ISSN 2477-1686

Vol.4 No. 24 Desember 2018

 

Bystander Effect: Realita di tengah Musibah

(Merekam Dahulu, Menolong Kemudian)

Oleh

Frida Medina Hayuputri

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

Semenjak trend munculnya peristiwa-peristiwa viral di media massa, terutama media internet, hampir setiap orang ingin menjadi yang pertama dalam mengunggah suatu konten fenomenal. Mereka berlomba-lomba untuk merekam, kemudian mengunggah apapun yang dianggap menarik, bahkan pada peristiwa-peristiwa yang bisa menimbulkan korban jiwa seperti perkelahian, penganiayaan, kecelakaan, bencana alam, dan lain sebagainya.

Mirisnya, trend ini mengakibatkan empati orang hampir hilang total. Sebagai contoh, ketika terjadi kecelakaan, orang-orang lebih fokus untuk merekam kejadian daripada mendahulukan untuk menolong korban. Begitu pula ketika terjadi penganiayaan, terkadang korbannya sampai meninggal dunia, namun “si perekam kejadian” tetap asyik melanjutkan aksinya merekam. Hal seperti ini disebabkan karena ia merasa bahwa dirinya bukan satu-satunya orang yang ada di tempat tersebut, sehingga ia berpikir bahwa orang lain akan dapat menolong korban.

Bystander Effect

Bystander effect adalah sebuah fenomena sosial di mana semakin banyaknya saksi atau “penonton” dari sebuah kejadian darurat membuat orang-orang memilih untuk mengabaikan atau tidak menolong korban dari situasi tersebut (Aronson, Wilson, & Akert, 2013). Bystander effect dapat menyerang siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Menurut Psikologi Sosial, seseorang akan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan, jika tidak ada orang lain disekitarnya (Atikasari, 2016).

Saat ini, bystander effect seringkali kita temui di sekeliling kita. Orang-orang cenderung sudah hilang rasa empatinya terhadap musibah yang dialami orang lain, sehingga alih-alih menolong, mereka lebih memilih untuk menonton dan merekam peristiwa tersebut. Peran empati adalah mendorong perilaku menolong. Perilaku menolong merupakan kelebihan manusia sebagai makhluk sosial yaitu baik terhadap keluarga, kelompok, bahkan orang tidak dikenal, tanpa meminta imbalan. Indonesia terkenal dengan budaya yang suka bergotong-royong, tapi seiring berjalannya waktu, modernisasi membuat moral kita melemah sehingga muncullah bystander effect (Atiksari, 2016).

Sebuah penelitian klasik dari Darley dan Latene (1968) mengungkapkan bahwa semakin banyak penonton berada dalam suatu peristiwa, maka semakin kecil kemungkinan mereka untuk menawarkan bantuan atau menghubungi layanan bantuan gawat darurat. Ini dikarenakan mereka berpikir bahwa orang lain akan membantu korban,  hal ini biasa disebut dengan difusi tanggung jawab. Dalam penelitiannya yang lain, Latene dan Darley (1968) menemukan bahwa ada lima langkah yang diambil seseorang dalam memutuskan untuk membantu orang lain dalam keadaan darurat atau tidak, antara lain:

1.    Mengamati sebuah peristiwa.

Jika seseorang tidak menyadari sesuatu peristiwa sedang terjadi, mereka tidak akan dapat membantu.

2.    Menafsirkannya sebagai keadaan darurat.

Seseorang juga harus memahami bahwa itu adalah keadaan darurat.

3.    Memikul tanggung jawab.

Jika banyak orang lain di sekitar kita, orang lebih cenderung untuk percaya bahwa orang lain akan mengambil tanggung jawab. Jika mereka percaya orang lain akan membantu, maka orang cenderung untuk tidak membantu. Difusi tanggung jawab lebih sering terjadi pada kelompok saksi yang semakin besar jumlahnya.

4.    Mengetahui cara untuk membantu.

Seseorang harus mengetahui cara membantu dalam suatu kejadian, jika mereka tidak tahu bantuan seperti apa yang harus diberikan, mereka pun tidak akan bisa membantu.

5.    Memutuskan untuk melakukan pertolongan.

Terkadang seseorang bisa memutuskan untuk tidak melakukan pertolongan, karena resikonya terlalu tinggi, atau merasa tidak kompeten.

 

Apabila kita berada di suatu tempat terjadinya musibah, mungkin kita tidak mampu menolong korban secara langsung, tetapi kita bisa melakukan  beberapa hal berikut (Lulu, 2015):

  1. Meminta bantuan dari orang lain di sekitar tempat kejadian yang dianggap lebih mampu untuk melakukan pertolongan.
  2. Menghubungi pihak-pihak yang berkewenangan dan bisa segera membantu sehubungan dengan kejadian, seperti Kepolisian, Rumah Sakit, Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun pihak lain yang terkait.
  3. Tidak memperburuk keadaan dengan  “menonton dan merekam” atau diam saja tanpa melakukan apapun, sehingga membuat jalanan semakin macet.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bystander effect merupakan fenomena yang negatif, yang harus dicegah dan diatasi, setidaknya dimulai dari diri kita sendiri.

Referensi

 

Aronson, E., Wilson, T. D., Akert, R. M. (2013). Social psychology. New York: Pearson.

Atikasari, Ulfa. (2016, April). Fenomena bystander effect. Kompasiana. Diunduh dari: http://kompasiana.com.

Darley, J. M., & Latane, B. (1968). Bystander intervention in emergencies: Diffusion of responsibility. Journal of Personality and Social Psychology4, 377-383.

Latane, B., & Darley, J. M. (1968). Group inhibition of bystander intervention in emergencies. Journal of Personality and Social Psychology3, 215-221.

Lulu, Kezia. (2015). The bystander effect: kenapa kita hanya menonton situasi darurat. Wawasan Psikologi. Diunduh dari http://nyoozee.com.