ISSN 2477-1686
Vol.4 No. 23 Desember 2018
Menghadapi Urbanisasi
Oleh
Melok Roro Kinanthi
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Setelah beragam keriaan, silaturahim, dan mudik, fenomena terkait Hari Raya berikutnya yang terjadi adalah gelombang urbanisasi. Fenomena urbanisasi dapat terjadi kapan pun, sepanjang kota atau daerah tujuan dinilai menyajikan daya tarik berlimpah dan desa atau daerah asal dianggap sarat dengan berbagai keterbatasan yang semakin menguatkan faktor pendorong. Meski demikian, fenomena urbanisasi menjadi sedemikian mencolok setelah Hari Raya. Berbagai kebijakan untuk menghadapi arus urbanisasi diterapkan oleh pemerintah daerah tujuan, tak terkecuali Jakarta sebagai salah satu daerah tujuan urbanisasi. Jika pada masa sebelumnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan kebijakan memulangkan pendatang yang tidak punya pekerjaan dan tidak punya tempat tinggal atau melakukan operasi Yustisi, maka kini Pemprov DKI Jakarta mengusung kebijakan yang lebih ‘ramah’ pendatang, yakni memberikan mereka modal berupa ketrampilan kerja.
Kebijakan Ramah Pendatang
Seperti yang diberitakan harian Kompas 13 Juni 2018 lalu, Pemprov DKI Jakarta akan menyiapkan pelatihan ketrampilan bagi pendatang baru yang diperkirakan berjumlah 72.123 orang. Tujuan pemberian pelatihan tersebut adalah supaya para pendatang baru tersebut memiliki ketrampilan yang nantinya akan digunakan sebagai modal untuk bertahan hidup di Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, mengatakan Ibukota Republik Indonesia ini terbuka bagi setiap orang.
Kebijakan yang diambil oleh Pemprov DKI Jakarta pada tahun ini dapat digolongkan sebagai kebijakan yang lebih ramah pendatang bila dibandingkan masa pemerintahan sebelumnya. Gubernur DKI Jakarta dekade 1960, Soemarno Sostroatmojo, menyatakan Jakarta sebagai kota tertutup bagi para pendatang. Mereka yang tak memiliki pekerjaan dilarang masuk ke Jakarta. Kebijakan ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Sementara itu, Gubernur Sutiyoso cenderung melunak, yakni dengan melemparkan wacana adanya pembatasan penduduk Jakarta. Dalam hal ini, muncul wacana untuk menerbitkan peraturan daerah yang mengatur persyaratan penduduk Jakarta, misalnya memiliki tempat tinggal atau pekerjaan tetap. Adapun Gubernur Djarot Saiful Hidayat meminta pendataan warga pendatang, dimana mereka yang tidak memiliki identitas resmi diminta untuk kembali ke daerah asal, setelah sebelumnya dibina di panti sosial DKI Jakarta (Detik.com, 4 Juli 2017).
Beban Kota Bertambah
Kebijakan ramah pendatang yang diusung oleh Pemprov DKI Jakarta seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, hal itu dapat memberikan kesempatan pada penduduk daerah untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik dengan bekerja di Jakarta. Dalam sejarahnya, kemajuan kota Jakarta turut ditopang oleh andil para pendatang dari daerah. Meski demikian, di sisi lain, kebijakan ramah pendatang ini berpotensi menambah beban kota.
Laju urbanisasi berpotensi besar meningkatkan kepadatan penduduk kota. Mantan Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, dalam suatu kesempatan pernah mengatakan tingkat kepadatan penduduk Jakarta telah melampaui batas ideal. Menurut data yang dilansir oleh Biro Pusat Statistik (seperti yang dilansir situs Kumparan.com, 24 Januari 2018), jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2017 adalah sebesar 10,37 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 15.663 jiwa per kilometer. Jumlah penduduk ini akan terus bertambah seiring masuknya pendatang baru ke Jakarta. Jumlah pendatang baru yang ‘menyerbu” Jakarta tahun ini diperkirakan mencapai 72.123 jiwa. Padahal idealnya, jumlah penduduk Jakarta adalah 7,5 juta jiwa (Beritasatu.com, 3 Juli 2017). Tingkat kepadatan penduduk yang melebihi batas ambang dapat meningkatkan beban kota, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan fisik maupun psikologis penduduknya. Potensi resiko yang muncul akibat terlalu padatnya penduduk adalah masalah sanitasi, pemukiman, transportasi, ruang gerak, “persaingan” dalam mengakses sumber daya antara penduduk lokal dengan pendatang, hingga masalah sosial seperti gesekan antar masyarakat atau kriminalitas. Solusi pemberian ketrampilan bagi pendatang cenderung menyederhanakan persoalan urbanisasi menjadi terkait dengan lapangan kerja atau aspek ekonomi semata. Padahal, urbanisasi rentan menimbulkan persoalan lain yang lebih luas, seperti aspek sosial-budaya, kesehatan, atau keamanan. Adanya beragam resiko tanpa diimbangi faktor protektif yang memadai dapat memengaruhi daya lenting kota dalam menghadapi berbagai tantangan ke depannya. Pemprov DKI Jakarta perlu memastikan kesiapan dan kapasitas kota sebelum dengan ramah menyambut para pendatang. Jangan sampai hal tersebut menambah beban kota dan beban kerja pemerintah provinsi.
