ISSN 2477-1686

 

 

                                                                                       Vol.4. No.20 Oktober 2018

Haters dan Dunianya

Oleh:

Devi Jatmika

Program Studi Psikologi Universitas Bunda Mulia

Fenomena “Haters” dalam Media Sosial

Bullying, tawuran, perkelahian antar geng, demonstrasi massa menunjukkan ekspresi rasa marah dengan kelompok tertentu. Perilaku ini sangat mengkhawatirkan karena dapat ditemui pada anak-anak hingga orang dewasa. Di era digital ini, perilaku agresi secara verbal juga ditemui dengan mudah dalam media sosial. Penggunaan media sosial saat ini menjadi fenomena luas terutama di Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan We Are Social, perusahaan media Inggris, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Di tahun 2018, Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia dalam hal waktu yang dihabiskan dalam media sosial setelah Filipina dan Brazil. Laporan lainnya “Essential Insights Into Internet, Social Media, Meobile and E- Commerce Use Around The World” di tahun 2018 dari total populasi Indonesia sebanyak 265, 4 jiwa, pengguna aktif media sosial mencapai 130 juta (Pertiwi, 2018).

Kegiatan dalam media sosial juga beragam, sebagian orang menggunakan untuk update berita terkini, menjaga kontak dengan teman-teman lama, mencari teman-teman baru, menyebarluaskan informasi, dan sebagainya. Sayangnya, dengan perkembangan dan kemajuan teknologi internet ini seringkali dimanfaatkan untuk update status, menonjolkan diri atau saling menimpali komentar atau foto orang lain baik yang dikenal maupun tidak dikenal. Kasus-kasus betapa komentar pedas dari para netizen terhadap seseorang memunculkan istilah “Haters” tidak saja dialami oleh para artis terkenal di akun Instagram mereka, presiden bahkan seorang anak yang dirundung oleh netizen dalam media sosial karena “Tik-tok Challenge”, orang yang tidak terkenal sekalipun bisa menjadi terkenal karena korban “Haters”.  Di dunia politik, kelompok-kelompok pembenci di dunia maya dengan sengaja menyebarluaskan kebencian untuk kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Peristiwa terbaru yang menyayat hati adalah peristiwa pengeroyokan oleh supporter Bobotoh yang menewaskan seorang supporter Persija.

Tujuh Tahap Membenci

Haters” secara harafiah berarti sekumpulan orang yang membenci. Orang-orang yang membenci ini merupakan orang-orang yang memiliki perasaan tidak aman (insecure), tetapi tidak semua orang insecure adalah “Haters”. Schafer (2011) mengemukakan tujuh tahap model menjadi “Haters”.

1.    Tahap 1: Para “Haters” Berkumpul

Para Haters jarang sekali sendiri. Mereka lebih terdorong dan berusaha agar orang lain juga turut berperilaku membenci seperti dirinya. Validasi dari rekan, teman sebaya, teman sekelompok memberikan perasaan bahwa dirinya berharga dan pada saat yang sama menjauh dari perilaku instropeksi. Dengan berkelompok muncullah perasaan anonimitas dan kurang rasa tanggungjawab.

2.    Tahap 2: Kelompok “Haters” Menunjukkan Dirinya

Kelompok pembenci mengidentifikasi mereka dengan simbol, ritual yang akan meningkatkan status sebagai anggota Pembenci.

3.    Tahap 3: Kelompok “Haters”  Merendahkan Targetnya

Rasa benci yang mengikatkan para pembenci satu sama lainnya. Dengan mengeluarkan kalimat-kalimat kebencian yang merendahkan, meningkatkan citra diri haters dan status kelompoknya.

4.    Tahap 4: Kelompok “Haters”  Mengejek Target

Haterss meningkatkan tingkat kejahatan dengan mempertahankan provokasi dan hasutan. Ejekan dan gestur menghina semakin meningkat untuk mencapai tujuannya.

5.    Tahapp 5: Kelompok “Haters”  Menyerang Target tanpa Senjata

Tahap ini adalah tahap kritis. Kelompok pembenci menjadi lebih agresif, mencari target yang lebih lemah.  Pikiran-pikkiran dan perilaku-perilaku memicu yang memicu kemarahan menimbulkan repons kejahatan.

6.    Tahap 6: Kelompok “Haters”  Menyerang dengan Senjata

Haters lebih memilih senjata seperti batu, pecahan kaca, benda tumpul. Tipe-tipe senjata ini merupakan senjata jarak dekat dengan korban, yang menggambarkan kedalaman rasa marah.

