ISSN 2477-1686

Vol.4 No. 23 Desember 2018

Liputan Seminar KPIN

Jujur vs Bohong dalam Perspektif Psikologi

 

Oleh

Abu Bakar Fahmi dan Subhan El Hafiz

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah HAMKA

 

Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) bekerja sama dengan Universitas Bunda Mulia mengadakan seminar dengan tema "Bohong vs Jujur: Perspektif Psikologi" yang diadakan di kampus Universitas Bunda Mulia Jakarta pada Jumat, 30 November 2018. Ada dua narasumber dalam seminar ini, yakni Dr. Yulmaida Amir, M.A., Psikolog dan Garvin, M.Psi., Psikolog. Bu Mai, begitu beliau biasa disapa, yang adalah Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, membahas tentang perilaku menolong dalam tinjauan religiusitas. Sementara mas Garvin, dosen psikologi Universitas Bunda Mulia, membahas tentang perilaku curang dalam tinjauan psikologi. Hadir sebagai peserta dosen dan mahasiswa dari berbagai kampus anggota KPIN. Namun demikian, mahasiswa kampus tuan rumah tampak memadati kursi ruangan.

 

Dalam paparannya, Bu Mai menyampaikan pentingnya berlaku jujur dari perspektif nilai dan agama. Beberapa penelitian yang dipaparkan bu May menunjukkan bagaimana kejujuran dianggap sebagai salah satu nilai yang bersifat universal dan menjadi keunggulan karakter seseorang. Kejujuran juga mempunyai sumbangan terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Uniknya, perasaan tertentu justru membuat seseorang memilih berbohong, yaitu compassion yang memiliki korelasi seseorang memilih berbohong untuk kebaikan.

 

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Mas Gavin. Beliau mengawali dengan keresahan bahwa banyak tema-tema yang seharusnya dikaji oleh ilmuwan psikologi diulas oleh ahli bidang lain. Seorang jurnalis New Yorker Malcolm Gladwell, untuk menyebut satu di antaranya, terkenal dengan banyak buku laris yang membahas beragam tema psikologi.

 

Terkait pandangan psikologi tentang berbohong, beliau menemukan kajian mendalam tentang perilaku berbohong yang dilakukan oleh Dan Ariely, seorang ilmuwan psikologi sekaligus ekonomi dalam bukunya The (Honest) Truth about Dishonesty (2012). Buku tersebut membahas tentang pandangan dan berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariely dan koleganya tentang perilaku berbohong.

 

Menurut Ariely, salah satu konsep tentang alasan orang berbohong adalah apa yang disebut Simple Model of Rational Crime (SMORC). Gavin menjelaskan bahwa orang berbohong karena alasan yang bersifat rasional, yakni dengan mempertimbangkan apa manfaat atau keuntungan yang diperoleh, dan sejauh mana resiko yang ditanggung jika tindakan berbohongnya ketahuan.

 

Ariely dan koleganya melakukan eksperimen untuk membuktikan sejauh mana SMORC menjelaskan alasan orang berbohong. Partisipan duduk dalam suatu ruangan dan diberi selembar kertas berisi 20 matriks yang berbeda (lihat gambar). Pada tiap-tiap matriks, partisipan diminta menemukan dua nomor yang jika ditambah berjumlah 10. Hanya disediakan waktu 5 menit bagi partisipan untuk menyelesaikan sebanyak mungkin tugas menjumlahkan tersebut dan mereka akan mendapat sejumlah uang (50 sen) untuk setiap jawaban yang benar. Setelah menyelesaikan tugas tersebut, partisipan menyerahkan lembar tugas matriks kepada peneliti untuk dikoreksi dan mendapat imbalan sesuai jawaban yang benar.

 

Kelompok partisipan yang mendapat perlakuan tersebut merupakan kondisi kontrol, sementara sejumlah partisipan lainnya berada dalam kondisi shredder di mana, setelah menyelesaikan tugas matriks, mereka disilakan menghitung jumlah jawaban yang benar, lalu lembar tugas dimasukkan ke mesin penghancur kertas yang ada di belakang ruangan, kemudian menemui peneliti untuk menyampaikan berapa jawaban yang benar. Dalam kondisi ini, partisipan punya kesempatan untuk bertindak curang.

 

Hasilnya menunjukkan partisipan yang berada dalam kondisi kontrol rata-rata menjawab benar sebanyak 4 matriks, sementara dalam kondisi shredder sebanyak 6 matriks. Jadi, jika partisipan punya kesempatan untuk berbuat curang, mereka akan melakukannya.

 

Mas Garvin bertanya kepada peserta, bagaimana jika imbalannya lebih besar, apakah mereka akan semakin curang? Kalau menurut SMORC harusnya ya karena orang akan mencari untung sebanyak-banyaknya. Menurut penelitian Ariely, jika imbalan semakin besar (dari 50 sen, 1 dolar, 2 dolar, 5 dolar sampai 10 dolar) tingkat kecurangan tidak semakin tinggi tapi justru menurun.

 

Mas Garvin menambahkan bahwa penelitian tentang kebohongan juga menunjukkan peran penting ajaran agama (misalnya Sepuluh Perintah Tuhan) terhadap tindakan berbohong. Sebagaimana prosedur penelitian Ariely di atas, dengan lebih dulu diingatkan tentang Sepuluh Perintah Tuhan, partisipan tidak berbuat curang meski ada kesempatan untuk melakukannya. Temuan yang sama didapat jika partisipan, yang adalah mahasiswa, diingatkan tentang honor code yang berlaku di kampusnya.

 

Mas Garvin bertanya kepada peserta, jika di meja ada pulpen (seharga 5 ribu rupiah) dan uang 5 ribu rupiah, apa Anda mau mengambil pulpen atau uang 5 ribu rupiah? Menurut mas Garvin, kebanyakan kita akan memilih mengambil pulpen daripada mengambil uang 5 ribu rupiah. Kita berbuat curang namun kita lebih memilih tindakan curang yang masih menjaga konsep diri kita. "Saya tidak akan mengambil uang karena saya bukan pencuri atau tidak mau disebut pencuri."

 

Mas Garvin juga menjelaskan faktor kelelahan (depletion) terhadap tindakan berbohong. Jika kita merasa lelah, kita cenderung mudah untuk berbohong. Beliau juga menjelaskan tentang what the hell effect, di mana sekali berbohong kita akan terus berbohong, seperti halnya orang yang berjanji ingin diet tapi karena suatu hari ia melanggar dengan terlanjur makan makanan yang jadi pantangan, ia jadi keterusan makan banyak makanan.

 

Usai pemaparan para narasumber, peserta tampak antusias bertanya. Panitia memberikan kesempatan dua termin pertanyaan yang tiap termin tiga penanya, dan dimanfaatkan dengan baik oleh peserta. Beberapa pertanyaan peserta misalnya, bagaimana lirik mata dan lie detector dapat mengetahui kebohongan; bagaimana cara agar tidak dibohongi orang lain; apakah orang yang berbohong berpengaruh terhadap konsep dirinya; dan sebagainya. Karena keterbatasan tempat, jawaban narasumber tidak diulas di sini.

 

Demikian ulasan seminar KPIN kali ini. Sampai jumpa di acara KPIN berikutnya.