Program pemberian ketrampilan bagi pendatang tidak lantas menyelesaikan masalah pengangguran yang biasanya mengiringi fenomena urbanisasi. Tanpa adanya program lanjutan yang berkesinambungan (seperti memastikan tersedianya lapangan pekerjaan, penyaluran kerja, pendampingan atau pemberian modal usaha) dan hanya sekedar memberikan ketrampilan kerja saja, maka penyerapan tenaga kerja akan tersendat-sendat, bahkan dapat menambah jumlah pengangguran. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta perlu mempertimbangkan keberadaan pengangguran yang telah ada sebelumnya di Jakarta, yang mungkin akan ikut terdampak oleh adanya pendatang. Dengan adanya urbanisasi, maka semakin memperketat tingkat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan antara pengangguran yang sudah ada dengan pendatang (baru) yang mencari pekerjaan.
Daerah Asal
Urbanisasi dapat terjadi karena adanya faktor penarik dari daerah tujuan dan faktor pendorong dari daerah asal (Adi, Istiyani, & Widjajanti, 2017). Kota Jakarta, masih dianggap sebagai daerah yang memiliki daya penarik yang besar, apalagi dengan adanya kebijakan pemberian ketrampilan bagi para pendatang. Sebenarnya, jika ditilik lebih jauh, daya tarik daerah tujuan urbanisasi (kota) yang sedemikian besar dapat menjadi ancaman bagi daerah asal (desa). Salah satu ancaman yang dapat terjadi adalah terkait ketersediaan tenaga kerja. Daerah asal akan semakin kekurangan tenaga kerja produktif seiring laju urbanisasi angkatan kerja usia produktif ke daerah tujuan (kota). Selain itu, persebaran tenaga kerja skilled dengan unskilled menjadi tidak merata. Daerah tujuan (kota), seperti Jakarta, memiliki lebih banyak tenaga kerja terlatih (apalagi dengan adanya program pemberian ketrampilan kerja), sementara daerah asal (desa) cenderung memiliki tenaga kerja kurang atau tidak terlatih. Terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga kerja usia produktif menyulitkan daerah asal dalam menemukan sumber daya manusia untuk mengelola dan mengoptimalkan berbagai potensi atau sumber daya yang dimilikinya. Kebijakan yang dibuat oleh daerah tujuan terkait urbanisasi kiranya tidak kontraproduktif dengan program atau upaya membangun dan memajukan daerah asal.
Sinergi
Urbanisasi merupakan fenomena yang dapat terjadi setiap saat, bukan hanya saat tertentu saja seperti setelah Hari Raya. Dengan demikian, upaya untuk menangani hal tersebut seyogyanya bersifat jangka panjang, berkesinambungan, dan komprehensif. Selain itu, upaya yang dilakukan semestinya sinergis dengan melibatkan pemerintah daerah asal. Selama ini, penanganan urbanisasi cenderung menitikberatkan pada upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah tujuan, termasuk Pemprov DKI Jakarta. Seyogyanya perlu ada keseimbangan peran antara pemerintah daerah tujuan dengan pemerintah daerah asal urbanisasi. Pemerintah daerah tujuan dapat berupaya dengan cara meminimalisir faktor-faktor yang menjadi daya tarik urbanisasi, misalnya dengan memperketat persyaratan pendatang. Sementara itu, pemerintah daerah asal dapat berupaya mengurangi faktor-faktor yang mendorong terjadinya urbanisasi, misalnya dengan lebih giat memberdayakan penduduk daerah atau membangun daerah. Selain antar pemerintah daerah, sinergi dapat dilakukan dengan instansi pemerintah lainnya, seperti lintas kementerian.
Referensi
Adi, S., Istiyani, N., & Widjajanti, A. (2017). Faktor pendorong dan penarik penduduk migran kota Bekasi ke Jakarta. E-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, IV(1), 79-82.
Urbanisasi dari Masa ke Masa, diunduh dari https://news.detik.com/kolom/3547270/urbanisasi-dari-masa-ke-masa, pada 19 Juni 2018.
Berapa Jumlah Penduduk Jakarta Sekarang?, diunduh dari https://kumparan.com/galaberita-com/berapa-jumlah-penduduk-jakarta-sekarang, pada 19 Juni 2018.
Pendatang Membanjir, Jakarta Mendekati Titik Kritis. diunduh dari http://www.beritasatu.com/jakarta/439572-pendatang-membanjir-jakarta-mendekati-titik-kritis.html, pada 19 Juni 2018.