ISSN 2477-1686

 Vol.5 No. 1 Januari 2019 

Gemuk Momok bagi Perempuan? Tinjauan dari Teori Adler 

Oleh

Clara Moningka dan Laila Midori

Fakultas Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

Gemuk merupakan sesuatu yang menjadi sesuatu yang menakutkan bagi perempuan. Masih terdapat pandangan negatif mengenai bentuk tubuh yang gemuk. Pandangan negatif ini berhubungan dengan persepsi tentang kecantikan (Munawarah, 2017). Standar kecantikan memang tidak bisa lepas dari konstruksi media dan masyarakat akan makna kecantikan. Yang dianggap cantik menurut media adalah kurus;langsing, putih, berambut lurus hitam panjang, modis, dan selalu menjaga penampilan (Nazarudin dalam Utomo, 2017). Budaya K-pop yang semakin meluas juga ikut memberikan sumbangan pada bentuk tubuh yang dianggap ideal saat ini, yaitu kurus. Berdasarkan standar kecantikan yang dikonstruksi tersebut, tidak heran banyak perempuan yang merasa gemuk dan mecoba berbagai macam jenis diet. Hal ini terjadi karena ketidaksesuaian antara bentuk tubuhnya dengan apa yang menjadi standar kecantikan di masyarakat. Individu yang merasa gemuk atau mengalami kegemukan dapat mengalami inferiority feeling.

Pada umumnya setiap individu pasti pernah merasakan perasaan rendah diri atau inferiority feeling. Perasaan rendah diri ini pada dasarnya bukan merupakan tanda kelemahan. Adler (dalam Schultz, 2009) mengemukakan bahwa perasaan rendah dapat berfungsi sebagai sebagai kekuatan untuk memotivasi kita dalam berperilaku. Adler juga mengemukakan bahwa perasaan rendah diri adalah sumber dari perjuangan manusia untuk melakukan kompensasi. Kompensasi yang dimaksud adalah upaya untuk mengatasi perasaan rendah diri. Sebab di sepanjang kehidupan, kita didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi rasa rendah diri dan berusaha untuk mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi.

Inferiority feeling juga kerap dirasakan oleh Aditira Hanim, seorang selebgram bertubuh big size. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Tira telah kerap dirundung (bully) oleh teman-temannya karena memiliki tubuh yang gemuk. Kata-kata kasar dan menyakitkan mengenai bentuk tubuhnya kerap ia dengat. Tira kemudian merasa rendah diri. Perasaan inferior yang dimilikinya tidak membuat ia terpuruk, namun memotivasi diri untuk melakukan kompensasi yaitu menjadi siswa yang berprestasi.  Sejak SD, Tira menunjukkan prestasi yang memuaskan di sekolah dan dikenal sebagai anak yang pintar. Melalui prestasinya tersebut Tira dapat bertahan dan merasa bangga akan dirinya (Azasya, 2018). Tidak berakhir di Sekolah Dasar, Tira juga mendapatkan perlakukan yang sama saat kuliah. Teman-temannya kerap menyindir dengan mengatakan bahwa ia hanya berani mengunggah foto wajah saja karena tubuhnya yang gemuk. Hal ini kemudian mendorong Tira untuk berperilaku positif terhadap tubuhnya (Azasya, 2018). Perasaan inferior atau rendah diri yang dirasakan memotivasi Tira untuk merasa bangga dengan apa yang dimilikinya; tidak hanya sekedar bentuk tubuh namun juga potensi yang ada. Ia juga berani menunjukkan bahwa orang gemuk dapat tetap modis atau bergaya. Gaya berpakaian Tira kerap menjadi acuan bagi orang dengan berat badan plus. Saat ini Aditira Hanim bahkan telah menjadi selebgram dan influencer yang menginspirasi lewat body positive-nya. Kisah Tira merupakan salah satu kisah seseorang perempuan obesitas yang mampu mengatasi perasaan rendah dirinya. Namun, tidak semua perempuan yang merasa gemuk mempu untuk mengkompensasi perasaan tersebut. Individu yang tidak mampu melakukan kompensasi akan cenderung akan terpuruk dan mendengarkan; menyetujui apa yang dikatakan oleh orang lain. Dalam konteks ini, perempuan yang merasa dirinya gemuk akan merasa jelek, tidak modis dan lain sebagainya. Keadaan ini akan mengarah pada inferiority complex, yaitu keadaaan dimana individu tidak dapat mengimbangi perasaan rendah dirinya. Individu ini cenderung memandang dirinya secara negatif dan merasa tidak berdaya menghadapi lingkungannya (Schultz, 2009). Emosi yang tidak sehat kerap akan muncul seperti kecemasan, merasa tidak aman; bahkan dapat menyebabkan perilaku abnormal. Adler (Schultz, 2009) mengemukakan bahwa pola pengasuhan atau sikap orang tua pada anak dapat menjadi penyebab dari inferiority complex ini.  Anak yang kerap mendapatkan label negatif dan selalu diingatkan akan kesalahan atau kegagalan yang pernah ia alami cenderung akan lebih rentan mengalami hal ini. Mereka akan sulit membangun perasaan positif dari kegagalan atau kekurangan yang ada.

Dari pengalaman Tira dan pengetahuan mengenai perasaan inferior, perlu bagi kita untuk memahami bahwa rendah diri dapat terjadi pada siapa saja. Manusia kerap membandingkan dirinya dengan orang lain dan perasaan tersebut dapat muncul pada proses membandingkan. Namun ada baiknya kita juga memahami potensi diri kita. Tidak hanya berfokus pada kekurangan yang ada namun memotivasi diri melalui kekurangan; entah memotivasi untuk hidup lebih sehat ataupun melakukan kompensasi untuk menjadi individu yang lebih berguna.

 

Referensi

Azasya, S. (2018, April 1).  Aditira Hanim, Selebgram yang Ingin Ubah Pandangan Tentang Berat Badan. IDN TIMES. Diunduh dari dari https://www.idntimes.com/life/inspiration/stella/cerita-aditira-hanan-selebgram-plus-size-1/full.

Munawarah, R.R. (2017). Feeling of inferiority siswa obesitas berdasarkan jenis kelamin di SMPI Khaira Ummah Padang. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 16 (1), 32-55. Diunduh dari http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/marwah/article/view/3568.

Schultz, D.P., & Schultz, S.E. (2009). Theories of Personality (9th  Ed). Belmont, CA: Wadsworth.

Utomo, P.A. (2017, Agustus 1). Standar paling klasik ada pada sosok Sita dalam epos Ramayana. Diunduh dari https://www.brilio.net/cewek/ini-asal-mula-standar-kecantikan-bagi-wanita-indonesia-170731i.html