ISSN 2477-1686

                                                                                       Vol.4. No.21 November 2018

Gangguan Perkembangan pada Anak

Oleh

Dian Ariyana

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI 

Masa kanak-kanak merupakan masa bermain yang sangat menyenangkan dan kesempatan untuk banyak melakukan eksplorasi untuk memuaskan rasa ingin tahu yang berkembang dalam diri anak. Namun demikian, beberapa anak menampakkan perilaku yang berbeda, misalnya perilaku hiperaktif dan sulit berkonsentrasi, perilaku autism dan hiperaktif ataupun Asperger Syndrome.

Saya akan mencoba menjelaskan secara singkat dan sederhana perbedaan yang dapat membedakan ketiga perilaku tersebut. Pertama adalah ADHD (Attention Deficit and Hiperactivity Disorder) yaitu gangguan yang didominasi perilaku tidak mau diam (hyperactivity) serta kesulitan konsentrasi.  Kedua adalah Autism yaitu perilaku gangguan perkembangan yang didominasi perilaku kemunduran dalam kemampuan berbicara, terjadi sebelum usia 3 tahun (36 bulan) serta keengganan melakukan kontak mata dan interaksi dengan orang lain di sekitarnya.  Ketiga adalah Asperger Sydrom, yaitu termasuk spectrum autism, atau autism ringan namun masih mau berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain di sekitarnya. Secara umum demikianlah perilaku dominan yang dapat membantu kita mengidentifikasi gangguan perkembangan serta intervensi yang dapat disarankan kepada orangtua.

Ketika anak anda dinyatakan menderita salah satu dari ketiga gangguan di atas, apa yang harus dilakukan? Di Indonesia, peran keluarga dalam menghadapi problem kesehatan jiwa dan fisik sangat penting. Peran keluarga inti mau pun keluarga besar dalam mendampingi pasien melalui saat-saat sulit dan kritis sangat membantu secara positif dan signifikan (Kartasasmita, 2016). Ketika sudah berbicara tentang intervensi, maka kita akan melihat kasus per kasus secara unik. Masing-masing anak harus diobservasi secara tersendiri dan dilihat kebutuhan terapi apa yang dapat membantu mengoptimalkan perkembangannya. Misalnya pada kebanyakan kasus Autisme, klien mengalami kemunduran kemampuan berbicara. Artinya tadinya klien sudah mulai dapat mengucapkan sepatah dua patah kata, namun kemudian kemampuan tersebut tampak menghilang dan kembali banyak menggunakan bahasa isyarat untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Pada kasus semacam ini, maka klien membutuhkan bantuan terapis wicara dan perlu dukungan anggota keluarga terdekat agar rajin memaksakan klien untuk mengucapkan kata yang dimintanya sebelum memberikannya. Dengan demikian klien belajar bahwa di Dunia Bicara seperti dunia kita manusia, tidak ada tempat bagi orang yang malas berbicara. Setelah itu klien membutuhkan terapi perilaku agar mengetahui apa yang perlu dipelajarinya dalam berinteraksi dengan orang lain di dunia ini.

Pada kebanyakan kasus ADHD, klien perlu diberikan kegiatan bersifat fisik yang dapat menguras energy psikis yang berlebihan dalam diri klien, misalnya mengikuti les berenang bersama pelatih. Terdapat dua keuntungan yang diperoleh dengan aktivitas seperti berenang, yaitu menguras energy fisik dan psikis yang berlebihan dalam diri klien sehingga tidak ada keinginan lagi dalam diri klien untuk mencari-cari kegiatan lain yang dapat mengganggu teman dan orang lain di sekitarnya. Selain itu kegiatan tersebut dapat menjadi kegiatan berujung prestasi yang dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri klien. Sedangkan pada kasus Asperger Syndrome, orang tua perlu jeli dalam menemukan aktivitas yang menjadi kelebihan atau bakat yang dapat dikembangkannya. Ketika klien menunjukkan kesukaan terhadap suatu kegiatan, coba ikuti. Jika kegiatan tersebut masih menyenangkan bagi klien setelah mengikuti selama minimal 2 bulan. Maka hal itu menunjukkan area minatnya yang layak untuk coba dijajaki dan diperdalam.

Memiliki anak dengan kondisi berkebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah, membutuhkan kerja keras, dana yang tidak sedikit, lelah fisik dan psikis. Namun bagaimanapun kondisi anak, mereka tetaplah amanah yang dititipkan Sang Maha Kuasa kepada orangtuanya. Anak-anak special yang hanya dititipkan kepada orangtua special yang menuntut kerja keras dan usaha keras serta jangan pernah lepas meminta pertolongan dan doa kepada Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak karena hanya atas kehendak-Nya lah anak istimewa tersebut dititipkan kepada orang tua yang istimewa. Tidak ada hal yang tidak terencana dalam skenario Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang kebetulan pasti ada tujuannya. Ketika Yang Maha Kuasa menciptakan mahluk ada rezeki yang menyertainya.

Selain itu, orang tua pun perlu memberikan contoh dan teladan perilaku yang dapat dilihat dan diikuti oleh anak-anak berkebutuhan khusus, missalnya denga memberikan contoh tingkah laku bertaggung jawab, bersyukur dan rajin melaksaakan ibadah dalam setiap aspek kehidupan mereka serta banyak melibatkan anak, minta pendapatnya, melakukan aktivitas berkualitas bersama-sama, dan sebagainya. 

 

Referensi:

Kartasasmita, A. N. (2016). Keluarga dan Kesehatan Mental. Buletin KPIN Vol.2. No.6, Maret. http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/64-keluarga-dan-kesehatan-mental.