ISSN 2477-1686
Vol.4. No.21 November 2018
Pantaskah Kami Dilecehkan?
Oleh
Safira Prabandani dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Mahasiswa dan Dosen Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya
Pelecehan seksual adalah bentuk pelecehan di mana pekerjaan atau kinerja pekerjaan seseorang bersyarat dan bergantung pada hubungan seksual yang tidak diinginkan (atau disebut juga pelecehan quid pro quo). Orang lain melakukan perilaku seksual dengan berbagai cara, termasuk seperti mem-posting materi pornografi yang secara tidak wajar mengganggu kinerja kerja. Cara lain adalah menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman. Di Amerika Serikat, sekitar 15 persen pelecehan seksual disebut-sebut sebagai disebabkan oleh pria. Hal tersebut dicoba dijawab dengan pelatihan sensitivitas dan tindakan manajemen terpadu untuk mengatasi masalah pelecehan (McShane & Von Glinow. 2010).
Asmasasmita (dalam Sumera, 2017( menyebutkan bahwa kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional melainkan masalah semua negara di dunia atau global. Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan adanya sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.
Pada tempat kerja, pelecehan seksual yang dilakukan secara implisit ataupun eksplisit dapat mengganggu kinerja. Selain itu, pelecehan seksual dapat menyebabkan timbulnya intimidasi, permusuhan, serta penghinaan dalam lingkungan kerja. Korban pelecehan seksual mencakup laki-laki dan perempuan, yang belakangan terbilang lebih sering jadi korban. Ketika perempuan menjadi korban, muncul rasa malu dan dilema dalam dirinya. Dilema yang ia hadapi adalah memilih untuk diam atau angkat bicara atas pelecehan yang dialaminya.
Akibatnya di tempat kerja, korban cenderung diam. Hal ini dilakukan karena korban takut aduannya berpengaruh terhadap kondisi kerja. Sebagai contoh, ia kuatir akan dipecat atau ditambahi beban kerjanya. Selain itu, anggapan orang lain berpotensi membuat korban semakin terpuruk karena peristiwa pahit yang dialami malah diklaim sebagai ajang mencari perhatian di tempat kerja.
Salah satu kasus pelecehan seksual yang diangkat di Indonesia adalah kasus buruh pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung yang diangkat dalam bentuk film dokumenter. Film berjudul ‘Angka Jadi Suara’ ini, menggambarkan kesaksian seorang buruh sebagai korban pelecehan di tempat kerjanya. Salah satu pernyataan yang disampaikan oleh korban dalam kutipan pratinjau film ini adalah bagian tubuh korban yang disentuh dengan sengaja oleh pelaku yang mempunyai kekuasaan di sana. Hal itu pun dianggap sudah biasa (Nabila. 2017).
KBN sendiri tercatat sebaga badan usaha milik negara (BUMN) dimana bukan hanya pemerintah pusat yang memiliki saham di perusahaan ini, tetapi juga Pemerintah Daerah DKI Jakarta. KBN yang tahun ini berusia 31 tahun memiliki sub-unit di Cakung, Marunda, dan Tanjung Priok - semuanya di Jakarta Utara. KBN Cakung menyewakan area kawasan ke sekitar 45 pabrik yang mayoritas adalah pabrik garmen untuk produk ekspor. Beragam merek terkenal di dunia bisa ditemui di KBN Cakung. Perusahaan pengguna KBN cakung sebagian besar dari Korea Selatan. Ada juga yang dari Taiwan dan perusahaan Indonesia. Sekitar 50.000 buruh bekerja di KBN Cakung dan hampir semuanya perempuan.
Film ‘Angka Jadi Suara’ ini mengangkat apa yang terjadi di KBN Cakung. Sepanjang September hingga Oktober 2016, ditemukan 25 buruh perempuan yang berani mengungkapkan pelecehan seksual yang mereka alami. Pelakunya bukan hanya para mekanik laki-laki, tetapi juga bagian personalia. Film ini memotret bagaimana seorang buruh perempuan takut sekali mesinnya didatangi mekanik sehingga ia berusaha dan bertekad agar tak ada kerusakan di mesinnya. Bukan karena takut dimarahi mesinnya rusak, tetapi ia takut mengalami pelecehan seksual baik verbal maupun tindakan (Nur Zuhra, 2017).
Karena pelakunya adalah atasan mereka sendiri, mereka bingung harus mengadu kemana. Pelecehan yang terjadi di tempat kerja memberikan tantangan tersendiri untuk diselesaikan. Pelaku pelecehan yang cenderung memiliki kekuasaan lebih, memberikan rasa takut bagi korban atau saksi lainnya untuk bicara.
Apabila terus dibiarkan, pelecehan seksual yang terjadi pun akan dianggap wajar. Selain itu, keinginan untuk melanjutkan ke proses hukum bukan perkara yang mudah (Nabila, 2017). Oleh karena itu, segala bentuk pelecehan seksual, terutama di tempat kerja, perlu mendapatkan perhatian dari kita semua. Kita semua perlu berperan untuk menghentikan hal ini.
Referensi
McShane, S. L & Glinow, M. A. V. (2010). Organizational behavior (5th edition). New York: McGraw-Hill.
Nabila, Z. (2017). Pelecehan seksual: Diam atau sngkat bicara?. Diakses dari https://pijarpsikologi.org/pelecehan-seksual-diam-atau-angkat-bicara/.
Nur Zuhra, W. U. (2017). Melawan pelecehan seksual atas buruh perempuan. Diakses dari https://tirto.id/melawan-pelecehan-seksual-atas-buruh-perempuan-cn65.
Sumera, M. (2017). Perbuatan kekerasan atau pelecehan terhadap Perempuan. Diakses dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/viewFile/%201748/1389