ISSN 2477-1686

Vol.4 No. 24 Desember 2018

 

Mendidik Moral Remaja

Oleh

Selviana

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI 

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Beberapa tokoh menyatakan bahwa masa remaja sebagai masa “storm and stress” (badai dan tekanan), yang saat periode ini remaja banyak mengalami konflik dan kontradiksi yang tidak terelakkan sehingga banyak memengaruhi perilakunya (Gunarsa & Gunarsa, 2012; Hurlock, 1999).  Hal ini diperkuat oleh pendapat Barnet (dalam Gunarsa, 2009) yang menyatakan bahwa terdapat tiga elemen kunci pada masa badai dan tekanan yang terjadi pada remaja. Pertama, konflik dengan orangtua yang mencakup larangan-larangan, misalnya kesopanan dalam berpenampilan, kapan diperbolehkan untuk berpacaran, ke mana saja boleh bepergian, serta jam berapa harus sampai di rumah. Kedua, gangguan suasana hati seperti perasaan aneh atau perasaan tidak nyaman, khawatir, gugup, dan kurang diperhatikan. Ketiga, kecenderungan melakukan hal-hal yang berisiko, yakni perilaku-perilaku yang secara potensial dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain misalnya menggunakan narkoba, melakukan hubungan seks di luar nikah, aborsi dan lain-lain.

 

Berdasarkan analisis secara demografi, dari sisi jenis kelamin, Santrock (2003) mengungkapkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan perilaku immoral dari pada anak perempuan, walaupun anak perempuan lebih banyak yang kabur, anak laki-laki lebih banyak melakukan tindakan kekerasan. Selanjutnya, Gunarsa (2012) menyatakan bahwa remaja berada pada batas peralihan antara kehidupan anak dan dewasa. Sekalipun tubuhnya sudah kelihatan dewasa, tetapi bila diperlukan bertindak seperti orang dewasa remaja gagal menunjukkan kedewasaannya, dikarenakan pengalamannya mengenai alam dewasa masih belum banyak, sehingga remaja sering terlihat gelisah (galau), berkeinginan besar mencoba segala hal yang belum diketahuinya, menghayal/fantasi dan aktivitas berkelompok.

 

Sementara itu berdasarkan tempat tinggal, Gunarsa (2012) mengungkapkan bahwa pengaruh lingkungan sosial sekitar terlihat dari cara berpakaian, bahasa, cara berpikir maupun perbuatannya. Apabila lingkungan tersebut turut membantu kelancaran proses dengan perbuatan yang patut dicontoh, maka lingkungan tersebut tidak akan menimbulkan permasalahan, sebaliknya lingkungan sekitar yang berpengaruh negatif terhadap remaja, dapat memberikan dampak yang negatif pula terhadap remaja. Lebih lanjut, Santrock (2003) mengemukakan bahwa kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal dapat memicu kenakalan/perilaku remaja. Santrock (2003) juga menyatakan bahwa tinggal disuatu daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi, yang juga ditandai dengan kemiskinan dan kondisi pemukiman yang padat, dapat meningkatkan kemungkinan remaja melakukan kenakalan dan biasanya bersekolah ditempat yang kurang memadai.

Saran Praktis Pendidikan Moral Remaja

a.  Bagi remaja

Disarankan agar dapat dapat berbagi cerita kepada orang tua, guru maupun teman yang dapat dipercaya, sehingga pada saat mengalami suatu permasalahan tertentu yang dialaminya dapat tertangani oleh orang-orang yang tepat untuk membimbingnya ke arah yang lebih baik.

 

b. Disarankan bagi orang tua, agar sesibuk apapun tetap menyediakan waktu untuk berbagi hidup dengan anak, memberi nasihat, memperhatikan kehidupan anak, memberinya kepercayaan untuk berkembang sesuai kemampuannya serta memberikan dukungan baik secara moral maupun materi. Penting pula untuk orang tua menanamkan nilai-nilai keimanan sesuai keyakinan agama yang dianutnya, sehingga anak mendapatkan banyak teladan dalam berperilaku dari orang tuanya mengingat pendidikan pertama dari seseorang diperoleh dari keluarga.  Bagi guru, disarankan agar tidak hanya mengajar di kelas, tetapi ikut menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam kegiatan belajar-mengajar, bersedia menjadi tempat curahan hati bagi siswa, memberikan dorongan/arahan bagi kemajuan siswa di sekolah dan menolong siswa yang bermasalah. Bagi teman, disarankan agar dapat bergaul dalam hal-hal yang positif misalnya olahraga bersama, belajar bersama, dan menjadi tempat curahan hati yang dapat dipercaya dalam memberi masukan-masukan yang positif, mengingat pada masa ini remaja banyak menghabiskan waktunya dengan teman, sehingga dibutuhkan teman-teman yang dapat membangun agar dapat memperoleh manfaat positif dalam bergaul.

 

b.  Bagi sekolah maupun instansi pendidikan lainnya,

Disarankan agar dapat membuat program-program yang tidak hanya melatih intelektual, tetapi juga dapat melatih moral remaja misalnya kegiatan pendidikan karakter, kegiatan kerohanian, maupun kegiatan sosial (kunjugan ke panti-panti sosial, memberi sumbangan bagi korban bencana, memberi perhatian bagi siswa/guru/staf yang mengalami kedukaan, memberikan beasiswa bagi siswa kurang mampu) yang dapat menumbuhkan rasa empati untuk melakukan hal-hal yang berguna bagi sesama. Hal ini sangat perlu diperhatikan bagi sekolah-maupun instansi pendidikan agar tujuan pendidikan baik secara akademis maupun psikologis dapat berjalan seirama. Selain itu, penting juga agar pihak sekolah membuat pertemuan dengan orang tua, baik yang terkait dengan sosialisasi program dan aturan sekolah, maupun seminar-seminar parenting, sehingga wawasan orang tua bertambah dan memudahkan sekolah untuk menjalin kerjasama dengan orang tua dalam mendidik moral remaja.

Referensi 

Gunarsa, Yulia., &  Gunarsa, Singgih. (2012). Psikologi remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 

Gunarsa, Singgih. (2009). Dari anak sampai usia lanjut bunga rampai psikologi perkembangan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence 6th ed., Perkembangan remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2005). Life span development. New York: McGraw Hill.