ISSN 2477-1686
Vol.4. No.17 September 2018
My Dear Stranger
Oleh
V. Fitrisia Agustina
Fakultas Psikologi, Universitas Tama Jagakarsa
Kini pola hubungan yang bersilangan secara budaya dan agama sering kita jumpai, seiring semakin mudahnya mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat lain, apalagi Indonesia merupakan salah satu Negara yang paling majemuk di dunia sehingga interaksi sehari-hari dengan orang lain yang berbeda suku dan agama bukanlah sesuatu yang langka. Kemungkinan inilah yang terjadi pada pasangan berikut, C seorang gadis suku Aceh beragama Islam bertemu R seorang pemuda keturunan Tionghoa beragama Kristen dalam sebuah pekerjaan yang menuntut mereka untuk bekerjasama, seiring berjalannya waktu hubungan profesional yang terjalin berubah menjadi hubungan cinta. Dengan kesadaran penuh akan segala perbedaan dan label yang melekat pada diri masing-masing akhinya mereka memutuskan untuk berpacaran. Hubungan cinta atau pernikahan heterogen semacam ini terutama yang dibangun di atas dua pilar agama menyisakan masalah karena ajaran agama melarang. Masalah tersebut antara lain negara hanya melegalkan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang seagama, membutuhkan penyesuaian diri dan sosial, biasanya juga akan ditentang oleh keluarga serta mendapat tekanan sosial.
Situasi yang dihadapi sedemikian rumit, tetapi ada saja pasangan yang bertahan dan memilih tetap berada di dalam hubungan heterogen tersebut. Hal ini dapat terjadi karena menurut Hollingshead dalam pemilihan pasangan seseorang mempunyai dua kecenderungan, ada yang memilih karena adanya persamaan ada pula karena adanya perbedaan, perbedaan yang ada dianggap suatu hal yang misterius dan aneh yang membawa ketertarikan. Selain itu, lingkaran sosial disekitar individu juga mempengaruhi kestabilan hubungan, ditinjau dari balance theory yang dikemukakan Heider menyatakan bahwa individu akan berperilaku sama dengan lingkungan terdekatnya misal keluarga atau teman, jadi jika hubungan yang terjalin didukung oleh keluarga atau teman maka hubungan tersebut akan terus berjalan. Selanjutnya menurut Berger dengan uncertainty reduction theory menyatakan bahwa ketika seseorang memproklamirkan mengenai hubungan cinta dan memperkenalkan pasangannya kepada keluarga dan teman kemudian mendapat feedback positif maka akan mengurangi ketidak pastian dalam hubungan tersebut, feedback yang didapatkan dapat berupa kepedulian, berbagi cerita, dan pendapat yang baik (Yahya & Boag, 2014; Yahya, Boag, Munsi, & Litvak-Hirsch, 2016). Bersikap terbuka terhadap informasi mengenai agama pasangan dan tidak menghindari pembicaraan mengenai agama masing-masing juga dapat mengurangi tingkat kekhawatiran mengenai hubungan yang ada (Reiter & Gee, 2008). Pasangan berbeda agama biasanya juga akan bersikap fleksibel dan berusaha melihat suatu perbedaan sebagai keseimbangan. Saling mengingatkan dalam beribadah, memahami dan menghargai ketika pasangan melakukan ibadah merupakan bentuk dukungan yang diberikan.
Sejauh ini C dan R dapat meredam dan mengatasi perbedaan yang ada sehingga hubungan yang terjalin dapat bertahan selama 3,5 tahun lebih dan sudah memikirkan mengenai pernikahan, namun yang harus dipikirkan selanjutnya adalah proses identifikasi sosial dari anak yang dilahirkan dari pernikahan beda agama ketika keputusan untuk menikah dengan mempertahankan keyakinan masing-masing dilakukan. Karena terbentuknya identitas sosial ditentukan oleh pengetahuan individu tetang dirinya sendiri dan juga didapat dari lingkungan sosial dimana individu berpikir dan berperilaku. Orang tua sebagai rujukan terdekat individu sangat berpengaruh terhadap pembentukan identitas. Agama sebagai salah satu identitas sosial yang membentuk self tidak sekedar mencantumkan salah satu jenis agama di kartu identitas, proses identifikasi sosial yang berlandaskan peran agama membutuhkan lebih dari pada itu, ada ritual-ritual tertentu dan praktik-praktik keagaaman yang termaktub dalam kitab suci yang harus dipahami, dilakukan dan diajarkan sejak dini kepada si anak. Situasi seperti ini patut di renungkan agar tidak terjadi kebingungan pada anak mengenai dirinya sendiri, karena identitas sosial berdasarkan agama yang kuat dapat memenuhi kebutuhan spiritual, merupakan refleksi dan self-awareness, dapat menerima bahwa dirinya berbeda dengan orang lain, menentukan keanggotan pada suatu kelompok, dan terbangunnya kepercayaan dan dukungan dari teman sebaya (Peek, 2005).
Referensi
Peek, L. (2005). Becoming Muslim: The Development of a Religious Identity. Sociology of Religion; Fall 2005; 66, 3; pg. 215-242. DOI: 10.2307/4153097
Reiter,J.M., and Gee, C.B. (2008). Open communication and partner support in intercultural and interfaith romantic relationships: A relational maintenance approach. Journal of Social and Personal Relationship. Vol. 25(4): 539–559. DOI: 10.1177/0265407508090872
Yahya, S., and Boag, S. (2014). Till Faith Do Us Part . . .: Relation Between Religious Affiliation and Attitudes Toward Cross-Cultural and Interfaith Dating and Marriage. Marriage & Family Review, 50:480–504, 2014 DOI: 10.1080/01494929.2014.909376
Yahya, S., Boag, S., Munshi, A.,and Litvak-Hirsch, T. (2016). ‘Sadly, Not All Love Affairs Are Meant To Be … ’Attitudes Towards Interfaith Relationships in a Conflict Zone.Journal Of Intercultural Studies. VOL.37, NO.3, 265–285. http://dx.doi.org/10.1080/07256868.2016.1163534