yang menjadi penentu keberhasilan individu dalam melakukan penyesuaian diri terhadap masalah maupun tuntutan-tuntutan lingkungan yang menyebabkan stres. Maka dari itu, jika mahasiswa yakin dengan kemampuan diri mereka, maka mereka akan melakukan usaha (effort) yang maksimal dalam menghadapi suatu masalah.     

Tingginya self efficacy pada individu akan membantu individu mempersepsi dan merespon stresor lingkungan dengan baik sehingga stresor atau tuntutan akademik tidak akan menyebabkan stres bagi mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi akan menggunakan strategi kognisi dan metakognisi yang lebih baik. Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi pada umumnya lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai situasi yang menuntut penyesuaian diri tanpa harus mengalami stres. Keyakinan siswa terhadap kemampuan akademiknya dapat mengurangi stres. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan berusaha menghadapi tantangan yang ada untuk mengurangi tekanan dalam dirinya, sehingga stress cenderung akan menurun. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih giat, bersemangat dan tekun dalam usaha yang dilakukan serta memiliki suasana hati yang lebih baik, seperti rendahnya tingkat kecemasan atau depresi ketika melakukan suatu tugas atau pekerjaan karena merasa mampu mengontrol ancaman. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih positive thinking dan selalu berlapang dada jika hasil yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.    

Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki self efficacy yang rendah? Individu yang memiliki self efficacy rendah akan mengurangi usahanya atau bahkan menyerah ketika menghadapi hambatan. Mereka cenderung akan menghindar dari masalah karena tidak yakin sehingga tidak mau untuk menghadapinya. Mereka juga akan lebih cepat stres. Stres timbul ketika ada beban pada seseorang yang melebihi kemampuan mereka. Ketika stress melanda seorang mahasiswa, ia hanya memiliki pilihan fight or flight  yang dalam hal ini, mahasiswa dengan self efficacy yang rendah akan melakukan flight pada masalahnya. Alhasil, mahasiswa akan malas- malasan dan tidak fokus pada perkuliahan, mereka juga cenderung memiliki suasana hati yang buruk karena selalu pesimis, negative thinking, dan selalu merasa cemas dan stres yang dapat memicu terjadinya depresi.       

Jadi, mahasiswa yang IP nya tinggi itu adalah mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi karena walaupun mengalami banyaknya tuntutan dalam perkuliahannya, mereka mampu mengatasinya dengan baik. Mereka terus berusaha dan memiliki semangat belajar dengan harapan hasil yang bagus. Mereka juga tidak gampang menyerah walaupun mereka kelelahan atau disalahkan, justru hal itulah yang menjadi pacuan untuk selalu rajin belajar dan mengontrol emosi. Dengan cara itulah mereka dapat bertahan dengan baik. Nah, maka mahasiswa yang IPnya rendah DAPAT  dikatakan memiliki self efficacy yang rendah, karena pesimis terhadap kemampuan dirinya sehingga enggan untuk belajar dengan giat agar mencapai hasil yang maksimal. Jika mereka tidak mengubah pola pikir, tidak menutup kemungkinan mereka akan berhenti kuliah ditengah jalan, drop out atau jika mereka memilih tetap bertahan dengan kondisi tersebut, maka mungkin saja akan menjadi sejarah di kampusnya karena akan menjadi mahasiswa abadi.  

Keraguan pada diri sendiri itu sangat normal dan akan selalu terjadi tetapi, jika keraguan itu sampai menimbulkan ketidakyakinan pada diri sendiri sehingga menghambat keberhasilan kita, seharusnya kita dapat mengontrol dan melawannya. Kita harus ingat apa tujuan dan harapan kita ketika memutuskan untuk berkuliah, masa karena tidak percaya diri kita merusak masa depan kita? Kuliah itu adalah tempat mencari dan menuntut ilmu lewat proses belajar, jadi tidak masalah jika kita melakukan suatu kesalahan karena kita akan terus belajar agar dapat membenarkan kesalahan-kesalahan itu. Maka dari itu “ you will never know if you never try and you will never win if you never want to begin!” Ayo semangat dan percaya pada dirimu!  

Referensi

Bandura, A. (1997). Self-efficacy, the exercise of control. New York: Freeman and Company. 

Santrock, J.W. (2012). Life Span Development, Jilid 2. Edisi Ketigabelas. Jakarta: Erlangga.

Azizah, L. H. (2016). Hubungan dukungan sosial dan self efficacy terhadap stres akademik  pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.