ISSN 2477-1686
Vol. 1., No. 4, Desember 2015

Oleh: Alabanyo Brebahama, M. Psi, Psikolog

Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

 

Dalam perkembangan manusia, masa dewasa merupakan saat dimana seorang individu sudah dianggap mampu untuk memikul tanggung jawab sepenuhnya sebagai anggota masyarakat. Periode tersebut umumnya dimulai semenjak individu memasuki awal usia 20 tahun hingga akhir hayatnya. Tokoh Psikologi Perkembangan, yakni: Papalia, Olds, dan Feldman (2004) pun membagi masa dewasa ke dalam tiga tahapan, yakni masa dewasa muda (antara usia 20 hingga 40 tahun), masa dewasa pertengahan (antara usia 40 hingga 60 tahun), dan masa dewasa lanjut (antara usia 60 tahun hingga akhir hayat). Pada dasarnya, setiap individu pada ketiga kelompok usia tersebut akan menghadapi tantangan yang berbeda dalam kehidupannya. Dalam artikel kali ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada masa dewasa muda.

Masa dewasa muda seringkali dianggap sebagai salah satu periode perkembangan yang cukup kritis. Sebab, periode ini merupakan masa peralihan dari tahapan remaja menuju masa dewasa yang akhirnya menimbulkan berbagai tuntutan baru, seperti: memenuhi kebutuhan hidup dan mengurus diri secara mandiri (tidak bergantung lagi pada orangtua), memiliki pekerjaan yang dapat menunjang keperluan hidup, mulai membentuk keluarga, dan sebagainya. Untuk dapat memenuhi berbagai tugas perkembangan tersebut, umumnya dibutuhkan kondisi fisik yang prima dan berfungsi normal. Namun sayangnya, tidak semua orang pada usia dewasa muda memiliki hal tersebut.

Salah satu kelompok dewasa muda yang seringkali mengalami kendala dalam pemenuhan tugas perkembangan mereka adalah tunanetra. Menurut Hallahan dan Kauffman (2006), seseorang dinyatakan tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata ketajaman penglihatannya tidak melebihi 20/200, atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan kemampuan visualnya, ternyata luas lapang pandangnya tidak melebihi 20 derajat. Sebagai informasi, 20/200 dapat diartikan bahwa objek berjarak 200 kaki (sekitar 60 meter) yang dapat dilihat oleh orang berpenglihatan normal baru mampu dilihat oleh tunanetra dari jarak 20 kaki (sekitar 6 meter). Terkait dengan luas lapang pandang, individu dengan indera penglihatan berfungsi normal mempunyai luas pandangan 180 derajat. Dari gambaran tersebut, tunanetra dapat dikelompokkan lagi menjadi dua kategori, yakni mereka yang masih mempunyai sisa penglihatan (low vision) ataupun mereka yang sama sekali sudah tidak dapat melihat (totally blind).

Indera penglihatan itu sendiri memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Mangunsong (2014) menjelaskan bahwa mata memiliki peranan yang vital dalam berbagai kegiatan, mulai dalam interaksi sosial (memperhatikan raut wajah orang lain maupun melakukan kontak mata), mengikuti kegiatan pendidikan formal, membaca dan menulis, bermobilitas, dan sebagainya. Jika terjadi gangguan pada indera tersebut, tentunya dapat berpengaruh signifikan terhadap berbagai lini kehidupan tunanetra.

Sementara itu, sebagai dewasa muda, penyandang tuna netra dituntut untuk memenuhi tugas perkembangan yang ada. Di sisi lain, mereka menghadapi tantangan yang besar dalam melaksanakan tugas perkembangannya tersebut. Kondisi demikian tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi mental penyandang tuna netra, seperti yang disebutkan oleh Mappiare (1983) bahwa orang dewasa yang penyesuaian dirinya terhadap lingkungan sosial sekitarnya kurang sempurna akan merasa janggal dan tidak seimbang, yang akhirnya membawanya pada perasaan tidak bahagia.  Hal ini juga sejalan dengan penelitian Djikers (dalam Guerette & Smedema 2011) yang menyebutkan bahwa individu dengan disabilitas cenderung mempunyai kualitas hidup (quality of life) yang lebih rendah dibandingkan dengan individu non-disabilitas, akibat lebih rendahnya tingkat pendidikan, partisipasi kerja, dan penghasilan yang diperoleh individu penyandang disabilitas.

Fakta serupa juga penulis temui ketika bekerja di bagian Konseling Yayasan Mitra Netra (Lebak Bulus) serta berpraktek sebagai Psikolog di Panti Sosial Bina Netra Cahaya Bathin (Cawang), penulis menemukan beberapa kasus dimana individu yang seharusnya sudah memasuki usia dewasa muda, justru masih belum dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Ada beberapa di antaranya yang masih mengikuti perkuliahan di jenjang sarjana ketika usianya mencapai dua puluh lima tahun. Beberapa data klien di Yayasan Mitra Netra pun menunjukkan bahwa sebagian di antara tunanetra dewasa muda mengalami kendala dalam menemukan lapangan pekerjaan. Bahkan, adapula yang sudah bekerja namun penghasilannya masih berada di bawah upah minimum regional (UMR).

