ISSN 2477-1686

                                                                                       Vol.4. No.18 September 2018

Kenali dan Waspada Terhadap Gangguan Perilaku Seksual Menyimpang Parafilia

Oleh

Mori Vurqaniati

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

“S (inisial) seorang pria diamankan karena tertangkap sedang melakukan aksinya didalam suatu Bus. S mengaku dihadapan polisi mengesek-gesekan kelaminnya sampai mengeluarkan sperma. Ulah S diketahui korban D ketika spermanya mengenai celana jeans yang digunakan korban” (https://news.detik.com/berita/1639616/polisi-amankan-pria-yang-gesek-gesek-alat-kelamin-di-bus). Cuplikan berita ini tentu sangat mengkhawatirkan karena tak jarang dapat menimbulkan ketakutan mendalam bagi korban. Berbicara mengenai perilaku seksual kita tak akan lepas dari konsep normal dan abnormal yang sangat erat dipengaruhi oleh sosiokultural. Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain, menyebabkan distres personal atau mempengaruhi seseorang untuk berfungsi secara normal.

Parafilia diambil dari bahas Yunani yang artinya “para” artinya pada sisi lain/deviasi dan “philos” mencintai. Dalam DSM-IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Fantasi, dorongan atau perilaku harus berlangsung setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan hendaya signifikan (Nevid, 2005).

Berikut adalah beberapa jenis serta ciri-ciri perilaku seksual menyimpang parafilia:  

Ekshibisionisme adalah suatu dorongan kuat dan berulang untuk menunjukkan alat genital pada orang tak dikenal secara tiba-tiba, dengan tujuan agar korban terkejut atau terangsang secara seksual. Orang tersebut bermasturbasi sambil menunjukkan alat genitalnya (sebagian besar kasus pada pria). Sasaran korbannya hampir selalu wanita. Secara umum eksibisionis adalah orang yang tidak matang mendekati lawan jenis dan kesulitan dalam hubungan interpersonal.

Fetishisme adalah suatu dorongan seksual yang kuat dan berulang membangkitkan fantasi seksual dengan objek tidak hidup, seperti bra, celana dalam dan sejenisnya. Mereka sering mengalami kepuasaan seksual melalui masturbasi sambil membelai, mengosok-gosokan, mencium objek tersebut.

Voyeurisme biasanya pada pria yang tanpa sengaja memiliki dorongan yang kuat dan terus-menerus untuk melihat seorang perempuan atau orang yang tak dikenal yang sedang tidak berpakaian, membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas seksual tanpa disadari oleh perempuan tersebut.

Froterisme ciri utamanya adalah adanya dorongan fantasi seksual yang kuat secara persisten dengan menggosok-gosokan atau menyentuh tubuh korban tanpa ijin, biasanya terjadi pada tempat-tempat ramai, seperti di dalam kereta api, bus atau lift.

Pedofilia ciri utamanya adalah dorongan yang kuat dan berulang serta adanya fantasi aktivitas seksual dengan anak-anak yang belum puber.

Masokisme seksual adalah suatu dorongan membiarkan dirinya disakiti oleh pasangan. Pada sejumlah kasus masokisme seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada rasa sakit atau malu. Pada sejumlah kasus, masokisme melibatkan situasi mengikat diri pada saat masturbasi, pasangan diminta memukul dan mencambuk. Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia dimana subjek merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi oksigennya misalnya menggunakan jerat, kantung plastik.

Sadisme seksual adalah suatu dorongan dimana subjek mendapatkan kepuasan seksual dengan menyakiti pasangan, melibatkan fantasi yang kuat serta berulang di mana seseorang dapat terangsang secara seksual dengan melakukan penderitaan fisik atau rasa malu pada orang lain.

Parafilia jenis lainnya diantaranya nekrofilia yakni dorongan atau fantasi seksual dengan mayat, zoofilia yaitu dorongan seksual atau fantasi seksual dengan binatang (Davison, 2006 & Nevid, 2005).

Etiologi Gangguan Perilaku Seksual Menyimpang Parafilia

Perseptif psikodinamika mengungkapkan adanya hambatan/fiksasi di tahan pre-genital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang memiliki parafilia menghindari kecemasan ini dengan memindahkan rangsangan seksual pada aktivitas yang lebih aman, sebagai contoh: pakaian dalam. Masokisme adalah cara untuk mengatasi perasaan tentang seks yang saling bertentangan, seseorang merasa bersalah akan perilaku seksual, tetapi mampu untuk menikmatinya sepanjang ia dihukum karena melakukan itu.

Perspektif behavioristik berkaitan observational learning. Sejumlah objek atau aktivitas secara tidak sengaja dihubungkan dengan rangsangan seksual. Pengkondisian secara sengaja menghubungkan dengan gairah seksual yang tidak tepat.

Perspektif biologis melihat karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia laki-laki, terdapat spekulasi bahwa hormon androgen, hormon utama pada laki-laki, berperan dalam gangguan ini. Berkaitan dengan otak, disfungsi pada lobus temporalis memiliki relevansi pada sebagian kecil kasus sadisme dan masokisme (Davison, 2006)

Penanganan Terhadap Gangguan Perilaku Seksual Menyimpang Parafilia

Farmakologis, terapi psikoanalisa dengan mengenali karakter kepribadian pada parafilia. Terapi perilaku fokus pada aksi seksual yang tidak wajar dan mengubahnya, pelatihan keterampilan sosial, serta menghilangkan distorsi pikiran yang keliru pada penderita parafilia dengan tehnik cognitive behavior therapy  (Davison, 2006).

Referensi:

 

Davison, G.C., Neale, M.J, & Kring, M.A. (2006): Psikologi abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 

Nevid, S.J., Rathus, A.S., & Greene, B. (2005): Psikologi Abnormal Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

https://news.detik.com/berita/1639616/polisi-amankan-pria-yang-gesek-gesek-alat-kelamin-di-bus (Dibuka pada tanggal 12 September 2018)