ISSN 2477-1686

                                                                                       Vol.4. No.15 Agustus 2018

Membentuk Growth Mindset pada Anak Usia Dini

Oleh

Vania Priskila dan Devi Jatmika

Fakultas Psikologi Universitas Bunda Mulia

Hakekat Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia

Sejatinya, memiliki seorang anak yang pintar dan berakhlak baik merupakan idaman setiap orangtua. Oleh karena itu, sarana pendidikan merupakan wadah yang diharapkan para orangtua dapat membentuk pola pikir, yakni guna mencerdaskan ‘sang buah hati’. Di Indonesia, sistem pendidikan kini telah dapat dimulai sedini mungkin. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 146 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini dalam Pasal 1 (Kemdikbud, 2015), yang berbunyi:

 

Pendidikan Anak Usia Dini, yang selanjutnya disingkat PAUD, merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.

Pendidikan anak usia dini atau prasekolah merupakan program bagi anak-anak berusia 3-5 tahun, sebelum memasuki TK (Morrison, 2012). Adapun program yang perlu dikembangkan di PAUD sebagaimana diatur dalam Permendikbud 146 tahun 2014 Pasal 5 poin (1) yakni mencakup nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni. Seringnya, hal tersebut dikemas dalam beragam bentuk pola permainan sehingga anak diharapkan dapat bermain sambil belajar dan senang melakukannya (Hapsari, 2016). Jikalau anak berhasil menyelesaikan rangkaian tugas atau program diatas, biasanya pujian ataupun reward akan langsung segera diberikan. Hal ini yang bila sering dilakukan dapat membentuk fixed mindset. Anak-anak pada usia dini sebaiknya mengembangkan daya pikirnya, termasuk pula kreativitas tanpa batas dengan daya imajinasi mereka yang luar biasa. Hapsari (2016) mengemukakan bahwa anak usia awal acap kali disebut sebagai usia kelompok, usia eksplorasi, usia bertanya, usia meniru, dan usia kreatif. Pada usia ini bahkan anak mampu melakukan hal-hal yang diluar perkiraan orang dewasa bisa dilakukan seorang anak dan tanpa merasa pernah mengajarkan hal tersebut.

Fixed Mindset vs Growth Mindset

Dweck (dalam Trisa dan Tessalonika, 2107) mendefiniskan fixed mindset sebagai keyakinan bahwa kualitas-kualitas dalam diri seseorang ialah hal yang sudah ditetapkan. Sedangkan growth mindset yaitu suatu keyakinan bahwa kualitas-kualitas dasar seseorang, seperti kecerdasan ialah hal yang dapat diubah dengan cara atau upaya tertentu. Pendamping anak-anak di usia dini baik orangtua, ataupun guru cenderung menekankan fixed mindset. Hal tersebut dapat terlihat dengan pemberian pujian yang seringnya dilakukan berulang-ulang untuk penyelesaian tugas yang serupa sehingga anak cepat merasa puas. Hal ini merupakan ciri fixed mindset yaitu ketika anak merasa dirinya sudah merasa mampu, kepintaran dianggap sebagai keturunan/hereditas yang akhirnya mengarah kepada perasaan mudah menyerah dan sulit menerima kritik dari orang lain. Dweck (dalam McKay, 2015), anak-anak dengan fixed mindset percaya bahwa mereka “pintar” atau “bodoh”, ada orang-orang yang “berbakat” terhadap bidang tertentu dan adapula yang tidak. Sebaliknya, anak dengan growth mindset percaya bahwa setiap orang dapat berhasil dan menjadi apa yang mereka inginkan. Tidak ada pembagian-pembagian kategori “pinta” vs “ bodoh”, “berbakat” atau “tidak berbakat” tetapi mereka percaya dengan usaha dan kerja keras kemampuan mereka dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih baik.

Dalam praktik pendidikan anak usia dini di Indonesia, anak-anak seolah ‘dipaksakan’ terhadap pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung yang dalam tahapan ini anak-anak sebenarnya masih dalam tahap berpikir secara simbolik. Anak-anak yang pintar ialah yang mampu membaca, menulis dan berhitung, serta mengabaikan kemampuan lainnya yang justru apabila diarahkan dan dikembangkan dapat memperluas dan membuka pikirannya agar terus belajar melihat kedepan dan menerima kritik. Pendidikan anak usia dini di Indonesia masih terpaku pada standar berpikir yang kaku. Pencapaian seorang anak dilihat dari kemampuan mereka “sudah bisa apa?”. Seringkali kita temukan, anak-anak ditekan untuk dapat membaca dan berhitung saat TK. Anak-anak sejak TK diberikan pekerjaan rumah dan tugas-tugas yang kurang mendorong mereka untuk mengasah kreativitas dan belajar dari alam.