Temuan menarik penulis dapatkan dalam penelitian yang penulis lakukan bersama Ratih Arruum Listyandini, M. Psi, Psikolog (dosen Fakultas Psikologi Universitas YARSI) pada tahun 2015 mengenai Gambaran Tingkat Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) pada 36 orang tunanetra dewasa muda di Jakarta. Hasil penelitian justru menunjukkan bahwa 25 dari 36 subjek mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi. Kesejahteraan psikologis (psychological well being) sendiri dapat didefinisikan sebagai realisasi dan pencapaian optimal dari potensi seseorang. Menurut Ryff (1995), kesejahteraan psikologis merupakan sesuatu yang multidimensional. Terdapat beberapa dimensi dari kesejahteraan psikologis, yaitu: 1) individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya (self-acceptance), 2) mandiri (autonomy), 3) individu mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), 4) individu dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya (environmental mastery), 5) individu memiliki tujuan dalam hidup (purpose in life), serta 6) individu terus mengembangkan pribadinya (personal growth) (Ryff, 1989). Lebih lanjut, psychological well-being bukan hanya terkait kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup.

Selanjutnya, studi juga menunjukkan bahwa perkembangan pribadi (personal growth)dari enam dimensi kesejahteraan psikologis tersebut merupakan dimensi yang memiliki rata-rata skor paling tinggi dibandingkan dimensi lain. Sementara itu, dimensi kemandirian (autonomy) menjadi dimensi yang paling rendah rata-rata skornya dibandingkan dengan dimensi lain. Dengan demikian, terlihat bahwa pertumbuhan personal mempunyai sumbangan yang cukup besar dalam kesejahteraan psikologis tunanetra dewasa muda. Hasil ini semakin diperkuat oleh data bahwa hampir separuh (17 0rang) subjek penelitian sudah mengenyam pendidikan jenjang sarjana. Mereka pun banyak yang mengikuti berbagai kegiatan kursus, seperti bahasa Inggris, komputer, alat musik (piano, gitar, biola, drum), mengikuti berbagai jenis pelatihan yang diselenggarakan oleh Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI), hingga menikmati layanan buku audio yang disediakan oleh Yayasan Mitra Netra.

Untuk segi kemandirian (autonomy), sebagian besar tunanetra masih tinggal bersama orangtua ataupun keluarga mereka, serta memperoleh bantuan dalam beberapa hal. Sebagian di antaranya juga cenderung bersikap submisif ketika menghadapi kendala (menerima apa adanya) guna menghindari konflik. Alhasil, masalah kemandirian menjadi bidang yang cukup penting untuk menjadi perhatian. Salah satu fakta menarik yang peneliti temukan dalam wawancara yang dilakukan terhadap subjek adalah kendala yang cukup besar dalam mobilitas maupun beraktivitas secara mandiri di tempat umum. Sumber kendala tersebut di antaranyaketika berjalan kaki di jalanan umum (akibat trotoar yang beralih fungsi menjadi tempat parkir ataupun tempat berjualan PKL), kurangnya keamanan dan efisiensi dalam penggunaan kendaraan umum. Walaupun kendala ini sudah disiasati dengan pelatihan orientasi mobilitas bagi tunanetra dengan menggunakan tongkat, namun kurangnya aksesibilitas di sebagian area umum di Jakarta tetap menjadi kendala dalam mendukung kemandirian mereka.

Berdasarkan pembahasan tersebut, terlihat adanya dua bidang yang berperan cukup signifikan terhadap kesejahteraan psikologis tunanetra dewasa muda, yakni pendidikan dan pengembangan diri, serta aksesibilitas yang memungkinkan mereka beraktivitas secara mandiri. Pemberian akses atau layanan pendidikan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan akan berdampak terhadap personal growth mereka. Selanjutnya, penyediaan fasilitas umum (terutama transportasi) yang mudah diakses dapat membantu mereka untuk lebih mandiri dalam mobilitas maupun kegiatan sehari-hari, yang akhirnya berdampak pula terhadap kesejahteraan psikologis mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Guerette, A.R dan Smedema, S.M. (2011). The relationship of perceived social support with wellbeing in adults with visual impairment. Journal of Visual Impairment and Blindness. July, CEU Article. Hal 425-239.

Hallahan, Daniel P, Kauffman, James M, & Pullen, Paige C. (2009). Exceptional Learners (11th edition). Boston; Pearson Education, Inc

Mangunsong, Frieda. (2014). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Jilid Kesatu). Depok; Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Mappiare, Andi. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya; Usaha Nasional

Papalia, Diane E, Olds, Sally W, & Feldman, Duskin. (2004). Human Development (9th edition). New York: McGraw-Hill

Ryff, C. D. & Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well Being. Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

 http://issn.pdii.lipi.go.id/data/1446201810.png