7.    Tahap 7: Kelompok “Haters”  Menghancurkan Target

Pembenci merasa ia memiliki kuasa atas target, sehingga menimbulkan perilaku kejahatan yaitu upaya untuk menghilangkan target. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kualitas nilai-nilai yang dimiliki oleh kelompok pembenci. Dengan berperilaku jahat terhadap target menunjukkan keberhargaan diri yang sebenarnya tidak ia miliki.

Dampak Menjadi “Haters” di Media Sosial

Menjadi bagian dari kelompok, mengakibatkan deindividuasi yaitu penurunan batasan atau standar normal terhadap perilaku ketika individu tidak dikenali (Irmawati & Purba, 2018). Hasil penelitian yang ditemukan oleh Robert Watson (dalam Irmawati & Purba, 2018) menunjukkan bahwa deindividuasi juga dapat mengarah pada tindakan yang tidak terkendali dan impulsif  serta mengandung kekerasan. Hal ini dapat terjadi karena individu mengenali dan menyadari bahwa individu lain di dalam kelompok akan turut disalahkan sehingga mereka akan merasa kurang bertanggungjawab atas tindakan mereka. Deindividuasi juga dapat terjadi tanpa kontak tatap mata secara langsung atau interaksi fisik. Melalui internet, anonimitas mendukung unculnya deindividuasi, yang mana individu merasa nyaman dan tidak merasa bertanggungjawab atas kalimat-kalimat yang diutarakan di media sosial, karena identitasnya yang tidak teridentifikasi secara jelas (Lee dalam Irmawati & Purba, 2018).

Seseorang merasa nyaman dengan menjadi bagian dari kelompoknya (in-group) dan melihat orang lain di kelompoknya sebagai orang yang berbeda dari kelompoknya (out-group), menjadikan individu diharapkan dapat beradaptasi dengan konflik kelompok.  Manusia dengan akal yang dimilikinya, mempelajari bilamana kelompok lain adalah musuh. Ada tiga logika pembelajaran, yaitu: 1). Jika ada anggota dari out-group menyerang kami, maka dia adalah musuh; 2) Jika ada salah satu anggota dari in-group yang disakiti oleh anggota lain dari out-group, maka dia adalah musuh; 3) Jika anggota dari kelompok kita (in-group) tidak mennyukai atau membenci kelompok lain (out-group), maka mereka adalah musuh. Logika berpikir ini membuat seseorang mengidentifikasi sumber-sumber serangan yang aan menyerang dirinya atau kelompoknya (Michener, 2012). Pada level individu, akan mengantisipasi seseorang atas adanya bahaya. Sedangkan pada level kelompok, dasar logika berpikir tersebut membuat mereka mempertaahakan lingkaran kejahatan.

Pada dasarnya, untuk melawan siklus rasa benci dan memisahkan seseorang karena ia berada di kelompok lain adalah dengan melawan rasa benci dengan cinta dan kasih sayang. Perilaku-perilaku yang menunjukkan kebencian hingga memunculkan tindakan kejahatan hendaknya tidak ditolerir, namun bukanpula dibalas dengan kebencian dan dendam. Perlunya partisipasi dari seluruh masyarakat untuk menyebarkan hal-hal positif, kedamaian dan  menujukkan perilaku kasih sayang untuk melawan virus-virus kebencian. Perlu diingat pula, perilaku-perilaku dan kalimat-kalimat dari haters bukan penentu bagi kedamaian dan kebahagiaan diri kita.

Referensi 

Irmawati & Purba, R. M. (2018). Proses kelompok: Pengaruh dalam kelompok sosial. Dalam Ardiningtiyas, P., Abidin, Z., & Milla, M. N (Ed.), Psikologi Sosial: Pengantar dalam Teori dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Michener, W. (2012). The Individual Psychology of Group Hate. Journal of Hate Studies,10(1), 15-48. Diunduh dari http://journals.gonzaga.edu/index.php/johs/article/view/177.

Pertiwi, W. K. (2018, Maret). Riset ungkap pola pemakaian medsos orang indonesia. Tekno Kompas. Diunduh dari https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-pemakaian-medsos-orang-indonesia.

Schafer, J. (2011, Maret).  The seven-stage hate model: The Psychopathology of hate. Psychology Today. Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/let-their-words-do-the-talking/201103/the-seven-stage-hate-model-the-psychopathology-hate