Strategi Mengembangkan Growth Mindset

Menurut McKay (2015), terdapat 8 tips atau strategi yang dapat dilakukan, yaitu:

Bantulah anak-anak mengerti bahwa otak mereka bekerja layaknya otot-otot tubuh

Hal tersebut berarti otak hanya akan dapat berkembang apabila kita mau bekerja keras dan melakukan banyak latihan. Pada anak usia dini, mereka belajar lebih cepat melalui sensoris dan motorik, beragam permainan tradisional yang mengasah otak dan stimulus-stimulus sensoris membantu anak untuk belajar dan berlatih. Kembangkan permainan bukan “menang” atau “kalah”, tetapi permainan yang menunjukkan pentingya komitmen dan usaha.

Jangan sampaikan kepada anak-anak jika mereka pintar, berbakat, atau bertalenta

Hal tersebut akan menghambat mereka untuk dapat lebih berusaha atau berkembang. Sebaliknya, berikan pertanyaan-pertanyaan dan dorongan-dorongan, seperti “Ceritakan lebih lanjut tentang apa yang kamu lakukan”, “Bagaimana perasaanmu tentang hal itu?”, “Hebat! Sepertinya banyak usaha yang telah kamu lakukan ya..”

 

Biarkan anak-anak mengetahui ketika mereka menunjukkan growth mindset.

 

Berikan pujian atas proses yang dilakukan

 

Setiap usaha dan kerja keras ataupun latihan yang mereka lakukan akan mendorong mereka untuk dapat meraih potensi yang benar.

 

Jangan puji hasilnya

 

Skor ujian ataupun penilaian kaku berupa angka-angka yang mengukur pengetahuan mereka akan membatasi perkembangan mereka.

 

Belajar untuk menerima kegagalan atau kesalahan

 

Ijinkan anak-anak mengetahui bahwa kesalahan merupakan bagian terbesar dalam proses pembelajaran. Anak-anak harus belajar bahwa bagaimana cara untuk dapat mematahkan atau menembus batas sehingga masalah tersebut dapat teratasi dan tidak terbawa perasaan ketika menghadapi kesulitan. Strategi yang dapat dilakukan adalah mengajak anak untuk belajar mengartikulasikan perasaannya ketika melakuan kesalahan.

 

Mendorong partisipasi dan kolaborasi. 

 

Anak-anak dapat belajar lebih baik ketika mereka dapat ‘terbenam’ ke dalam sebuah topik dan dapat berinteraksi bersama dengan teman sebayanya. Dorong anak untuk saling menolong dalam permainan dimana mereka diminta untuk berbagi dan meminta bantuan.

 

Mendorong pembelajaran berbasis kompetensi. 

Buatlah anak-anak tertarik pada suatu pembelajaran terutama tekankn pada proses bukan hasil. Kompetensi yang diharapkan fokus pada membangun kebiasaan dan usaha anak.   

 

Referensi

 

Chrisantiana, T.G., Sembiring, T. (2017). Pengaruh growth dan fixed mindset terhadap grit pada mahasiswa fakultas psikologi universitas “X” Bandung. Jurnal Humanitas,1(2), 133-146.

Hapsari, I.I. (2016). Psikologi perkembangan anak. Jakarta: Indeks.

Kemdikbud. (2015). Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. Kemdikbud. Diunduh dari http://paud.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2016/04/Permendikbud-146-Tahun-2014.pdf

McKay, S. (2015, November 17). 8 ways to encourage a growth mindset in kids. Yorbrainhealth. Diunduh dari http://yourbrainhealth.com.au/8-ways-to-encourage-a-growth-mindset-in-kids/

Morrison, G.S. (2012). Dasar-dasar pendidikan anak usia dini. Jakarta: Indeks.

Zubaidah, N. (2013, Oktober 26). Banyak persoalan dalam pendidikan usia dini. Sindonews. Diunduh dari

https://nasional.sindonews.com/read/798468/15/banyak-persoalan-dalam-pendidikan-usia-dini-1382710651